The Price of a Memory

Memories

Midnight Fairy’s Present

Romance, Hurt

Kim Jong Woon

Han Hyo Jae ( OC )

This Fan fiction is original story of mine. The cast belongs to themselves. So, Don’t bash me.

****

Berapa harga sebuah kenangan? Tak ternilai. Dan saat satu pepatah tertulis, jika kenangan indah mampu membuatmu lebih menderita, Han Hyo Jae paham betul artinya. Wanita itu mati-matian melindungi memoar indahnya tak berubah hitam. Melindungi apa yang menjadi kepemilikannya. Jangan tanyakan tentang penderitaan. Karena Hyo Jae lupa perbedaan penderitaan atau kebahagiaan sejak menjadi wanita Kim Jong Woon.

Di sana, di ruang terdalam rumah minimalis berlantai kayu itu Hyo Jae tampak serius memasak. Ini bukan seperti ujian tata boga yang mengharuskan mencapai nilai tinggi. Hal itu harus Hyo Jae lakukan demi pria-nya. Meskipun terlihat dari wajahnya, wanita itu tak suka hal merepotkan. Ia akan lebih memilih memakan sepuluh mangkuk masakan bibi Jung dibanding menelan satu sendok sup buatannya. Tapi, apa yang bisa dilakukan wanita acuh seperti Hyo Jae demi memberikan kejutan kepada suaminya kalau bukan dengan masakan. Puisi? Tidak. Itu akan menjadi lelucon sampai mati saat Jong Woon terbahak mendengarnya. Bunga? Ini bukan zaman Romeo Juliet. Dan sup rumput laut, pilihan terakhir sebagai kado perayaan satu tahun pernikahan mereka.

Ya, satu tahun. Dua belas bulan menjadi wanita Kim Jong Woon. Dua belas bulan harus merelakan hidupnya tinggal di pedesaan indah; Jangho.

Bukan hal mudah untuk mereka meninggalkan dunia penuh lampu Seoul dan pindah ke dunia berbintang di sudut Jangho. Hyo Jae harus menjaga dirinya sendiri dan Kim Jong Woon—sang suami.

Hyo Jae seketika mengernyit saat mencicipi hasil sup-nya. Melihat ngeri rumput laut hijau yang sedikit lunak. Sedetik kemudian, Hyo Jae menghempaskan sendok dan mendengus kasar.

“Sudahlah! Ini merepotkan!” Hyo Jae menggeram sembari mendekati lemari es. Menenggak cepat air putih langsung dari botolnya.

“Lebih baik langsung membeli cake,” gumamnya kesal saat melirik masakan gagal itu.

Melepas celemek coklatnya dan membuang sembarang. Pergi dengan hati kesal. Tapi, saat ia melewati meja makan, Hyo Jae tiba-tiba berhenti. Teringat seloroh Jong Woon jika ia bukan wanita karena tak bisa memasak ramen.

Hembusan napas keras Hyo Jae menguar. Cukup satu kali. Untuk kali ini, Hyo Jae akan membuktikan kepada lelaki itu karena membuat kesalahan besar memandang rendah kemampuannya. Dengan keyakinan, Hyo Jae kembali berbalik ke dapur serta menguncir rambut panjangnya.

Hyo Jae meregangkan jari-jari. “Baiklah. Ini akan menjadi hari yang melelahkan,” serunya sembari mempersiapkan bahan-bahan masakan.

Akhirnya, meski itu masakan ke-4, Hyo Jae bisa tersenyum lebar. Memandang puas masakan beruap tersebut.

Kemudian, semuanya sudah tertata rapi dalam mangkuk hitam porselin. Uap-uap dan harum sup tak henti membuat garis bibir Hyo Jae melebar. Bukan karena ia sukses membuatnya atau bisa membuktikan kepada Jong Woon. Ini seperti pertama kali menemukan pelangi di ujung kaki langit pantai Jangho. Teramat bahagia membayangkan senyum senang Jong Woon mendapati kejutan.

