Afterlife

image

Afterlie

Author : Midnight Fairy
Ficlet
Friendship, Angst
General

-Han Hyo Jae
-Kim Jong Woon

****

Dia benci tangisan. Benci isakan memilukan orang-orang di sekitar. Mereka menangis—meraung—hingga menyakiti telapak tangan. Memukul lantai seolah dengan cara tersebut semua kenyataan pedih itu hilang. Hyo jae muak dengan hal bodoh yang mereka lakukan. Dia hanya bisa menatap nanar dengan hati sesak peti hitam itu. Namun matanya tak bisa berbohong. Kantong mata Hyo jae menyembunyikan tangisan.

Tidak. Hatinya juga remuk. Semua orang berpakaian hitam satu-per-satu mendekati sosok cantik yang tertidur tanpa napas di sana. Sedangkan dia, berdiri gemetaran berjarak 2 meter dari tempat tubuh itu berbaring.

Pandangan Hyo jae beralih pada figura foto di depan peti. Gambar gadis tersenyum lebar dengan rambut gelombang terurai. Sangat cantik. Hyo jae meringis seraya menggigit tepi bibir.

Kenapa kau tersenyum, Shim Hera? Apa yang lucu? Kau menertawakan aku? Akhirnya kau melihat tangisanku ‘kan?  Sial. Ayolah! Jangan seperti ini, batin Hyo jae.  Ya, gadis itu  juga sama  terlukanya.

Hyo jae terlalu terkejut. Dia tidak bisa berpikir saat berita pilu itu datang begitu saja tanpa bisa diterka. Benar. Kehidupan tak bisa diterka. Bila Tuhan memutuskan kita pergi, maka pergilah. Sahabatnya pergi. Sahabatnya kembali pada kehidupan kekal “di sana”. Dan Hyo jae tak bisa apa-apa selain meratap dalam diam.

Kemarin, masih ada tawaan Shim Hera yang menganggu pendengar Hyo jae. Selasa kemarin, sahabatnya itu masih berceloteh tentang impian.

“Hyo, bagaimana kalau kita ke Nami?” Hera berbicara antusias sembari mengecap es krimnya.

Alis Hyo jae bertaut, “Nami? Aneh. Biasanya kau hanya berkata tentang mall, tas, baju. Apa otakmu terbentur lagi, eoh?” Telunjuk Hyo jae mengetuk pelan dahi Hera.

Hera berusaha menyingkirkan jari Hyo jae. “Apa yang aneh? Aku hanya ingin suasana sepi, damai dan sejuk.”

Tsk! Suasana seperti itu hanya di surga.”

“Surga….” Mata Hera menerawang. Lantas tersenyum simpul. “Akan lebih baik kalau aku ke surga. Benar ‘kan?” Hera balik menatap Hyo jae yang memandangnya aneh.

Tak pernah terbayang, impian manis itu akhir dari kisah manis mereka. Sehari setelah pertemuan, ketika langit sore menjingga, semua hilang. Berita itu datang seperti pengantar susu yang tanpa dosa mengetuk pintu di pagi hari. Seperti awan hitam yang entah darimana menghalangi matahari.  ‘Hera… Shim Hera…’ Ibu Hera menangis mengangkat telfon Hyo jae untuk anaknya. Suara tersedu wanita tua itu serta merta menghentakkan jantung Hyo jae. Dan akhirnya Hyo jae tau, sahabatnya meninggalkannya. Seluruh tubuh Hyo jae luruh dan bergetar. Terduduk bersamaan dengan air mata yang jatuh.

Dan sekarang, orang terdekat setelah orang tua Hyo Jae itu tertidur pulas di tempat pembaringan terakhir. Tepat di dalam kotak hitam sempit tersebut.

“Hyo….” Suara lirih Jong woon sentak mengembalikan kesadaran Hyo jae. Masa kemarin adalah kenangan. Hyo jae juga sadar itu.

Wajah sendu Hyo jae kini tertunduk. Kedua tangannya masih mengenggam tulip putih.

Jong woon merengkuh bahu Hyo jae. Dalam sentuhannya, Jong woon dapat merasakan seluruh tubuh wanitanya gemetar. Jong woon mengerti, Hyo jae selalu seperti itu jika terlalu takut.

“Kau harus bertemu Hera, Hyo.”

Diam. Hyo jae masih tak ingin mendekati tubuh pucat Hera.

Suara isakan masih memenuhi ruangan. Warna hitam dan putih terlalu banyak memenuhi penglihatan. Bebungaan duka cita semakin menyesakkan saat nama sahabatnya terukir.

Sedikit dorongan Jong woon pada bahu Hyo jae, lantas membuatnya melangkah. Tapi, Hyo jae kembali berhenti. Tulip putih itu sudah berpindah pada tangan kiri Hyo jae bersamaan dengan sergahan pada Jong woon. Tangan kanan Hyo jae meremas pergelangan tangan Jong woon. Ia terlalu takut melihat wajah cantik itu memucat.

“Hera pasti menunggumu.” Dengan tenang, Jong woon meraih tangan Hyo jae dan mengenggamnya.

