Tears of a wife

Tears

 

Tears of a wife

Author : Midnight Fairy

Oneshot

Marriage Life, Hurt

NC-17

  • Sung Rae In (OC)
  • Lee Hyuk Jae

 

****

 

 

 Ada filosofi mengesankan tentang hebatnya seorang istri. Mereka—para wanita yang dijadikan pendamping—kadang kala bisa menjadi kokoh layaknya batang oak tua. Wanita-wanita itu selalu saja bisa menipu orang lain dengan rekahan senyum. Tak pernah sekalipun, mereka letih menunggu di sisi pintu demi seorang lelaki. Mengatur semua hal tetek bengek wisma sederhana yang menjadi istana, hingga kadang membuat mereka tergopoh, terkatung, untuk sesempurna mungkin ditampilkan didepan lelakinya. Mereka bahagia? Benar. Salah satu kebahagiaan terbesar dalam hidup wanita adalah melengkapi sudut kosong yang hanya bisa diisi oleh pria pilihannya.

            Seorang istri adalah ratu. Namun terkadang, status ratu itu berubah menjadi pembantu hanya demi pria yang pergi pagi dan pulang saat bulan nampak. Tak ada keluhan. Yang mereka tahu, hanya kebahagiaan kelak serta kesetiaan. Hanya itu, kekuatan bagi sosok-sosok tersebut.

            Sama halnya wanita-wanita itu, Sung Rae in-pun merasakan hal serupa. Wanita yang masih merebah di tempat tidur dengan piyama merah jambu tersebut terlihat letih. Memposisikan tubuh membelakangi sisi tempat tidur lain yang kosong. Ia terjaga meski dengan mata terkatup. Dan nyatanya, ia kesepian. Bukankah pernikahan adalah untuk menjadikan dua orang menjadi satu? Membuat terpisah menjadi sepasang? Dan kata-kata itu tak lagi berguna untuk Rae in.

 

            Sayup-sayup, ada suara tapakkan kaki yang sangat dikenal Rae in. Matanya sontak terbuka berharap sosok dengan lengan kekar—suaminya—pulang. Sudah tiga hari pria itu pergi, dan tiga hari pula Rae in menunggu. Akhirnya, suara decitan pintu kamar membuat senyum Rae in merekah. Tubuhnya lantas saja menegak antusias. Tak jauh darinya, seorang pria tinggi baru saja duduk pada sisi lain tempat tidur mereka dengan wajah tertunduk letih.

            Rae in mendekat dan mencoba menyentuh bahu suaminya. “Kau pulang. Kau letih? Mandilah dulu, akan aku hangatkan air,” seru Rae in lembut.

            Lee Hyuk jae, suami wanita itu masih terdiam. Tepat ketika sentuhan pertama di bahunya, tubuh Hyuk jae menolak. “Aku letih. Aku ingin tidur,” balasnya tak acuh seraya menghindari sentuhan dan percakapan Rae in.

            Hyuk jae lantas saja merebah membelakangi istrinya dengan tangan Rae in yang masih menggantung. Ia tercenung mati saat tindakan dingin suaminya kembali. Rae in hanya bisa menghela dengan rasa sakit. Menengadah, menahan air mata untuk tak menetes.

            Langkah Rae in memutari sudut tempat tidur yang kosong. Ikut berbaring hingga tubuh mereka berhadapan. Setidaknya, wanita itu ingin menurunkan rasa rindu dengan menatap wajah Hyuk jae.

            Tapi, yang terjadi lagi-lagi penolakan yang berhasil membuat batin Rae in terkoyak. Hyuk jae tanpa banyak berkata, tanpa membuka mata, kembali membalik tubuhnya dan hanya memperlihatkan punggung lebarnya.

            Hembusan napas letih Rae in menguar. Ia menutup mata hingga tetesan air mata yang tertahan kini jatuh. Mencengkram selimut tebal itu, menahan rasa pedih yang sewaktu-waktu akan menyisahkan isakan keras.

