Abnormal Life [Part 4]

AB4

Author : Midnight Fairy

Chaptered

Sad Romance

PG + 15

  • Han Hyo Jae
  • Kim Jong Woon
  • Jung Yong Hwa

****

            Ada yang salah pada kelakuan Hyo jae pagi ini. Dia, wanita yang tak pernah antusias menyambut mentari, kini sudah berkutat di dapur kotornya. Ini terlalu aneh untuk sosok dingin seperti Hyo jae yang membenci segala. Dan hal yang paling mengagumkan adalah senyum manis wanita itu tergaris—meski sedikit—ketika lidahnya mencicipi sup yang baru saja mendidih.

Sudut mata Hyo jae melirik arah luar. Awan putih mengepul yang tertembus sinar matahari. Tak peduli. Ia terlalu malas untuk sekedar berpikir, hari ini akan sangat terik atau hujan seperti biasanya.

Masakan sederhana itu sedikit lagi siap sampai saat Hyo jae teringat beberapa bumbu yang telah habis. Ya, wanita itu bisa dihitung berapa kali makan di rumah dalam seminggu, dibandingkan duduk di meja restoran bersama pria berbeda. Hingga, ia lupa kapan terakhir kali membeli sesuatu hal kecil seperti kecap asin dan semacamnya.

Ia menghela malas. Mau tak mau, Hyo jae harus keluar. Gadis itu tak suka makanan hambar dan juga tak suka makanan terlalu manis.

Ragu. Belum sampai membuka pintu, Hyo jae sedikit bernapas dalam. Sejujurnya, ini sudah terlalu lama tak mendapati laki-laki di kediamannya sejak Yong hwa pergi. Dan ia merasa sedikit terganggu akan tingkah sekehendak hati lelaki yang baru dikenalnya itu.

Pemikiran Hyo jae salah. Ia kira, lelaki dengan jeans sobek tersebut masih menggulung tubuhnya di balik selimut. Ternyata, di atas tempat duduk kayu yang lebarnya bisa memuat tiga orang berbadan tambun tersebut kosong. Hanya ada selimut yang sudah terlipat. Hyo jae memutar mata kebeberapa sudut. Yang paling membingungkan hatinya, Hyo jae kini merasa seperti menampung anak kucing yang tak tau terima kasih—setelah diberi makan, akan pergi ke rumah lain.

Hyo jae kembali melangkah. Membiarkan selimut bekas Jong woon terasa panas karena matahari.

Jalanan pagi ini sedikit sepi. Tak terdengar lagi celoteh anak-anak yang pergi sekolah. Dan hal yang paling terdengar sekarang adalah suara derik sepeda di belakangnya. Bunyi kayuhan serta goresan roda pada jalan aspal tersebut membuat telinga Hyo jae jengah. Kenapa sepeda itu tidak mendahuluinya malah bermain berputar-putar di belakang? Orang kurang waras mana yang pagi-pagi membuat keributan seolah baru pertama kali menemukan sepeda ditahun serba gadget ini?

Merasa terganggu, ia membalik tubuhnya malas. Geraian rambut panjang Hyo jae terayun.

Belum sempat mulutnya membuka, orang tersebut juga sentak berhenti. Ia mengangkat tangan dan tersenyum lebar.

Good morning.”

Hyo jae mendengus dengan senyuman sinis. “Kim Jong woon-ssi, kau memang pria aneh. Kau pikir aksen Inggrismu bagus?”

Bola mata Jong woon berputar. Ini belum jam 10 dan perkataan gadis itu sudah membuat perutnya kenyang dengan sarapan perkataan sinis.

Mendapati tubuh Hyo jae yang sudah meninggalkannya, lelaki itu kembali mengayuh sepeda dengan lamban di samping Hyo jae.

“Mau kemana kau?”

“Bukan urusanmu.”

Jong woon tak menanggapi sahutan dingin Hyo jae. “Dari yang kulihat, kau akan ke toko. Apa kau membuat sarapan? Bersepeda membuatku lapar.”

Hyo jae mendelik ke arah Jong woon. Ada perasaan geram menanggapi tingkah sesuka hati lelaki itu. “Tuan Kim Jong woon, kau melupakan sesuatu hal penting. Kau bukan tamu dan kau tidak berhak mendapatkan sarapan.”

