Holding On [Orifict]

image

Dulu dia tak pernah membenci hujan. Dulu, gadis itu seperti bunga lotus yang semakin indah saat hujan merinai. Tapi semakin kakinya memanjang, tubuhnya meramping, sosok lotus itu tenggelam bersama derasnya air. Aku merindukannya. Rindu sahabatku yang selalu berjingkrak riang ketika tetesan itu menggenang di aspal.

Kang Ah Ri. Entah kemana tawa renyahnya sekarang. Hanya ada bibir kering berselimut merah muda.

Hari ini pun, aku tak menemukan sosoknya yang selalu terdiam; memandang langit menjingga di balkon kamar. Betapapun aku marah atau mengomel seperti bibi Kang, ia masih akan menenggelamkan dunia dalam diamnya. Bagaimanapun caraku membuatnya tersenyum, membawa lelucon-lelucon kering, si lotus cantikku itu tetap memandang  kosong—penuh keperihan—dalam bola mata coklatnya.

Apa dia lupa jika keperihannya juga pedihku?

Dia melupakan mempunyai sahabat.

Kali ini hujan kembali dan aku belum menemukan Ah Ri dimanapun. Bukan letih yang mengganggu. Bukan juga pakaianku yang sebagian basah. Seperti orang bodoh, aku menerobos hujan dengan payung hitam dan berlari serampangan. Disaat orang-orang lebih memilih masuk toko dan makan mie ramen, atau berpegangan tangan bersama pasangan, aku berlari menyebrangi jalanan basah.

Jika saja Ah Ri masih seperti setengah tahun silam, mungkin tak akan segila ini.

Tepat di lapangan basket taman kota, kakiku berhenti. Menatap sosok berambut panjang yang bersimpuh. Dia berusaha berdiri, kemudian jatuh. Meski dengan tubuh gemetar, Ah Ri mencoba tegak dengan bertopang tenaga tangannya.

Aku tahu dia menangis. Tapi aku tak tahu jika air mataku juga mengalir.

Punggungnya menggigil. Dan aku masih diam tak beranjak satu inci. Jika aku datang saat ia berusaha sendiri, Ah Ri pasti akan merasa diremehkan. Dia keras kepala, memang.

Ketika satu langkah aku mendekat, teriakan Ah Ri membuatku tersentak. Isakan pilunya nyaris membuatku ingin memeluknya.

Haruskah semua impian sahabatku itu juga mengalir tanpa bisa dilawan? Bisakah aku sebagai sahabatnya menjadi sosok dinding untuknya bersandar?

Tangisan Ah Ri pecah bersamaan derasnya hujan. Lututnya mungkin berdarah karena terus mencoba berdiri. Aku… hanya bisa terduduk disisinya. Menghalangi hujan mencampur air matanya dengan payung hitamku

Ia menatapku sedih. “Orang lumpuh yang sangat kasihan.” Suaranya lirih. Ia menelan pahit saat tahu kakinya tak akan bisa kembali bergerak. Kang Ah Ri, sahabatku itu dulunya sangat ceria dengan impian-impian manis sebagai ballerina. Dia seperti angsa putih saat mengayunkan gemulai tangan dan kakinya. Lalu, semua menghilang ketika kecelakaan mobil setengah tahun silam. Bersamaan dengan itu, angsa putih juga menghilang.

“Kau suka dengan sebutan orang lumpuh?” Nada suaraku menajam. Aku bukan wanita yang bisa bermulut manis untuk menenangkannya. Tapi ia paham seperti apa celotehanku 7 tahun ini.

Dia menggeleng. Mengusap lemah matanya yang basah. “Semua benar-benar mati, Rin.”

“Apa yang mati? Populasi hiu putih? Apa? Kau mau bilang, hidupmu mati?”

Ah Ri tertunduk semakin dalam. Sesaat lalu, aku menyesali kata-kataku. Tubuh kurusnya bergetar lagi. “Kau masih di sini, Kang Ah Ri. Kau masih bernapas bersamaku. Dimana sahabatku yang selalu tersenyum?”

“Senyum tidak akan mengembalikan kakiku.”

Dia benar. Kaki yang dulu kuat, lincah, kini lemas tanpa bisa digerakkan. Dia sakit dan aku hanya bisa menonton seperti anak bayi.

“Dan kemudian, apa yang bisa kau lakukan? Menangis lagi, lagi, dan lagi. Menatap kosong keluar jendela. Kalau itu mau mu, aku tidak akan mengeluh lagi. Aku hanya akan menjadi orang di sisimu. Itukah mau mu?”

“Jangan meremehkanku!”

Ya, itulah Ah Ri. Ia benci dilihat sebagai pecundang.

Ia menatapku dengan gigi menggeratak. Wajahnya yang dulu dihiasi semburat merah muda, kini memucat.

Aku mencoba tersenyum menenangkan. “Apa impianmu hanya menjadi ballerina? Apa kau lupa, berapa banyak hal yang kau ingin lakukan dalam hidup? Atau semua ceritamu itu hanya kebohongan?”

Sesaat setelah kata terakhirku, wajah Ah Ri tertegun. Air mata yang masih tergenang, kini mengaliri pipinya. Ia menggelang lemah. “Tidak… semua benar. Aku punya banyak impian, Rin Ah.”

Ada lengkungan yang kurindukan di bibirnya. Ah Ri tersenyum. Aku berhasil.

Dan ternyata, aku memang harus menjadi tongkat penopang untuknya berdiri.

“Jangan menyerah. Aku yang akan menjadi kakimu. Kalau kau terjatuh lagi, aku yang akan membuatmu berdiri.”

Kemudian, dengan senyum seadanya, dia menatapku sendu. Tatapan penuh harap. Aku yakin, dia tidak membenci hujan lagi. Dan lotus yang hilang, ternyata meninggalkan kuncupnya.

*Fin*

4 thoughts on “Holding On [Orifict]

  1. Satu lg ff eon yg bener2 ngena bgt..
    Speachless q eon saking bermakna.a ff eon..
    Trus brkarya eon, dan trus menginspirasi org lain :3

  2. singkat tapi mengandung sejuta makna

Leave a comment