            Mau tak mau, Rae in ikut membelakangi tubuh Hyuk jae. Membuat posisi mereka yang bertolak belakang seperti dua kutub magnet yang saling berlawanan. Dan dalam posisi tersebut, cairan bening mata Rae in tak ingin berhenti.

 

****

 

Kemarin tidak seperti ini. Saat itu—enam bulan lalu—mereka masih saling merangkul. Menatap mesra satu sama lain seperti halnya pengantin baru lain. Bernyanyi dalam hati tentang indah dan lengkapnya hidup berdua. Rae in juga pernah merasakan bahagia sebelum kejadian memilukan dan membawa tangis itu membuat kenyataan tersibak.

            Semua berawal dari peristiwa kehilangan sosok tua yang amat dihormati; ayah Hyuk jae. Suasana rumah terlihat mencekam. Orang-orang berpakaian hitam mengelilingi peti yang berisi tubuh pucat renta tersebut. Tangis kehilangan menggema seperti bom yang menghancurkan jantung orang-orang itu. Tersedu dan tak rela saat perlahan peti coklat tersebut semakin hilang, pergi ketempat peristirahatan terakhir dalam gundukan tanah.

            Di depan figura foto ayahnya, Hyuk jae dan Rae in berlutut dengan wajah miris. Masih tersisa disudut mata mereka tetesan cairan tangis.

            Rae in mengusap punggung Hyuk jae lembut. Menenangkan ataupun memberi kekuatan pada pria itu. Dan Hyuk jae tetap menatap nanar gambar ayahnya yang tersenyum.

            “Jika saja tidak kau tinggalkan ayah sendirian, mungkin beliau masih di sini.” Hyuk jae melirih dengan kebencian. Entahlah! Yang ia tau, ayahnya yang sudah lumpuh itu ditinggalkan seorang diri hingga terjadi kecelakaan karena kelalaian istrinya.

            Jantung Rae in tersentak. Rasa nyeri yang teramat atas lontaran suaminya membuat tubuh Rae in lemas. “Bagaimana bisa kau—”

            Hyuk jae menatap sengit wajah Rae in. Tatapan benci semakin nampak. “Kau membunuh ayah.” Penuh penekanan dan arogan.

            Sontak mulut Rae in terbekap dengan telapak tangannya sendiri. Tubuh Rae in bergetar. Sakit. “Hyuk-ie, bukan aku, bukan.” Ia menggeleng menyergah. Belum puas air mata turun sejak prosesi pemakaman tadi.

            “Pergilah… Aku tidak ingin melihat wajah pembunuh. Kau mengotori pemakaman ayah,” sengit Hyuk jae tanpa mengindahkan tangisan terkejut Rae in. Ia berdiri dan meninggalkan Rae in seorang diri.

            “Lee Hyuk Jae, bagaimana bisa kau berkata seperti itu pada istrimu,” lirih Rae in seraya menatap pedih punggung Hyuk jae yang berbalut jas hitam  menjauh.

 

            ****

 

            Sejak ayah Hyuk jae pergi, lelaki itu seperti pria asing bagi Rae in. Dia terlalu dingin dan menakutkan. Tak jarang, layaknya istri yang baik, wanita itu selalu menunggu dan tertidur di meja makan meskipun harapan kosong. Setiap hari makanan dibuang begitu saja karena basi.  Lelaki itu menghilang dan datang sesuka jidatnya.

            Pernah suatu hari, Rae in tertidur di meja makan dengan wajah lelah. Malam itu, Hyuk jae pulang dengan tubuh gontai dan berbau alkohol keras.

            Suara pecahan guci sontak saja membangunkan tidur Rae in. Ia beranjak dari kursi makan dan menghampiri Hyuk jae. Memapah badan Hyuk jae agar tidak tumbang dan mengenai pecahan tajam porselin. Hyuk jae memutar kepalanya, menatap wajah Rae in dengan bola mata memerah. “Kau istriku… dari mana saja kau? Kau pasti sedang bersenang-senang, eoh? Tsk! dasar wanita,” racau Hyuk  jae seraya menepuk-nepuk lemah pipi Rae in.