“Kalau begitu aku akan menjadi tamu,” sergahnya acuh.

“Aku tidak menerima tamu.”

“Tidak ada orang yang menolakku.”

“Tidak ada orang yang bisa mengancamku,” balas Hyo jae seraya menatap tajam mata coklat Jong woon.

Senyuman Jong woon tergaris. Ia seolah menemukan orang yang bisa membuatnya tertantang. Wanita itu, menyimpan peti hitam yang berisi rasa sakit yang tak pernah nampak. Dan Jong woon sangat ingin membuka dan menghapus rasa sakit tersebut.

Senyum Jong woon masih merekah saat langkah acuh Hyo jae menjauhinya. Ia bukan pria pengecut yang akan menyerah pada wanita es seperti Hyo jae.

Sepeda Jong woon berada di belakang Hyo jae sangat lambat. Beberapa kali Jong woon mendongak dan merasakan angin menyapu wajahnya.

“Hei, Han Hyo jae.”-pandangan Jong woon beralih pada kemudi sepeda-“Apa pernah kau menangis? Maksudku kapan terakhir kali kau menangis?”

Tapakan Hyo jae berhenti. Eratan tangannya mengeras. Ia lupa. Lupa semua tentang tangisan. Yang ia tau, tangisan untuknya tak membantu.

“Jong woon-ssi. Pernahkan kau menutup mulutmu?” Seringaian tak bersahabat Hyo jae tergaris saat ia memalingkan wajah menghadap Jong woon.

Senyum menantang Jong woon terlukis di wajahnya. Dia belum menyerah sampai mulut Hyo jae dengan sukarela membuka rahasia itu. “Kau salah, nona. Ini bahkan hal pertama yang membuatku berkata banyak.”

Hyo jae kalah telak. Dalam tatapan dinginnya ada pertanyaan besar yang mengganjal. Apa yang membuat lelaki itu tertarik dengan kehidupan abnormal-nya?

Garis bibir sinis Hyo jae sentak menghilang. Muka datarnya kembali nampak. Ia menghela dan membiarkan Jong woon melakukan apapun sesuka jidatnya.

“Lebih baik kau kembali ke rumahku dan menunggu di sana. Jika kau terus mengikutiku seperti ini, makanan yang kubuat dengan susah payah akan basi.”

Jong woon sedikit terkekeh. “Baiklah. Aku akan menunggu. Aku akan sabar.”

“Sebentar, dari mana kau dapatkan sepeda itu?” Tanya Hyo jae dengan alis tertaut.

“Ini?”-Jong woon menatap rangka sepeda-“Aku memintanya pada orang. Ya, mungkin sedikit gertakkan dan sedikit memar serta darah.” Dengan lontaran polos Jong woon berkata seraya mengusap lehernya.

Decakan tak percaya akan tingkah gila pria itu menguar. Wanita itu baru pertama kali bertemu orang yang bisa melakukan sesuka hati tanpa peduli cercaan orang lain. Menganggumkan.

Hyo jae kembali berpaling menatap jalanan lurus yang dijajari toko-toko. “Kim Jong woon-ssi.”

Wae? Apa lagi?”

Muka Hyo jae mendongak; memandang puncak toko berlantai tiga. “Apa pernah kau melompat setinggi toko itu?”

“Tidak akan pernah. Kau pikir aku gila.”

“Ya, setidaknya orang gila lebih bebas kan? Maka dari itu cobalah. Rasakan menjadi orang gila dan jangan terlalu sering menggangguku.”

Kali ini, Hyo jae benar-benar pergi meninggalkan Jong woon yang mengeram. Jong woon kembali mengusap tengkuknya.

“Astaga… sial. Hei! Wanita kaktus! kau ingin membunuhku atau menginginkan aku menjadi gila!”

Jong woon kembali menggerutu. “Aku benar-benar akan gila menghadapi wanita itu.”

Dan senyuman kecil Hyo jae tergaris. Tidak ada salahnya dengan sedikit hiburan dari lelaki asing, kan?

