Abnormal Life [ Part 3 ]

530354_637742049571846_1094465300_n

Abnormal Life

Author : Midnight Fairy

  • Han Hyo Jae
  • Kim Jong Woon
  • Jung Yong Hwa

 

****

Dalam hening, tanpa saling menatap, ada emosi aneh yang berpacu dalam jarak dan waktu di antara mereka. Perasaan rindu, marah, benci, sesak, dan semua hal gila yang kapan saja bisa membuih layaknya cairan raksa. Tubuh yang berdampingan, tarikan napas yang sama, serta permainan suara menderu mobil seperti hiburan tersendiri, memberi pertanda ini nyata bukan mimpi yang akhirnya memburam.

Hyo jae menatap lurus tanpa mengindahkan lirikan-lirikan perhatian Yong hwa. Ia bingung, kenapa tubuhnya bisa semudah itu mengikuti titah halus Yong hwa.

Ini sudah bertahun-tahun sejak mereka tak lagi bersapa rindu atau duduk selaras berselimut romansa. Yong hwa meraba-raba kata-kata yang paling halus untuk dilontarkan. Ia masih mengingat perangai Hyo jae yang kapan saja bisa meletup hanya karena dua patah kata.

Yong hwa mendeham kecil, mencoba mencairkan suasana suram tersebut. Sontak kepala Hyo jae berbelok memandang Yong hwa. “Kau tetap cantik Hyo,” puji Yong hwa berharap raut wajah Hyo jae berubah lembut.

Dan harapan Yong hwa dalam sekejap hilang. Hyo jae tetap menatap pria itu dengan ekspresi datar. Tapi, pendengaran Hyo jae terasa hangat dan bersuka cita saat panggilan khas yang entah kapan terakhir kali terlontar itu akhirnya kembali.

Dengan malas, Hyo jae berpaling dan kembali melihat jalanan lengang yang hanya dipenuhi lampu lalu lintas berkelip kuning. “Kau bukan dalam konteks untuk merayu, Yong hwa-ssi.”

Bibir Yong hwa terbungkam dengan desahan pasrah. Tetap menjalankan mobilnya yang entah membawa mereka kemana. Sesekali ia memperhatikan kalung perak yang terjuntai di spion, berharap Hyo jae melihatnya.

“Putar balik. Aku ingin pulang jika tidak ada hal penting yang harus dibicarakan. Kau menghabisi waktuku.” Nada tanpa oktaf keras itu sentak membuat Yong hwa mengernyit. Sedetik kemudian, kemudi mobil telah berputar cepat—mobil menepi dengan decitan halus rodanya.

Hyo jae terkesiap akan reaksi Yong hwa. Sedikit mencengkram jok semi kulit merah bata tersebut. Reaksi itu, tidak sama ketika Yong hwa memutuskan pergi dari sisinya. Apa hanya pria ini yang boleh marah sedangkan ia sendiri hanya diizinkan diam dan menikmati semua kesakitan? Dunia sudah mengajarkan semua dan mengubah setiap hal di mata Hyo jae.

Lelaki itu menilik tajam pada wajah keras Hyo jae. “Tentang hal itu, akan aku jelaskan. Tapi tolong, jangan menatapku seolah aku adalah pembunuh.”

“Jadi, haruskah menganggapmu sebagai pahlawan?” Hyo jae tersenyum miris tanpa mengubah posisi kepala—memandang lurus satu arah.  Pemandangan akan gelapnya kota Seoul dengan garis-garis batas trotoar beton sempit. Menerawang kilasan-kilasan film tua silam.

“Han Hyo jae!” Berupa teriakan tertahan memantul pada kerangka besi sedan hitam hingga menyayupkan deru cepat mobil lain yang melintas.

“Aku pikir kau sudah lupa nama lengkapku. Ternyata ingatanmu bagus, Yong hwa-ssi,” sengit Hyo jae diselingi senyuman mengejek yang terasa panas di mata dan telinga Yong hwa.

Kini, raut Hyo jae berubah drastis. Ia memandang sedih wajah frustasi Yong hwa. “Pilihanmu dulu mungkin benar, Jong Yong hwa. Aku memang bukan wanita yang pantas dipertahankan seperti dia. Melihatmu sekarang seperti ini, berpakaian bagus dan dengan barang mewah, kau pasti bahagia bersamanya.”

“Sial! Bukan itu maksudku.” Yong hwa mengeram frustasi. Membenturkan tangannya dan sedikit menenggelamkan kepala ke kemudi.