Hyo jae mendongak—menatap Jong woon—dengan mata berkabut. Seulas senyum tulus Jong woon tergaris; memberi kekuatan. Mereka melangkah amat pelan. Mendekati sosok yang terbaring tenang di peti. Saat Hyo jae berdiri tepat di sisi Hera, tubuh gadis itu goyah.

Gadis itu semakin mengeraskan genggamannya pada Jong woon. Wangi khas Hera masih ada.  Hyo jae tak pernah lupa aroma parfume sahabatnya. Parfume yang ia pilih untuk Hera. Jong woon melepaskan genggamannya perlahan tatkala Hyo jae memandang lekat penuh kesedihan wajah Hera.

Dengan tangan berkedut, Hyo jae meletakkan tulip di sela tangan terlipat Hera. “Bahkan sampai akhir, kau tetap memilih wangi ini, Shim Hera.”

Tetesan air mata Hyo jae jatuh. “Kau bilang ingin ke Nami? Kenapa kau malah mengikuti kata-kataku untuk ke surga?”

Hyo jae menyentuh tangan dingin Hera. “Terima kasih sudah menjadi sahabatku. Dulu, sekarang, nanti, aku berjanji,” ucap Hyo jae parau. Air matanya menetes perlahan.

Sedetik berlalu, tubuh Hyo jae sudah tegak. Berpaling dan melangkah menjauh. Meninggalkan jasad sahabatnya yang memutih dengan wajah datar.

Jong woon masih diam. Ia melihat Hera sekilas dan sedikit merunduk; mengucapkan perpisahan dalam doa.

Lelaki berjas hitam itu lantas mengikuti Hyo jae yang telah keluar ruangan. Hyo jae mematung di luar rumah dengan kepala tertunduk. Bersandar pada dinding luar rumah Hera. Ini kali pertama Jong woon mendapati Hyo jae lemah. Tapi, bodohnya gadis itu selalu saja menyembunyikan sakit.

Jong woon berdiri di depan Hyo jae tanpa kata. Ia tak memeluk ataupun menyentuh. Dengan hal ini, Jong woon ingin menyembunyikan tangisan Hyo jae dari pandangan orang-orang. Karena ia tau, Hyo jae bukan manusia yang bisa terisak di depan banyak orang.

Pertahanan Hyo jae merapuh. Ia menutup mulutnya dengan punggung tangan. Menangis tertahan.

“Apa dia akan baik-baik saja?” Hyo jae bergumam dengan suara bergetar.

“Apa Hera akan kesepian disana?” Kali ini air mata Hyo jae tumpah. Ia tersedu mengenang semua cerita.

Bekapan di bibir Hyo jae semakin keras. “Hera—” Hyo jae mencoba mengatur suara. “Dia berkata akan pergi. Tapi dia tidak mengajakku. Dia bodoh! Kenapa selalu mengikuti kata-kata ku?” Hyo jae menatap wajah sendu Jong woon.

“Hyo… Hera tidak mengajakmu agar kau bisa terus mendoakannya.”

Hyo jae tersenyum kecut. Membenarkan perkataan aneh Jong woon. Ia kembali menenggelamkan wajah di depan Jong woon. Menyandarkan puncak kepala di dada Jong woon.

“Kim Jong woon, tetaplah seperti ini.”

Shim Hera, kau sahabatku paling bodoh. Di dunia sana, tetaplah menjadi sahabatku. Dulu, sekarang, nanti. Dan ini kali pertama aku berkata, aku merindukanmu.

*End*

10 thoughts on “Afterlife

  1. Ya salaaam…. Ini pasti menyedihkan 😥 ane belum ngalamin dan semoga aje kagak pernah ngalamin….

    Han hy’o jek ama yesong lagi kaleem binti akur…. Ane pengen dipinjemin dada ama kyu ~

    • Ngookksss pinjem dada ayam noh wkwkwkwk

      Eh tp ini belom diedit 😮
      Ane lupa klo yg dinote lbh byk dikit
      Wkwkwk
      Jd disini kt”nya ada yg kurang :v

  2. Ogaah…dada ayam kagak segembull dada kyu~

    eh, mskipun ada yg kurang…tapi ini udah bagus.

    Weny cantik, kali kali buat epep sejenis CEWEK MATRE/COWOK MATRE #realita’idup….Jarang jarang pan..

    • Apaaaaa????
      Weny cantik :3 ikh kenyataan itu memang indah hhhhaa

      Kapan” dah :v
      Ntar ane riset doloh jd cewek matre wkwk

  3. HILAAP memang sifat yang manusiawi ======@ Weny cantek….

    Ente emang penulis propesional, selesai riseet jangan keterusan yee jadi cewek matre…..Wkwkwk

  4. Akhhh feelnya dpt baget. Aku nangis thor, deg degan plus takut T,T

  5. Eonnie…

    Maaf aku lagi-lagi bergerilya di WP eonnie. 😀 insomnia kambuh lagi, jadi cari pelampiasan deeh.. Untuk FF ini,, asli sedih banget! Detail situasinya bikin aku speechless.

    Baru kali ini aku nangis karna sebuah FF..
    Keep writing eonnie!! 🙂

  6. makkkk.. ini sediiiihhhh… nyeseeekkkk

Leave a comment