Masih dengan wajah ceria, Hyo Jae masuk ke kamar. Membawa hati-hati nampan bulat itu dan mendekati sosok yang masih tertidur di balik selimut.

Alis Hyo Jae berkerut. Lelaki itu bukan lagi di tempat tidur tetapi meringkuk di sofa panjang berlengan.

Hyo Jae menghela napas khawatir.

Sebelum mendekati Jong Woon, wanita itu meletakkan bawaannya di meja hias.

“Kim Jong Woon, bangun. Kau hampir saja melewatkan makan siang,” gurau Hyo Jae seraya menyentuh dahi lebar Jong Woon dengan telunjuk.

Merasakan sentuhan, mata Jong Woon perlahan melebar. Air muka Jong woon sedikit bingung. “Ada apa? Ini masih malam.”

Mulut Hyo Jae terbungkam. Tidak, jangan sekarang.

Wanita itu masih terdiam, menilik wajah polos Jong Woon. Senyum sabarnya tergaris. “Ini sudah jam 8 pagi, Tuan Kim.” Hyo Jae berbicara lembut sembari duduk bersila di depan wajah Jong Woon yang masih merebah di sofa. Memanggil suaminya itu dengan sebutan khas.

“Jangan bercanda. Aku baru saja tidur beberapa jam lalu,” tegas Jong Woon kesal. Dengan malas menyibak selimut dan mendudukan tubuh.

Hyo Jae mendesah. Tidak ada gunanya melakukan debat-debat konyol saat kondisi seperti ini. Ia berdiri dan melebarkan tirai jendela. “Lihat. Matahari tak muncul saat malam ‘kan?”

Raut wajah Jong Woon seketika muram. Otaknya semakin melemah. Lantas, tertunduk dan menangkup wajah. Sadar akan kondisinya memburuk.

Hyo Jae duduk di samping Jong Woon. Mengusap lembut punggung lelaki itu. “Tidak apa-apa. Ini karena kita memilih tirai terlalu gelap.”

“Tirai itu berwarna putih, Hyo.”

“Benarkah?” Sahutnya pura-pura kaget. Hyo Jae tertawa terpaksa. “Sepertinya aku harus memeriksa mata.”

Jong Woon masih menghening. Menutup kedua mata dan berpikir dalam. Yang ia takutkan bukan kehilangan ingatan tapi kehilangan wanita di sampingnya.

Lama Hyo Jae membiarkan Jong woon terdiam hingga ia berdiri dan berjalan mendekati jendela di sudut seberang. Tersenyum menatap langit biru melalui celah-celah daun pohon Hackberry  tua di halaman.

Seakan bisa membaca pikiran Jong Woon, Hyo Jae bertanya lembut, “Apa yang kau takutkan, Kim Jong Woon? Kehilangan kenangan indah?”

Mendengar pertanyaan penuh kesenduan itu, wajah Jong woon akhirnya menegak. Memandang penuh kerinduan punggung kecil Hyo Jae. Jong Woon sadar suatu saat ia tidak akan bisa membedakan tubuh istrinya atau Ibunya sekalipun.

“Aku takut kehilangan semua. Waktu, kenangan, dan orang-orang yang kucintai.”

Punggung Jong Woon bersandar. “Dan ketika hal itu terjadi, itu artinya aku juga kehilangan diriku sendiri. Duniaku hanya akan berputar pada porosnya tidak lagi memutari matahari.”

Kepala Hyo Jae berpaling. Melihat lekat wajah polos Jong Woon di pagi hari. Sendu memang tapi Hyo Jae tetap bersyukur. “Matahari? Siapa mataharimu? Aku? Jangan membuat pagi hariku menjadi lelucon, Tuan Kim.” Seloroh Hyo Jae sentak membuat senyum Jong Woon tergaris. Ya, bertahun-tahun mengenal wanita itu, Jong Woon tetap saja tidak bisa seperti pasangan lain yang mengumbar kata romantis. Wanita itu terlalu unik. Ia tak mengerti kenapa mereka bisa menjadi sepasang kekasih bahkan suami-istri.

