Jangan buat aku membencimu, Ibu

Tears_by_Scotland_Pimp
Aku pernah merasakan kasih sayang layaknya dongeng putri-putrian. Pernah juga menjadi gadis pembangkang saat ayah mengekangku bergandengan tangan dengan pria kurus yang membuatku berdebar. Tapi itu dulu. Sekarang, aku tak dapat lagi menyentuh tangan ayah. Tidak bisa lagi menghambur memeluk tubuh ayah.


Aku hampir lupa, bagaimana nikmatnya rambut panjangku dibelai oleh tangan hangat itu.

Tiga tahun setelah kepergian ayah, ibu berubah menjadi sosok lain. Bola mata teduh nyaris menghilang dan berganti tatapan hitam mengerikan. Ibu menjadi malaikat yang melepaskan sayap putih demi hidup di dunia.

Aku takut.

Tiga tahun menyakitkan dengan cercaan, gosip sampah hingga perlakuan teman-teman sekolah yang mulai menjauh, menganggapku gadis yang tak patut dikasihani. Demi Tuhan, apa aku salah menjadi anak ibu?

Aku berdoa dalam tangis saat mendapati ibu yang silih berganti membawa pria. Pria yang jauh berbeda dari ayahku yang hangat. Sangat jauh berbeda dari ayah yang penuh guyonan-guyonan. Dia… hanya melihat ibu dengan pikiran abu-abu yang anak kecil sepertiku tak paham artinya.

Pernah suatu hari, aku mendengar mereka–para tetangga–berbicara tentang ibu yang tak benar-benar mencintai ayah. Jadi, kenapa ada aku jika tak ada cinta? Mereka bohong! Mereka tahu apa dengan hidup kami! Hanya dengan tangisan dan sergahan keras yang bisa kuteriakan dalam hati.

Hari ini, air mataku tak bisa berhenti. Terus-terusan membasahi wajahku yang semakin keruh dan kurus. Ibu sudah duduk di ranjang besarnya dengan hiasan-hiasan, make up, serta kebaya putih terjuntai.

Oh, Tuhan, apa lagi ini? Ibu akan bersanding dengan pria lainnya? Semua orang berbicara tentang gila. Tentang tak tahu malu. Tentang… keburukan. Lagi-lagi aku menangis, meratap, tak bisa menyergah atau menerima ucapan menyesakkan itu.

“Bu, tidak bisakah berhenti?” Aku berdiri mematung di belakang ibu dengan suara gemetar. Dan ibu, hanya diam–tenang–menghadap kaca. Ibuku cantik, memang. Tapi kecantikannya dia rubah menjadi petaka untuk kami.

“Ibu belum mulai, Corie. Lebih baik kau diam dan nikmati semua.” Kepala ibu tertoleh pelan dan memberiku segaris senyuman.

“Nikmati? Menikmati sumpah serapah orang dan kenangan ayah yang mengabur?”

Gadis 16 tahun sepertiku sudah mengenal baik buruk. Namun wanita yang kusayangi di sana, entah apa yang dipikirkan tentang kebaikan dan keburukan.

“Sebentar lagi kau juga akan punya ayah.” Amat ringan bibir merahnya berucap tapi terlalu menancap.

Gigiku gemetar dan tak tahan untuk tak berteriak. “Dia ayah orang, Bu! Suami orang!” Aku tahu Tuhan tidak akan memaafkanku. Tapi lidahku benar-benar sudah pahit. Isakanku memecah keheningan di kamar yang sudah dihias putih ini. Dan beberapa detik aku terisak, ibu berdiri lantas menatapku sengit.

“Ibu hanya butuh pendamping. Kau anak kecil, bisa bekerja? Bisa membiayai semua kebutuhan kita? Jangan egois, Corie.”

Isakanku semakin keras saat ibu benar-benar tak sadar apa perbuatannya. Aku tahu ibu letih. Aku tahu ibu kesepian. Tapi haruskah suami orang?

“Aku sakit, Bu. Mereka membiacarakan ibu dan ayah. Dan dia… orang yang tak jauh dari rumah kita, anaknya adalah temanku, ibunya juga teman ibu! Semua kegilaan ini salah siapa?! Tolong berhenti… jangan buat aku membenci ibu.”

Tak ada lagi suara kemarahan ibu. Hanya ada segukanku di sini. Dan ibu lantas saja duduk dengan tubuh lemas tanpa menghadapku lagi.

Entah apa yang dipikirkan ibu setelah aku meninggalkannya di kamar beraroma melati itu. Jika kebanyakan pernikahan, orang-orang bersuka-cita dan datang beramai-ramai dengan doa. Tidak dengan rumahku yang sunyi dan umpatan sumpah serapah yang diberikan.

Paman itu–calon suami ibu–adalah tetangga rumah kami. Dan aku benar-benar paham dengan semua keburukan pada kami. Tapi aku letih.

Di kamar ini, hanya ada aku dan kesunyian. Obat-obatan penenang, menjadi pengalihanku untuk membuat semua menjadi baik-baik saja. Ini pahit. Benar-benar pahit saat satu-per-satu melewati kerongkongan. Hari ini, dosisnya melebihi apa yang dianjurkan dokter. Aku harap, saat aku membuka mata, semua menjadi lebih baik. Aku harap, saat aku membuka mata, ibuku kembali menjadi sosok dahulu. Dan aku harap, jikapun mata ini tak bisa terbuka, ayah kembali melebarkan tangannya menyambutku.

***
Ini hanya cerita pendek yg terilhami dri suatu kisah
Maaf, sebelumnya. Ambil sisi positive dari kisah ini dan jgn menjudge sosok itu

Leave a comment