            Tanpa membalas perkataan sembarang Hyuk jae, Rae in hanya terfokus membimbing suaminya itu untuk masuk ke kamar.

            Tubuh Hyuk jae berbaring di tempat tidur dengan suara igauan-igauan yang tak jelas. Bau alkohol masih melingkupi napas Hyuk jae. Beberapa kali Rae in berusaha mencari udara segar di sekitar.

            Rae in memandang sedih tubuh suaminya yang tak lagi seteratur dulu. Sedetik kemudian, dengan cekatan Rae in melepas sepatu Hyuk jae. Lembut sekali jari Rae in melepas satu-per-satu alas kaki Hyuk jae.

            “Aku bahkan sudah lupa kapan terakhir kali kau memanggilku dengan istri,” gumam Rae in seraya membenahi badan kekar Hyuk jae.

            Rae in membuka kancing kemeja Hyuk jae untuk membuat lelaki itu nyaman dan mengurangi bau menyengat alkohol. Dan kemudian, terlihat gambar-gambar yang terlukis di tubuh Hyuk jae.

            Wanita itu menghela, “Aku juga melupakan semua keburukan tentangmu. Tapi, kau malah membuatku buruk di matamu.” Rae in melirih dengan hati perih. Ia belum mau menangis. Tidak di depan lelakinya. Ya, inilah realita menyakitkan selanjutnya. Ia hanya seorang wanita yang  jatuh cinta meski cinta itu berjalan atas dasar perjodohan. Tak peduli seburuk apa pria itu. Perempuan berhati emas tersebut hanya yakin pada pilihan orang terdekatnya.

            Tepat saat kancing terakhir, Rae in kembali bergumam dengan mata memerah. “Aku mencintaimu meskipun kau tak pernah mengatakan mencintaiku juga.”

            Hening. Hanya ada suara denting hiasan jendela dari bambu yang saling beradu.

            Tubuh Rae in menegak meninggalkan Hyuk jae. Berniat membersihkan badan Hyuk jae dengan air hangat. Tapi, eratan di pergelangan tangannya kembali membuat Rae in berpaling. Hyuk jae tersenyum sinis dengan kilatan mata mengerikan. Sepasang mata napsu yang sukses membuat wanita itu takut.

            Pria kekar itu menarik keras rahang Rae in hingga membuat wajah mereka tak berjarak. Tanpa basa-basi, sentuhan kasar di bibir Rae in membuat wanita itu terbungkam tanpa bisa bernapas.

            “Hyuk…” gumam Rae in disela kelakuan beringas Hyuk jae pada bibirnya. Entahlah, lelaki itu bahkan tak bisa membedakan antara kecupan dan gigitan.

            Entah dikontrol minuman keras atau memang membiarkan napsu bermain, Hyuk jae lantas saja menarik tubuh Rae in hingga terpental di tempat tidur. Lelaki itu membuka paksa satu-per-satu kain yang membalut tubuh ramping istrinya. Dan Rae in hanya terdiam. Menatap sendu wajah yang berubah asing suaminya. Setidaknya, ia masih mengingat kewajiban seorang istri.

            Bukan. Bukan seperti ini seharusnya. Lelaki itu terlalu kasar sebagai suami di ruang privasi mereka. Bukan dengan mata kebencian. Ia hanya butuh tatapan lembut. Rae in hanya bisa merintih mendapati “kelakuan kasar” Hyuk jae pada tubuhnya. Memberikan bekas-bekas merah gigitan yang sedikit perih.

            Satu lagi yang Rae in tahu. Ia berharap kehadirannya bukanlah hanya sebagai pemuas napsu jantan sang suami.

            Belum habis nyeri di hati Rae in, pagi setelah kejadian menyakitkan semalam, wanita itu tak lagi mendapati sosok sang suami. Ia lenyap seolah perampok yang pergi setelah mengancam orang lain. Rae in kini lemah. Air matanya mengalir begitu saja tanpa teriakan. Terduduk seraya menenggelamkan wajah tirusnya di lutut yang terbalut selimut. Tubuhnya gemetaran karena tangis.

            “Ayah, Ibu, aku lelah,” isaknya parau.