“Siapa yang menyebutmu matahari? Kau itu komet. Ya, setidaknya kau mempunyai persamaan seperti matahari. Terlalu panas dan menakutkan.”

Sentak Hyo Jae berbalik, melipat tangannya di dada. “Jika aku komet, kau meteor.” Kemudian tawa terpecah di keduanya. Bola mata Hyo Jae memperhatikan lekat tulang pipi menonjol saat lelaki itu tertawa di seberang sana.

Dan semua selalu seperti ini. Dengan kesabaran, ketulusan menutupi titik-titik ingatan yang terkikis. Mereka tau memory tidak akan terganti. Namun setidaknya, mereka membuat kembali kenangan baru. Lagi, lagi dan lagi. Tanpa lelah dan menyerah.

Dua tahun silam, Jong Woon hampir menyerah saat mengetahui takdir memilukan itu. Penyakit? Kelainan? Atau apapun namanya serta merta membuat Jong Woon mengalami ketakutan parah. Ia hanya sering melupakan hal kecil sejak dulu. Namun kenyataannya, hal kecil itu semakin membesar.

Bagaimana bisa lelaki sehat tervonis Alzheimer? Bagaimana bisa gejala itu terjadi pada usia 30 tahun? Siapa yang akan percaya saat kelainan yang kebanyakan terjadi pada wanita tua renta, kini menghantuinya? Salah satu alasan adalah genetik. Alasan setelahnya bahwa ia sering mengalami stres, kelelahan. Siapapun itu, seorang ilmuwan-pun sampai saat ini belum pernah bisa menjelasan penyebab gila ini. Demi Tuhan, Jong Woon tak bisa mengerti.

Ia takut.

Perlahan, kelakuannya aneh. Saat melewati jalanan Gangnam, ia seperti di dunia asing. Emosi lelaki bermata sipit itu sering tak terkontrol. Melupakan nama orang sekitar. Bahkan, menghitung haripun hampir membuatnya tertekan.

Hampir satu tahun, Jong Woon tak pernah membicarakan kenyataan memilukan itu pada Hyo Jae. Mungkin Hyo Jae sadar akan keanehan-keanehan lelaki itu. Melupakan hal-hal tentangnya. Melewatkan hari-hari pertemuan mereka.

Suatu hari, Hyo Jae menemukan Jong Woon di rumah sakit. Ia tak mengerti. Lelakinya itu tak pernah sekalipun berujar tentang sakit. Dan saat dua suster bertubuh jangkung melewatinya dan berbicara tentang pria tampan  yang baru saja memasuki ruangan dokter Kim, Hyo Jae lemas. Mereka berkata lemah jika lelaki yang tak lain adalah kekasihnya itu menderita Syndrome Alzheimer. Tubuh Hyo Jae goyah. Mati-matian menjaga pertahanan kakinya dengan bersandar pada dinding. Dan akhirnya, meski tak terisak, air mata itu jatuh bersama tubuh yang meluruh.

Ia akan menghilang diingatan Jong Woon.

“Hyo….” Jantung Jong Woon tersentak mendapati wanitanya terduduk di depan ruangan dokter.

Wajah miris Hyo Jae mendongak. Ia menatap dingin mata hitam Jong Woon yang mengelam. “Jangan melihatku seperti itu. Aku hanya—”

“Maaf,” sela Jong Woon menyesal. Penyesalan yang tak berguna.

“Untuk? Apa kau melakukan kesalahan?”

“Silahkan marah padaku? Tapi jangan menatapku kasihan.” Jong Woon sadar wanitanya mengetahui semua saat mendapati bekas air mata di kelopak sipit itu.

Hyo Jae mendesah sembari merunduk pasrah. “Kau salah. Aku mengasihani diriku sendiri. Bagaimana bisa menjadi wanita gila yang sama sekali tak peduli dengan orang terdekatnya. Harusnya aku bertanya ‘kan? Harusnya aku memperlihatkan kekhawatiran agar kau tak merasa sendiri. Harusnya aku bersikap baik padamu. Harusnya aku—” Perkataan Hyo Jae terhenti saat bibirnya semakin berkedut keras.