****

Seperti orang yang tak pernah mengisi perut selama tiga hari, Jong woon makan dengan lahapnya. Beberapa kali sumpit Hyo jae kalah cepat oleh raihan sumpit Jong woon. Membuat nasi yang ia masak harus habis dalam setengah jam. Sisa-sisa makanan tercecer di meja. Hyo jae hanya bisa menarik napas kesal dan menurunkan sendok. Membiarkan lelaki rakus itu membuat piring dan mangkuknya hanya bersisa lembaran tipis lauk dan sayur. Dan satu lagi sebutan untuk pria itu. Bukan hanya bad boy, lelaki hyper, orang yang tak bisa diatur, dia juga manusia berperut karet.

Ketika tak tersisa sedikitpun, Jong woon berhenti dan tersenyum puas. Suara sendawa mengerikan sentak membuat mata Hyo jae terbelalak tak percaya.

“Ah! Ini enak. Aku sudah sangat lama tidak makan-makanan rumah. Kau tau, kan? Ramen dan sebagainya kadang kala membuat lambungku tercubit.”

Hyo jae hanya menatap tanpa ekspresi wajah senang Jong woon. Lelaki itu dengan nyamannya bersandar di kursi dan menjulurkan kaki seolah rumahnya sendiri. Lantas, mengusap perut yang berubah mengembang dalam hitungan menit.

Gadis itu memundurkan kursi. Berdiri tanpa berkata sedikitpun. Membereskan mangkuk-mangkuk  kosong dan membawanya ke sink yang semakin berkarat, tak jauh dari meja makan. Tepat menghadap tempat duduk Jong woon.

“Kau puas ‘kan? Maka pergilah. Permainan tamu-menamu kita berakhir.” Gemericik air memecah lontaran dingin Hyo jae. Ia masih berkutat pada mangkuk kotor yag telah dipenuhi busa. Membelakangi Jong woon yang masih duduk dengan santai.

“Tidak sopan jika mengusir orang setelah makan.” Jong woon dengan enteng membalas sembari mengusap bibir bawahnya yang masih terasa pedas. Ia memperhatikan setiap sudut rumah kecil Hyo jae. Tepat di ujung sudut sana—sudut yang paling gelap—sebuah ruangan yang bisa dipastikan kamar Hyo jae. Dinding coklat yang bertengger beberapa foto anak kecil yang tersenyum bersama orang tuanya sontak membuat mata Jong woon tertarik. Segaris senyum terukir. Dia, Han Hyo jae yang berhati dingin, ternyata dilahirkan dalam keluarga yang hangat. Lantas, setan terkutuk apa yang membuat ia seperti itu?

Kepala Jong woon kembali berputar. Ada bingkai yang menggantung tanpa foto. Sebuah kalung perak berbentuk sayap tergantung berbinar di sana. Matanya menyipit, menilik serta memikirkan alibi-alibi apa yang bisa ia dapatkan.

Suara dering ponsel Hyo jae memecah keheningan serta pengamatan Jong woon. Lelaki itu sentak memandang Hyo jae yang sedikit risih karena air yang mengalir di tangannya.

Hyo jae mengibaskan tangan. Lantas, meraih ponsel di saku. Lama ia memandang layar putih tersebut hingga akhirnya Hyo jae memutuskan menerima telfon dengan hembusan napas. Rona benci berkilat dari pupil kecoklatannya. Dan Jong woon paham betul orang macam apa yang menelfon.

“Ada apa?”

“Tidak. Aku tidak menerima tamu hari ini. Lebih baik kau berikan pada orang lain.”

“Jangan mengancamku.”

“Brengsek! Berhentilah bertingkah seolah-olah kau raja. Bahkan, jika kau benar-benar raja, aku akan tetap meludah ke arahmu,” eram Hyo jae saat mendapati lontaran yang membuat hatinya mendidih. Dan orang di seberang telfon hanya terkekeh.

Hyo jae menggigit bibirnya menahan emosi. Ingin sekali ia menusukkan pisau ke tubuh orang itu dan mengeluarkan organnya.

Helaan napas lelah Hyo jae kembali terdengar. Pilihan menjijikkan dan takdir menggelikan itu mau tak mau harus ia terima. Bukankah ia sudah terlalu jauh masuk ke jalan hitam ini? Tidak lagi ada cahaya. Jika-pun ada sinar kecil, cahaya itu akan selalu termakan kelam.