            Suara kencang bel rumah, sentak membuat Rae in berlonjak. Dengan cepat ia memakai kembali pakaian dan menghampiri tamu.

            Keterkejutan wanita itu belum juga berhenti. Sebuah surat resmi tentang hutang piutang yang menyangkut tempat usaha suaminya datang, kian meremas jantungnya. Rae in menghempas kasar tubuh di sofa. Ini terlalu memusingkan. Ini tidak adil. Ia hanya seorang istri yang rela melakukan apapun. Tapi, tidak bisakah sedikit saja rasa kasihan akan nasibnya datang? Rae in hanya minta sedikit.

            “Maaf nyonya, jika itu tidak dilunasi secepatnya, maka cafe tuan Lee akan disita.” Pria setengah baya berujar dengan nada iba.

            Rae in memucat. Ia memijit pelan pelipis kepalanya. “Akan saya lunasi. Tolong jangan lakukan tindakan apa-apa pada cafe itu.”

            Dan akhirnya, Rae in harus merelakan pemberian berharga orang tuanya. Perhiasan yang selalu ia jaga, mau tau mau pergi demi kesenangan pria tercinta itu. Lagi pula, ia masih bertanggung jawab pada sosok yang diakui suami.

 

 

            ****

 

            Suasana ruang makan Hyuk jae dan Rae in tampak sunyi, walaupun ada dua tubuh yang saling berhadapan menikmati sarapan. Mentari pagi yang cerah, tak secerah hati mereka berdua. Tiga bulan setelah kepergian Ayah Hyuk jae, bisa dihitung dalam tiga bulan itu lelaki tersebut sarapan di rumah. Selebihnya, Rae in tidak tau kemana sang suami. Bertanyapun, Hyuk jae akan tetap bungkam.

            “Makanlah ini. Kau tampak lebih kurus,” lontar Rae in lembut seraya meletakkan irisan daging ke mangkuk Hyuk jae.

            Hyuk jae tak berpaling dari menatap nasi di mangkuk. Perlahan-lahan makan tanpa peduli Rae in.

            “Lebih baik kita berhenti berpura-pura menjadi suami-istri.” Hyuk jae berkata tenang. Kembali menelan makanannya.

            Pandangan Rae in berfokus pada tingkah laku Hyuk jae yang dingin. Ia menghirup udara, mencoba bersikap tenang. “Apa kau mau tambah sup? Cuaca bertambah dingin sekarang,” balasnya sembari meraup sup hangat dan memberinya pada Hyuk jae.

            Hyuk jae jengah. Dengan keras ia meletakkan sendok hingga terdengar suara berdentum.

            “Apa kau tuli? Aku bilang lebih baik kita selesaikan sampai di sini!”

            Rae in merunduk, “Akhir-akhir ini sering terjadi badai. Aku takut sendirian.” Ia tak ingin mendengar kalimat nista itu. Masih menenggak makanan dengan  bibir gemetar. 

            Dengusan keras Hyuk jae terdengar. “Kau…”-tangan Hyuk jae mengepal-“Kau harusnya sadar jika selama ini aku hanya terpaksa menikah denganmu.”

            Kalimat sarkartis Hyuk jae bak ujung tombak yang secepat kilat menancap jantung Rae in. Ia menatap tak percaya muka Hyuk jae yang memerah. Semakin lama mata Rae in berair. “Jangan teruskan,” lirihnya memohon. Ini terlalu sakit jika harus tau kebenaran memedihkan itu.

            “Selama ini aku hanya terpaksa menyukaimu. Ayah, ayah yang memohon. Kau tau apa katanya, ‘aku tidak akan mendapatkan wanita sebaik dirimu dengan kondisi dan perangaiku seperti ini’ Tapi, ternyata aku bosan dengan kehidupan bersamamu. Aku muak.”

            “Aku bilang jangan teruskan!” Rae in berteriak marah. Ia menepis mangkuk di depan. Suara pecahan terdengar bising. Napas Rae in menderu. Air mata mengalir pilu. Dia benar-benar tak sanggup lagi.