Lelaki berbahu kecil itu menghela napas. Berlutut di depan Hyo Jae. Jong Woon menyingkap rambut panjang Hyo Jae yang menutupi wajah.

“Karena ini aku tak ingin memberitahumu. Walaupun kau wanita keras kepala. Wanita gila bermulut pedas, tapi kau pasti akan terlalu khawatir. Menyalahkan diri sendiri. Aku hanya tidak ingin kau berubah dan menjadi bibi cerewet.”

Kepala Hyo Jae sontak menghadap balik Jong Woon. Mengibaskan tangan Jong Woon di kepalanya. “Jangan bercanda, Kim Jong Woon!”

Senyum Jong Woon menggaris kecut. “Aku bahkan masih berharap penyakit ini suatu candaan.”

Hyo Jae tersentak diam. Ini terlalu menyakitkan bagi lelaki itu. Napas khawatirnya terhembus.

“Kalau begitu, teruslah bercanda. Aku akan menganggap kau tidak memiliki kelainan apapun.”

“Jangan seperti itu.” Jong Woon berdiri dan membelakangi Hyo Jae. Menatap lurus ruangan sepi yang dipenuhi bau obat.

“Itu lebih menyakitkan saat orang-orang di sekitarku berpura-pura bodoh. Menangis di belakang dan kemudian memasang topeng ceria.”

Tubuh Hyo Jae berdiri. Memandang sendu punggung lelakinya. “Jadi, apa yang kau inginkan? Membiarkan orang-orang pergi dengan sendirinya?” Hyo Jae mengepal penuh ketakutan.

“Jika mereka ingin, tidak apa-apa,” lirih Jong Woon. Setidaknya, sebelum ingatannya pergi, orang-orang akan pergi terlebih dahulu.

“Kau lelaki bodoh,” tegasnya dengan suara mengerang.

“Kau lebih bodoh karena menyukai lelaki bodoh.”

“Kim Jong Woon!” Teriak Hyo Jae frustasi. Kata-kata cerdik yang biasa terlontar, sekarang musnah. Ia hanya bisa berteriak dan mengerang.

Kepala Jong Woon tertoleh pelan. “Jangan berteriak. Itu semakin membuatku tak ingin membiarkanmu terlupa.”

Hyo Jae tersentak. Matanya kian memanas menahan air mata. Lupa, lupa dan lupa! Orang gila mana yang rela dilupakan!

“Sejak kapan kau pintar berkata-kata, hah?” Suara Hyo Jae bergetar.

“Sejak aku sadar jika suatu hari nanti, aku tak akan bisa membalas perkataanmu lagi. Sejak aku sadar suatu saat nanti, aku akan kehilangan bahasaku. Sejak aku sadar, kelak . . . jauh dalam kesadaranku, aku akan sangat merindukan lontaran-lontaranmu.” Jawaban lembut Jong Woon membuat air matanya sendiri menetes.

“Sial. Jangan membuatku ingin memelukmu.” Mata Hyo Jae basah. Ia memalingkan wajah menghadap langit-langit ruangan.

Ada rasa tak terima dalam hati Jong Woon. Ia berbalik, lantas memeluk tubuh kurus Hyo Jae.

Senyap. Mereka hanya bisa berbicara melalui hati. Membiarkan getaran ketakutan di tubuh masing-masing.

“Kim Jong Woon, ayo kita menikah,” sela Hyo Jae lirih. Ia bersumpah kata-kata itu belum masuk ke otaknya. Tapi, Hyo Jae hanya ingin melindungi.

Jong Woon menegang. Melepas tautan tubuh mereka. Mengernyit tak mengerti saat melihat wajah datar Hyo Jae. “Kau gila! Aku tidak akan membiarkan hidupmu menderita,” balas Jong Woon dengan nada meninggi.

Dan seketika tubuh Jong Woon tak nyaman. Ia menghentak kaki, melihat sekeliling. Mencoba mengingat-ingat sesuatu. “Hari apa ini? Aku harus ke dokter,” gumamnya bingung.