“Baik. Hanya satu. Sore ini aku akan menemuinya. Perjanjian-perjanjiannya, jangan pernah kau lupakan.” Dengan sentakkan kasar Hyo jae menutup ponselnya. Ia bergetar lagi. Hyo jae tertunduk dengan menumpukan ke dua tangannya ke washtafel. Marah? percuma. Tidak akan ada yang mau mendengar celotehan kasarnya. Menangis? sudah dikatakan jika untuk Hyo jae, tangisan tak akan ada gunanya. Hal yang terbaik adalah mengubur setiap titik-titik sakit hingga membuatnya meninggi dan meledak begitu saja.

Wajah Hyo jae tetap tertunduk, memandang lantai kayu. “Kim Jong woon-ssi, tolong tinggalkan aku.”

Tatapan Jong woon tak ingin beralih dari tangan Hyo jae yang gemetar. Pria itu sadar, jika mereka masih dalam taraf hubungan yang hanya bisa saling menatap tanpa menyentuh.

Jong woon mengangkat bahu dan menegak pelan—masih dengan tangan di saku. Suara derit kursi menyayup. Ia berjalan menjauhi Hyo jae yang membatu. Membiarkan gadis itu tenggelam dalam kebencian.

Langkah Jong woon berhenti di depan pintu. “Han Hyo jae. Apa enaknya terus diam seperti patung? Apa itu menyenangkan? Jadi manusia pemberontak kadang lebih menyenangkan.” Seruan tenang Jong woon akhirnya hilang bersamaan dengan dentuman pintu.

Hyo jae tercenung. Wajahnya menegak saat kata-kata Jong woon serta merta membuat hatinya semakin sakit. Pemberontak? Mungkin sudah berpuluh-puluh kali ia berpikir seperti itu.

Hyo jae berkedip pelan, mencoba men-sugesti otaknya untuk kembali menjadi karang.

****

Pemberontak. Prinsip Jong woon kali ini tak berguna untuk dirinya sendiri. Seribu kali otaknya mencoba memberontak dari memikirkan dan membayangkan wajah Hyo jae, maka dua ribu kali hatinya akan terus gila akan wanita itu. Untuk kali ini, ia tak bisa melawan kekhawatirannya dari tatapan penuh kesakitan Hyo jae.

Sejak mendengar kata sore, Jong woon tak bisa duduk diam di rumah. Terus-terusan berpikir jika gadis itu akan melakukan hal-hal di luar norma yang akhirnya akan menjadi cibiran dunia. Dan Jong woon benci itu. Benci saat orang-orang memandang rendah Hyo jae.

Sekarang, Jong woon sudah berada di sudut jalan tak jauh dari rumah Hyo jae. Tak ada lagi jeans sobek. Pria itu tampak seperti lelaki normal kebanyakan.  Jong woon bersandar pada dinding seraya memasukkan tangan ke saku. Menunggu gadis bermuka datar itu melewatinya.

Seorang gadis dengan dress mini sontak membuat tubuhnya kembali menegak. Ia memincing tatkala melihat penampilan gadis itu sekarang. Sejujurnya, Jong woon yang biasa hidup di jalanan sudah sering bertemu Hyo jae. Dan jelas tau apa yang selalu dilakukannya. Tapi, sejak Jong woon menolong Hyo jae ketika itu, perasaan tak acuhnya berubah iba. Kemudian, berubah peduli, dan akhirnya ia tak mengerti apa yang membuatnya selalu ingin merubah wajah datar itu menjadi senyum.

Hyo jae menaiki taksi, begitu juga Jong woon yang terus membuat gadis itu tak jauh dari jangkauannya. Hingga, Hyo jae turun di salah satu jalan. Gadis itu berjalan tanpa peduli suara bising jalanan dan celoteh tak berguna orang-orang sekitar.

Seperti elang yang mengintai kelinci, Jong woon terus-terusan berjalan di belakang Hyo jae dengan santai. Terkadang, ia tersenyum mendapati Hyo jae yang menatap sinis para pria yang menggodanya. Seperti Jong woon pikirkan, lelaki mana yang tak akan menyusut hatinya jika diberi pandangan pembunuh seperti itu. Dan ancaman tersebut tidak berguna untuk Jong woon.