“Aku hanya—”

“Hanya menganggapku tempat sampahmu? Kau mengagumkan.” Tawa terpaksa Hyo jae nyaris menjadi hantaman beton untuk Yong hwa. Dia, bukan lagi wanita yang dulu selalu merona kala senyum menggoda lelaki itu gariskan. Yang ia dapat, hanya sisa-sisa tatapan pedih Hyo jae.

Sentak lelaki berkemeja putih dengan lengan terlipat sesiku tersebut membalik badan, mencengkram lengan Hyo jae. Meminta wanita itu berhenti berkata-kata dititik tersebut. “Demi Tuhan Hyo! Bisa dengarkan aku sedikit saja?” Rahangnya mengeras, sebelum akhirnya dua alis Yong hwa menyempit. “Kau pikir selama ini aku tidak tersiksa? Selama ini perasaan bersalah itu seperti cermin, kau tau. Sedikit saja pecah, itu akan menusukku!”

Bukannya tidak tau, hanya saja ia benar-benar tidak ingin tau. Bahkan jika pecahan itu menggores telapak kakinya, ia hanya bisa meringis tanpa kuasa mencabut serpihan tajam tersebut. Semua sudah terlambat sekarang. Seperti gurun yang tetap akan tandus meski berkubik-kubik air langit, seperti itu juga hidup Hyo jae. Tetap kering, kelam, meski sesekali berangin.

“Kau tersiksa?” Suara Hyo jae bergetar. “Bagaimana denganku! Aku bahkan lupa kapan terakhir kali aku bahagia. Aku lupa… lupa segalanya. Bagaimana rasa nikmat kue beras di jalan dengan tawa-tawa renyah. Bagaimana rasanya hangat pelukan tulus seseorang. Aku tidak ingat! Bisa kau jelaskan bagaimana!” Hyo jae berteriak nyaring dengan emosi membuncah. Samar-samar ada air mata yang menggenang pada sudut kelopak mata Hyo jae.

Film nyata berputar di balik pupil gelap matanya. Kala itu, peristiwa yang merenggut semua kehidupannya terjadi begitu saja seperti daun tua yang melayang karena semilir angin. Hyo jae dengan busana ‘menggiurkan’—dress merah  setungkai kaki, bertali setipis benang serta sobek-sobek mengerikan dibagian punggung—berlari tergopoh menuju bandara. Tanpa alas kaki, tanpa harga diri. Demi apapun, ia membiarkan kata malu menjadi pokok penglihatan orang-orang akan dirinya. Dan pengorbanan itu, hanya dibalas oleh tampilan punggung lelakinya yang menjauh pergi bersama wanita lain. Saling merengkuh mesra seolah dunia adalah surga. Siapa yang tidak akan terbunuh hatinya? Ia terjongkok menangis, tenggelam dalam balutan busana mewah. Terisak mengenaskan. Tak peduli dengan pandangan bingung dan cercaan orang-orang. Ia ingin berlari bersama pria itu. Tapi, pria pilihannya berlari bersama wanita lain. Wanita yang lebih segalanya. Wanita itu ratu, sedangkan ia hanya budak.

“Maaf, tapi ini demi hidup kita.”

“Kita?! Salah, itu egomu!”

“Tolong, berpikirlah. Jika aku bersamanya, tidak ada lagi yang berani menginjak kita, Hyo.”

“Jangan bawa kata kita. Semua itu demi dirimu sendiri.”

“Tidak ada pilihan lain. Aku akan ikut bersamanya.”

“Kau mencintainya? Dia terlalu sempurna, kan?”

“Dia yang mencintaiku, bukan aku.”

“Dan kau rela mencintainya demi ambisimu, kan! Kau benar-benar jahat, Yong hwa.”

“Hyo jae—”

“Jangan pergi untuknya. Jangan….”

Hyo jae menyaksikan miris tingkah mereka, yang semakin mengecil di ujung sana dengan aliran air mata, masuk ke pintu pemeriksaan security seolah mereka adalah raja dan ratu. “Tolong aku. Aku takut. Jangan dia… Tolong….”

Tiga laki-laki bertubuh tegap dengan juntaian jas hitam, lantas membuat tangisan Hyo jae terbekap kala itu. Hyo jae tersudut dan tak bisa menghindar lagi.

Dan peristiwa-peristiwa kelam itu berhasil membuat tubuh Hyo jae gemetar.

Di satu sisi, Yong hwa tertegun akan kesakitan lama yang terpasung pada wanitanya. Sedetik kemudian, ia meraih bahu Hyo jae dan mendekapnya lembut. Hyo jae tak menolak meski sedikit menegang.