Dan gadis di depan Jong Woon membatu. Perih. Sudah sejak kapan hal ini terjadi? Apa yang dia lakukan selama ini? Ia meruntuki ketakpeduliannya.

Hyo Jae membekap bibirnya; terkejut.

Tak sanggup melihat lebih lama, Hyo Jae menyentuh telapak tangan Jong Woon. Memandang Jong Woon dengan genangan air mata. “Aku akan menebus kesalahanku karena membiarkanmu sendirian seperti ini.”

“Hyo, apa yang kau katakan?”

Hyo Jae tak menggubris pertanyaan Jong Woon. Ia malah memeluk Jong Woon yang kebingungan. “Aku bukan gadis pengecut. Persetan dengan penyakit, syndrome,kelainan dan apapun namanya, aku tak peduli. Aku . . . aku akan melindungimu, Kim Jong Woon.”

Dan sejak saat itu Hyo Jae merelakan dirinya menjadi tongkat bagi Jong Woon. Tak pernah sekalipun letih saat Jong Woon melupakan hari atau melupakan letak barang-barang yang baru saja digenggamnya. Memilih hidup di pedesaan sebagai terapi bagi Jong Woon. Membuat pilihan-pilihan berat tentang bisnis dan pekerjaan mereka untuk diberikan kepada Jong Jin—adik Jong Woon. Dan Hyo Jae, meninggalkan semua demi pria itu.

Sekarang, semuanya mengalir seperti anak sungai kecil. Dan saat ini, satu tahun setelahnya, mereka harus mengingat hari istimewa pengucapan ikrar itu.

Hyo Jae terus memperhatikan wajah Jong Woon yang tersenyum. Berapa lama lagi? Pertanyaan menyakitkan itu selalu menggaung dalam hati.

“Tunggulah disini, aku akan mengambil air hangat,” ucap Hyo Jae berlalu dari hadapan Jong Woon.

“Hei! Mau kemana kau?” Seolah tak mengerti, Jong Woon bertanya tentang hal yang sudah terjawab.

Kepala Hyo Jae berpaling dan menatap Jong Woon dibalik bahunya. “Mengambil air untukmu,” ujar Hyo Jae sabar.

Seolah kesabaran itu tak berujung, saat Hyo Jae kembali dengan membawa satu cangkir air putih, ia kembali menemukan Jong Woon yang kebingungan. Berjalan kesana kemari mencari sesuatu. Raut wajahnya menampakkan tekanan. Seakan barang itu sangat berharga, Jong Woon membongkar lemari dan melemparkan selimut ke lantai. Merunduk, terduduk dan berjinjit mencari letak barang tersebut.

Terdengar suara geraman saat Jong Woon tak menemukan keinginannya.

“Mencari apa?” Suara Hyo Jae memecah aktivitas Jong Woon.

Jong Woon menoleh sekilas. Tak mengindahkan tatapan istrinya.

“Ponsel,” jawab Jong Woon singkat. Terlalu singkat hingga membuat kening Hyo Jae berkerut.

Kembali pada sosok bukan dirinya.

Hyo Jae hanya melihat dengan datar. Ia tidak jengah dan tidak akan letih. Hanya saja, bisakah jangan hari ini? Satu hari saja, tidak bisakah?

Langkah Hyo Jae mendekati sofa, mengambil barang yang dicari Jong Woon. “Ini ponselmu.” Ia mengangkat tangan dan menampakkan segaris senyum.

Jong Woon sontak berbalik. Melihat sekilas kemudian kembali mencari. “Bukan. Itu bukan ponsel.”

Dan akhirnya senyum sabar itu berubah kecut. Hyo Jae terduduk lemas. Tiba-tiba ia merindukan Kim Jong Woon yang selalu beragumen bersamanya.

Ketika pikirannya melayang, Jong Woon mendekat dan merebut ponsel di tangan kanan Hyo Jae.

“Ini ponselku, bagaimana bisa kau diam saja?” geram Jong Woon emosi.