Hyo jae sampai di Koreana Hotel. Ia sedikit lama berdiri diambang pintu cafe hotel hingga akhirnya,  satu hembusan napas meyakinkannya.

Di salah satu tempat duduk, pria 30 tahun-an berjas hitam, sudah duduk dengan tenang. Sesekali menyesap kopi. Perawakan menawan dengan rambut hitam. Hyo jae hanya mengangguk hikmat saat bertemu, lantas duduk memberi sedikit senyum—meski terpaksa.

Jong woon memandang mereka dari kejauhan. Melalui kaca bening cafe, ia bisa melihat jari-jari Hyo jae yang tak tenang. Terus-terusan meremas tepi dress-nya. Ia mendengus saat teman lelaki Hyo jae tersenyum semanis mungkin tetapi menyimpan napsu busuk. Dengan kemuakannya, Jong woon memalingkan muka dan menyandarkan tubuh di dinding marmer tersebut. Melipat kedua tangan di depan dada sembari menutup mata. Sedikit menghentak jari pada badannya sendiri.

Begitu Jong woon membalik tubuh, gadis itu sudah pergi bersama pria di pintu lain cafe yang membatasi tempat tersebut dengan hotel. Ia hanya bisa memandang punggung mereka berdua tanpa ekpresi. Kembali berkutat pada pikiran-pikiran konyol yang memusingkan. Berulang kali bergerak dari satu arah ke arah lain, terus menerus. Menghentak kaki tak tenang. Berjongkok bahkan duduk bersila yang membuat orang-orang melewatinya menganggap lelaki tampan itu depresi.

Lelaki itu akhirnya menyerah. Ia menghembuskan napas dalam seraya berdiri tegas. “Aku benar-benar bisa gila!”

“Kim Jong woon, ada apa denganmu? Baik… baik… hanya memeriksa dia baik-baik saja kemudian pergi,” gumam Jong woon disertai eraman saat sudah memasuki hotel.

“Arah kemana dia tadi? Akh, Bodoh! Untuk apa aku melakukan hal konyol seperti ini!” Seru Jong woon seraya mengedarkan pandangan di dalam hotel berbintang empat  tersebut.

Salah satu karyawan yang merasa aneh, sontak menghampiri Jong woon.

“Maaf, tuan. Apa anda ingin check in?”

Kepala Jong woon sentak tertoleh. “Tidak aku sedang mencari seseorang.”-dia kembali memutar kepala ke segala sudut-“Apa kau melihat wanita cantik memakai dress merah muda bersama pria? Wajahnya… wajahnya tanpa ekspresi. Apa kau lihat?”

“Kalau itu, kami tak bisa memberi informasi yang menyangkut pengunjung kecuali costumer sendiri yang meminta.”

Jong woon berdesis. “Hei! Dia itu…”-Jong woon terdiam, berpikir mencoba mencari alasan-“Dia istriku! Jika terjadi apa-apa dengannya, hotel ini yang akan kutuntut. Apa kau berani bertanggung jawab, hah!”

Si karyawan tersebut menenggak ludah gugup. “Mereka baru saja lewat sana, tuan.”

Senyum Jong woon menggaris. Ia berjalan seraya menepuk pundak lelaki itu dengan tenang.

Dengan sedikit berlari, Jong woon mencoba mencari letak Hyo jae. Tepat di salah satu lorong, Jong woon bisa bernapas lega. Napas yang menderu itu kini terbayar dengan tampilan punggung kurus Hyo jae.

Hyo jae berjalan amat tenang bersama tamu prianya. Sesekali si pria berceloteh tak penting diselingi rayuan menjijikkan yang hanya dibalas senyum kecut.

Satu sentuhan di pangkal paha belakang Hyo jae membuatnya berhenti. Hyo jae masih tenang dan sedikit menghindar. Namun, sentuhan itu kini semakin menjadi. Punggung hingga ke area bawah tubuh Hyo jae ia usap dengan mata napsu. Sentak Hyo jae meraih pergelangan tangan pria tersebut dan meremasnya kasar.