            “Kau—” Bibir Rae in berkedut. “Kau tau betapa aku selalu berusaha sempurna di depanmu? Aku tau kau tidak mencintaiku! Aku tau kau muak padaku! Tidak bisakah sedikit saja kau berpura-pura mencintaiku? Setidaknya jangan membenciku!” Kali ini lengkingan frustasi Rae in menggaung. Ia memecahkan segala rasa sabar di depan suaminya.

            Hyuk jae membuang muka. Ada rasa iba yang tak sanggup ditepis lelaki itu. Wajah kesakitan Rae in mengganggunya.

            “Kau lelaki tak punya hati.” Nada sengit penuh penekanan itu sentak membuat Hyuk jae kembali menatap Rae in. Ya, kali ini ia sadar jika hatinya sudah membatu untuk istrinya.

            “Maaf. Tapi aku benar-benar tak bisa bersamamu lagi. Surat perceraian sudah kuurus. Kau tinggal menandatanganinya,” balasnya dingin. Lelaki bermata sipit itu beranjak dan menjauh dari wanita yang masih membatu dengan isakan.

            “Apa aku terlalu rendah di matamu?”

            Hyuk jae berhenti menapak. “Aku harap kau akan menemukan lelaki baik,” ujarnya tenang. Ia kembali berjalan pergi dan keluar dari rumah.

            Rae in mendongak. Ia mengigit bibirnya menahan getaran. “Argh!” Wanita itu mengeram dengan teriakan frustasi. Menepis semua piring dan mangkuk di meja. Menangis tersedu akan nasibnya. Inikah akhir? Inikah yang didapat setelah kesabaran yang ia tuai?

            Tubuh Rae in merapuh. Ia menangkup wajahnya dengan kedua tangan hingga terjatuh ke meja. Melepaskan semua isakan yang selama ini tertahan.

            Rae in sudah letih menangis sekarang. Ia masih bersandar lemah di tempat duduk. Menatap kosong pecahan beling yang berserakan di lantai. Tapi, suara dering ponselnya sedikit menganggu. Dengan sisa tenaga, ia berjalan menghampiri ponsel di atas meja hias yang berjejer beberapa guci kecil dan pernik koleksinya.

            Saat melihat siapa yang menelfon, Rae in beberapa kali menghembuskan napas. Menenangkan kembali nada suara.

            “Eun ji-ya, ada apa?”

            “Eonnie, aku bermimpi tentangmu semalam. Apa kau tidak apa-apa? Aku menghawatirkanmu,” seru Eun ji tanpa membiarkan Rae in menjawab.

            Rae in menghela dengan senyuman miris. “Aku tidak apa-apa. Jangan khawatir.”

            “Pembohong. Kau pikir, aku tidak tau mana suara orang baik-baik saja dengan suara sehabis menangis? Eonnie jangan membuatku khawatir.”

            Rae in menggigit bibirnya lagi. Ia butuh seseorang di sampingnya. “Aku akan bercerai.”

            “Eonnie…” Eun ji mendesah iba.

            “Tidak apa-apa. Mungkin ini yang terbaik.”

            “Eonnie, maaf. Selama ini kau  sudah menganggapku adik. Tapi, aku tak berguna,” lirih Eun ji dengan perasaan amat bersalah.

            Senyum Rae in menggaris, “Apa yang kau katakan, anak kecil? Aku harusnya berterimakasih padamu karena selama ini selalu disisiku.”

            Di seberang telfon sana, suara isakan kecil Eun ji terdengar. “Aku tak berguna. Aku tak bisa berbuat apa-apa untukmu.”

            “Cho Eun ji. Jika kau seperti ini, siapa lagi yang akan memberiku kekuatan, eoh?”

            “Maaf….”

            “Dengarkan aku. Jangan sampai hal yang terjadi padaku, terjadi padamu juga. Aku tak akan memaafkan diriku sendiri.”

            “Eonnie… Kau terlalu baik. Aku… aku menyayangimu,” balas Eun ji serak.

            Air mata Rae in menetes pelan. “Aku juga. Jangan menangis, kau akan terlihat jelek.”