Entah ini helaan napas yang keberapa kali, Hyo Jae tetap saja berusaha sabar.

“Minumlah,” sergah Hyo Jae memberikan gelas berisi air putih itu.

Tak butuh waktu lama dan ucapan, Jong Woon sudah menenggak habis air putih pemberian Hyo Jae.

“Tapi, apa yang kau lakukan di sini, Shim Hera?” Jong Woon berjalan menjauh dari Hyo Jae—mendekati meja hias mereka.

Demi Tuhan, Hyo Jae ingin menangis. Ia terhenyak mendapati sebutan dengan nama tak asing. Dia bukan Shim Hera—sahabatnya yang baru saja kemarin berkunjung. Atau bukan wisatawan yang sebentar saja bertanya jalan. Ia Han Hyo Jae, istrinya. Tidak bisakah hanya itu yang diingat?

Penderitaan dan kebahagiaan. Karena inilah Hyo Jae tak bisa membedakannya lagi. Satu sisi, ia bahagia. Sangat bahagia bisa melindungi lelaki itu. Teramat bahagia hingga bisa gila menjadi wanita pendamping Jong Woon. Namun, disisi lain, bolehkan ia sebut itu penderitaan saat Jong Woon menjadikannya orang pertama yang tak diingat?

“Kim Jong Woon, aku takut letih,” lirihnya sakit seraya meremas lengan sofa.

“Kenapa tak menjawab?” Tegas Jong Woon. Ia melemparkan pandangan ke arah pintu.

“Dimana Hyo Jae? Kenapa kau masih di sini? Kau tak boleh masuk ke kamar kami. Ayolah pergi. Dia bisa marah jika melihat wanita lain di sini.” Lontaran demi lontaran asing itu terucap tanpa dosa.

“Shim Hera! Apa kau tidak mendengar?!” Jong Woon membentaknya dengan nama orang lain. Jadi, haruskah ia sakit hati atau malah senang?

Hyo Jae terpejam sebentar sembari meremas kesepuluh jari tangan yang gemetar. Seolah kembali mendapati obat penenang, Hyo Jae berdiri sampai membuat ikatan rambutnya terlepas.

“Kim Jong Woon, aku membuatkanmu sup rumput laut. Walaupun ini aneh, tapi itu hadiah satu tahun pernikahan kita.”

Mata Jong Woon menyipit. “Apa yang kau katakan? Kapan kita menikah?!”

Hyo Jae tak peduli. Jong Woon bisa saja melupakan dirinya namun Hyo Jae tak lupa. Jadi, itu saja sudah cukup.

Ia berjalan cepat. Mengambil mangkuk yang mulai mendingin itu dan menyerahkan pada Jong Woon seperti orang idiot tak tahu malu.

Tapi yang di dapat hanya dengusan kesal Jong Woon. “Ada apa denganmu!”

Jong Woon kembali berteriak dan berjalan tak acuh melewati tubuh Hyo Jae yang membeku. “Hyo, Han Hyo Jae!” Ada rasa ketakutan dalam lengkingan itu. Emosi Jong Woon lagi-lagi tak terarah.

Air mata Hyo Jae menetes.

Mendapati Jong Woon yang akan melewati pintu, Hyo Jae cepat-cepat menghadang.

Rasa jengah Jong Woon memuncak. Ia menepis lengan Hyo Jae hingga membuat mangkuk dan isinya jatuh. Suara pecahan menggema hingga membuat seluruh tubuh Hyo Jae menegang. Tangan Hyo Jae seakan mati rasa. Termangu sedih mendapati kerja kerasnya berhamburan.

Ia berjalan gontai dan masih tak lepas melihat nanar masakannya. Berlutut mengambil satu-per-satu pecahan mangkuk dan masakan yang penuh doa itu. Air mata yang menggenang lantas saja jatuh saat  mata Hyo Jae berkedip.

“Dia hanya lupa sesaat bukan selamanya. Tidak apa-apa,” gumam Hyo Jae lirih.