“Aku tidak suka bermain bukan pada tempatnya, Tuan.”

“Kenapa? Bukankah sama saja? Di sini dan di sana kau tetap milikku hari ini,” balasnya menyeringai.

Hyo jae berdesis. Ada rasa nyeri yang menghimpit hatinya. Tapi, itu lagi-lagi realita. Sekeras apapun ia menjadi sosok dingin di mata lelaki-lelaki tersebut, mereka hanya tau permainan di ranjang setan itu. Toh, di mata orang-orang Hyo jae tetaplah gadis panggilan yang tak punya harga diri.

“Tapi saya tidak suka,” ucap Hyo jae datar.

Si lelaki berdecak. Lantas, mendorong tubuh Hyo jae hingga menyentuh dinding. Membuat gadis itu menegang. “Kita lihat, bagian mana yang tak kau suka, cantik.”

Tatapan benci Hyo jae kembali nampak. Ia mengeram dalam hati dan sedikit memberontak dari tubuh pria tersebut.

“Lepaskan. Jika tidak, perjanjian kita batal.”

“Batal? Tidak… tidak. Tidak ada yang bisa merusak semua yang kuinginkan.”

Ia meraih dagu Hyo jae, mendekati wajah putih itu. Memfokuskan satu titik teranum di muka Hyo jae. Ingin sekali ia mengecap bibir merah muda gadis tersebut.

Mengetahui pikiran busuk si lelaki, Hyo jae sontak memalingkan wajah. “Tidak ada yang boleh menyentuh bibirku. Kau sudah tau perjanjiannya dari orang itu kan? Kau buta, tuli, atau idiot jika tak mengerti hal itu?”

“Tsk!”-pria berjas hitam tersebut mendengus emosi-“Jangan jual mahal, nona. Tiap jengkal tubuhmu sekarang adalah milikku.” Ia meraih keras rahang Hyo jae. Membuat wanita itu sedikit berdesis sakit. Orang tersebut terus saja mencoba merasakan bibir Hyo jae.

Merasa sudah muak, Hyo jae menghantam lututnya pada perut si lelaki. Suara raungan sakit menggema. Hyo jae hanya menatap jijik calon teman bermainnya.

“Sial!”

Lagi-lagi lelaki tersebut mendekati Hyo jae dengan amarah. Ia mendorong kasar tubuh Hyo jae. Tepat saat itu, Hyo jae dapat melihat Jong woon dengan pandangan marahnya. Tapi, saat langkah Jong woon ingin mendekat, tatapan berisyarat ‘jangan ikut campur’ sontak menghentikan Jong woon dengan kepalan tangan.

Lelaki itu makin marah saat Hyo jae tersenyum mengejek. Ia meraih leher Hyo jae seolah mengancam. “Kau tau perbedaan banci dan kau? Banci lebih tinggi derajatnya dibandingkanmu,” sengit Hyo dingin.

Sebuah suara tamparan menyayup di ruang sepi tersebut.  Wajah Hyo jae seketika terpaling dengan pipi melebam. Mata marah itu kini dipenuhi genangan air mata.

Lelaki itu tak lagi bisa mengontrol emosi. “Wanita jalang.” Ia kembali menampar pipi Hyo jae hingga membuat darah kental di sudut bibirnya keluar. Tangan pria itu kembali meremas rahang Hyo jae.

“Tutup mulutmu.” Suara berat lelaki lain sentak menghentikan tindakan beringasnya.

Remasan keras pada rahang pria itu membuatnya meringis dan melepas eratan pada Hyo jae. Hyo jae meringsut dengan sengalan dan pandangan mengabut.

“Kau ingin menyentuh apa, hah!” Jong woon memukul keras wajah si pria.

“Kau ingin mencium siapa, brengsek!” Tubuh terhuyung pria itu semakin menjadi saat hantaman kepala Jong woon berdentum ke kepalanya.

Suara erangan sakit memekik di lorong berdinding marmer kelabu itu.

“Milikmu? Jika kurobek mulutmu, apa kau masih berkata milikmu!” Lutut Jong woon terus-terusan membentur pada perut pria itu. Si pria terbatuk hingga mengeluarkan darah.