            “Kau wanita kuat, Sung Rae in eonnie.”

            Sambungan telfon terputus. Rae in menghembuskan napas letih. Setidaknya, ia merasa tak sendirian.

 

 

            ****

 

            Rae in duduk berhadapan dengan Hyuk jae disalah satu sudut cafe. Cafe yang mati-matian ia lindungi agar tidak jatuh. Dan yang didapat, hanya tindakan pahit yang berakhir pada perceraian.

            “Itu surat perceraian. Kau tinggal menandatangani dan pulang dengan tenang.” Nada arogan Hyuk jae sentak membuat senyum kecut Rae in tergaris.

            Wanita berambut panjang itu menatap nanar lembaran surat yang sukses membubuhkan perih di hatinya. “Sepertinya kau sudah berencana lama melakukan ini, Lee Hyuk jae.”

            Tak ada jawaban dari bibir Hyuk jae. Ia pria jahat, memang. Tapi, ada sedikit rasa bersalah yang membuatnya tak bisa bertahan lama. Entahlah. Ada rasa tak tega jika Rae in terus-terusan tersakiti karena tindakannya. Tidak ada cinta. Itu saja.

            “Jika aku tidak menyetujui-nya, apa yang akan kau lakukan?”

            “Tidak ada. Kau tidak akan bisa bersama orang yang kau cintai kelak.”

            Rae in tersenyum mengejek. “Ternyata kau bisa berkata tentang cinta. Aku pikir, hatimu sudah mati.”

            Hyuk jae menatap dingin wanita di depannya. Mendapati pandangan seperti itu, senyum Rae in kembali mengumbar. Wanita yang selalu menyembunyikan sakit melalui senyuman.

            Helaan napas Rae in menguar. Ia mengambil kertas perceraian dan meraih pena disisinya. Lama ia memandang lekat tulisan-tulisan menyakitkan yang akan membawa ia pada kesendirian. Meninggalkan status istri yang diidam-idamkan wanita.

            Waktu berlalu ketika goresan persetujuan atas perceraian yang diajukan Hyuk jae telah terjadi. Dengan mantap Rae in menandatangani kertas tersebut. Sekarang, tak ada lagi lelaki itu dikehidupan Rae in.

            Rae in berdiri dengan kepercayaan diri. “Terima kasih atas semua kepura-puraan anda selama ini,” sengitnya sembari sedikit merunduk.

            Hyuk jae hanya bisa memperhatikan punggung Rae in yang menjauh.

            Lutut Rae in serasa patah. Setegar apapun, ia tetaplah manusia yang bisa lemah. Dalam langkahnya, ia membekap mulut mengurangi suara isakan. Bahunya bergetar lagi.

            “Eonnie!”

            Dari arah depan yang tak jauh darinya, seorang gadis bermata coklat berlari kearah Rae in. Terengah menghampiri Rae in. Lantas, gadis itu memeluk tubuh gemetaran Rae in.

            “Eun ji… Kau datang. Kau datang.” Isakan Rae in akhirnya terpecah.

            “Eonnie, kau kuat. Kau kuat. Tidak apa-apa. Jika semua orang membencimu, aku satu-satunya yang akan menyayangimu.”

            Tangisan Rae in semakin keras. Dalam pelukan hangat itu Rae in merasa terlindungi.

            “Aku akan terus bersamamu. Menangislah. Keluarkan semua. Tangisan sakit itu pasti akan berubah menjadi air mata kebahagiaan. Percayalah.”

 

 *END*

 

Cerita ini di Khususkan untuk seseorang

Eonnie! Kau kuat ^^

5 thoughts on “Tears of a wife

  1. Aigo…… Ceritanya sedih banget eonni 😥
    Bikin akun jdi pingin nangis aj 😥

  2. Rae In harusnya jangan membantu Hyukjae mempertahankan cafe itu. Ish jadi pengen nendang monyet itu

  3. Aigoo… sedih banget 😥
    akhirnya emg sad ya thor?

    huhuhu… pngen nangis 😥

  4. sequel please thor

Leave a comment