Hyo Jae mengusap cepat air matanya. Tak ingin jika sedetik kemudian ingatan Jong Woon kembali. Tapi, orang yang dikhawatirkan wanita itu hanya bisa memberi pandangan tanpa bisa dijelaskan. Hatinya memberontak saat melihat punggung wanita di depannya bergetar. Dan nyatanya, segila apapun penyakit, hati kecil seseorang tak mati.

Lelaki itu berjalan kebingungan lagi. Ia berpikir, pasti ada yang salah. Jong Woon terus-terusan memutar otak mencari memori yang hilang. Duduk di tepi tempat tidur sembari menggigit kukunya.

Harus dinilai apa lagi kenangan itu? Mereka bisa saja sama-sama frustasi atau menyerah. Namun, nilai tak terbatas tersebut akhirnya memberi pengertian indah. Kesabaran, ketulusan, dan kasih.

Hyo Jae pergi meninggalkan Jong Woon yang masih berkutat dengan ketidakmengertian. Belum jauh tubuhnya menjauh dari pintu kamar, tubuh Hyo Jae sudah meringsut lemah.Tangisannya pecah.

Siapa yang lebih menderita? Yang melupakan atau yang terlupakan.

Kepala Hyo Jae tenggelam—tertunduk—saat tangisan yang sudah lama dipendam itu terpecah dalam diam. Mati-matian menahan isakan keras itu agar tak terdengar Jong Woon.

“Hyo…” Seseorang bergumam di depan Hyo Jae dengan nada sakit.

Belum sempat Hyo Jae mendongak, Jong Woon sudah memeluknya erat. “Maaf. Demi Tuhan, aku minta maaf. Apa aku melupakanmu? Apa aku melakukan hal menyakitkan?”

Tangisan Hyo Jae semakin keras. Ini pertama kali, Jong Woon melupakan wajahnya. Ia hanya terlalu terkejut. Dan takut.

“Itu… mengerikan,” sahut Hyo Jae terbata.

“Maaf.”

“Berhenti meminta maaf. Hal itu semakin membuatku tak rela kau lupakan.”

Jong Woon termangu. Wanitanya ketakutan. Bagaimana bisa ia melindungi Hyo Jae jika dirinya sendiripun lemah? Pandangan Jong Woon semakin tersamar karena air matanya. Ketika ingin melepas pelukan, Hyo Jae malah menolak.

“Jangan lepas. Aku takut kau kembali menjadi asing.”

Dan tetesan tangis Jong Woon jatuh. “Selamat satu tahun pernikahan,” lirih Jong Woon di sela bahu Hyo Jae.

Hyo Jae tersenyum. Setidaknya, Jong Woon kembali mengingat walau akan kembali lupa.

                *END*

8 thoughts on “The Price of a Memory

  1. saeng,g sngj eon mampir k.wp mu,ad ff bru yg bkin nyesek TT -sgni doang nyiksa jongwoon nya..hwakaka stdknya lbh sadis dr kyuhyun ama wookie napa …:-D

    • Gk sengaja 😮
      Bisa gk sengaja gimana? Nemu di jalan?

      Wkwkwkwkwk
      Iss ane mah kagak pernah nyiksa org eon -_- kagak sekali
      Hhhhaa

      Terima kasih sudah membaca eon :3

  2. Astaga nyesek banget. Biasanya ff yg aku baca ttgn ssorng yg terkena alzaimer itu yeoja. Tp ini yg terkena penyakitnya namja. Ini ternyata lebih menyakitkan T,T

    • Lebih menyakitkan krna sebagai laki dia gk bisa ngelindungi org 😀
      Hhhhahahaha

      Cup cup cup ojo guyu (?)
      Wakakkakaak

  3. eon .. nyesek bngett sihh bcaanyy .. ngg bsa byngin klo bneran trjadi smaa bang yeye..

  4. Aku baca ini dan membayangkan diriku jadi Hyojae meski pria berbahu kecil itu bukan biasku. Ngak usah sampe sindrom penyakit Alzheimer, pikun dan melupakan hari anniversary aja dah nyesek kok. Feel dapet. Pindah ke ff lain.

Leave a comment