Pria itu meringsut bersandar di dinding. Jong woon belum puas. Ia menjambak rambut hitam si pria hingga membuat wajahnya mendongak. “Jangan lupakan hal ini.”-Jong woon kembali meraih rahangnya-“Kalau bukan ini wilayah orang lain dan bukan di depan wanita itu, kau sudah mati, pria jalang.”

Jong woon berdesis ditelinga lelaki tersebut. “Lapor polisi? kau akan menerima lebih dari ini.” Ia melepas lelaki itu dan membiarkannya bersandar dengan aliran darah.

Jong woon meraih telapak tangan Hyo jae dan menariknya pergi. Tak ada bicara, tak ada perintah.

Disatu sisi, seorang pria keluar dari salah satu pintu hotel karena merasa terganggu dengan suara bising di luar. Sontak ia memincing tatkala mendapati sosok punggung yang ia kenal sedang berpegangan tangan bersama pria.

Ia terkejut mendapati seseorang dengan napas tersengal dan darah di wajahnya bersandar—terkapar.

“Tuan, apa anda baik-baik saja?”

“Apa kau tidak lihat, hah! Cepat bawa aku ke rumah sakit.” Yong hwa berdengus tatkala nada perintah itu terlontar.

“Berjalan saja sendiri.” Yong hwa kembali berdiri menatap tak acuh.

“Ngomong-ngomong, apa kau kenal wanita tadi?”

Yong hwa tersentak. Jantungnya teremas cepat. “Apa katamu? Katakan sekali lagi!”

Tsk! Ada apa dengan gadis panggilan dan para pria. Ini gila!”

“Beritahu aku!” Yong hwa meraih kasar  kerah kemeja yang telah terkotori darah.

“Apa?! Sudah aku katakan, dia Hyo jae. Gadis panggilan yang membuatku seperti ini!”

Tubuh Yong hwa lemas. Napasnya termengah—tak percaya apa yang didengar. Wanitanya seorang gadis lacur? Demi Tuhan ia tak mengerti apa yang terjadi. Kini, apa yang harus dilakukan? Ini terlalu mengejutkan dan menyesakkan.

Kepala Yong hwa kini ditopang dinding. “Argh!” Ia mengerang dan menghantam tangannya ke dinding. Marah dan tak mengerti.

To Be Continued…

10 thoughts on “Abnormal Life [Part 4]

  1. Test, ini pertama kalinya mau mencoba komen, semoga komen saya sampai kepada nona last friday night yang selalu saya sukai karya-karyanya. Ayo nona lanjutkan Abnormal Lifenya! Magnae akan menunggu! Sekaligus destiny miss hijab segera lepaskan ryeowook dari kesakitan yang membelenggunya. Wkwkkwkw. Sekian dan terima kasih #diusir

    • Berisikkkkkkk wakakkaka
      Ini bener” yee
      Miss hijab masih nunggu penetapan hati untuk endingnya :v
      Biarlah dia suka” dahulu sblm ngenes hhhaa

  2. Aku udh bca sampe part ini. Dan asli keren BANGET ceritanya. Aku suka karakter nya Jong Woon dsini. Preman baik hati(?) dengan tingkah seenak jidatnya cocok banget sm Hyo Jae yg dingin dn super duper cuek. Suka bangett. Bakalan jd ff favorit ini mah! kkk~

  3. Jongwoon kereeeen….

  4. Aku suka sama cerita inii. Maaf karena baru kali ini nulis komentar 😦

    2 FF yg bertolak belakang. Antara gadis hijab and Hyo Jae.
    Eemt, aku nunggu kelanjutan kisah Wookie Oppa, karna ngegantung bbanget. *tiba-tiba Donghae dateng. Akankah mereka akan kembali??

    Buat Hyo Jae, aku suka Jong Woon kyyaaa~~~~~ >,<

    Nb: Boleh request FF cast Sungmin??
    Kkekkeekeke… Kamshamnida… ^*^

  5. apa jgn2 hyo jae jd placur ggara yonghwa ???
    eonn kpan nii hyojae pnya feel ke yesung ??? o.O

  6. Bener kata Hyo jae, Si Jongwoon emang gila lol

Leave a comment