Dalam peraduan tubuh mereka, Yong hwa mengusap halus rambut legam Hyo jae. Membelainya seperti yang selalu ia lakukan kemarin—dulu sekali, sebelum tatapan marah Hyo jae muncul untuk dunia. “Maaf,” lirihnya tulus. Aroma sampo merebak, memberi sensasi manis dalam indra pencium Yong hwa.

“Tapi, aku tidak benar-benar memilihnya. Aku hanya—hanya,” lagi-lagi ucapan Yong hwa terhenti. Beberapa kali, Hyo jae mendapati helaan berat napas lelaki itu menderu di bahunya. “Hanya sementara memilih menjalani hidup untuknya.” Berat dan mencekam yang terasa, saat lidah meliuk-liuk di dalam mulut kala melontarkan rahasia kejinya.

“Kau—” Sontak Hyo jae mendorong tubuh Yong hwa. Sedikit mundur, seakan jijik pada pria itu.

“Brengsek! Kau mempermainkan semua wanita! Kau benar-benar menjijikkan.” Hyo jae berpaling dan membuka paksa pintu mobil yang terkunci.

Yong hwa meraih lengan Hyo jae; mencoba menghentikan amarahnya. Percuma. Wanita bermata almond kelam tersebut meronta. “Cepat buka pintunya!” Semakin Hyo jae menepis, semakin kuat eratan di lengannya. “Tidak, sebelum kau dengarkan aku.”

Geraham Hyo jae mengatup rapat. Sontak ia memberikan pandangan membunuh, “Saat kaumeninggalkanku, apa pernah kaumencoba mendengarku? Semua harus aku yang mendengar! Kau tidak pernah sadar… tidak pernah sama sekali!” Dalam tatapan bengisnya, ada satu tetes air mata yang jatuh cepat. Suara Hyo jae semakin lirih dan sayup. “Kau—” Hyo jae memalingkan wajah untuk kesekian kali. Membuat raut mirisnya terpantul dari kaca mobil.

Yong hwa mendesah dalam. Letih. Sakit. Ia melonggarkan eratan di lengan Hyo jae, berpindah mengenggam tangan wanita itu sangat lembut. Dan Hyo jae terdiam.

“Maaf. Maaf. Maaf. Tapi, demi Tuhan, ketika aku bersamanya dulu, aku tidak pernah melupakanmu. Karena kau… karena rasa bersalahku, aku memutuskan memilih jalan yang lain. Aku bekerja untuknya. Untuk tahun-tahun yang terlewati, aku bukan miliknya.”

Dengan salah satu tangan yang bebas, ia meraih dagu Hyo jae hingga membuat wajah mereka berhadapan amat dekat. Mengusap pipi yang dilewati aliran air mata, yang berusaha ditutupi Hyo jae. “Aku tidak akan memaksamu percaya, Hyo. Tapi, suatu saat kau akan tau bagaimana kerasnya hidupku demi dirimu. Selama ini aku mencarimu. Kau dimana? Apa yang kaulakukan? Semua berputar memusingkan.” Dan wanita dihadapannya hanya bisa merunduk menerka ucapannya.

Paham jika Hyo jae masih belum bisa percaya. Pria itu mengerti, bagaimanapun ia tetap bersalah dalam peristiwa ini. Yong hwa tersenyum lembut seraya mengusap kepala Hyo jae lagi. “Aku merindukan melakukan ini,” ucapnya yang sentak membuat tatapan Hyo jae memutih dan menghilangkan iris kebencian.

****

Meski tidak ada lagi teriakan, suasana di dalam kendaraan beroda empat itu tetap senyap. Kerlip lampu jalanan menjadi pandangan tersuguhkan. Di balik kaca tersebut, bintang berhamburan layaknya mainan bayi yang berserakan, namun tetap indah. Yong hwa lebih memilih menjalankan mobilnya dalam kecepatan lamban, membiarkan satu, dua, tiga kendaraan lain melewati mereka dengan lengkingan klakson.

Sudut mata Yong hwa tertarik melirik wanita disebelahnya yang masih tenang memalingkan wajah, memandang pepohonan yang yang berayun bersama angin dan tenggelam dalam gelapnya malam. Mencoba mencari perhatian, Yong hwa menekan Dvdcar. Dan untuk saat ini, senyuman Yong hwa merekah dengan gumaman-gumaman yang berupa desisan—mencoba mengikuti lagu. Lantunan musik dengan volume sedang melingkupi kendaraan mereka.

             Will you come home and stop this pain tonight

            Akankah kau pulang dan hentikan rasa sakit ini malam ini?

            Stop this pain tonight

            Hentikan rasa sakit ini malam ini

            Don’t waste your time on me you’re already

            Jangan sia-siakan waktumu untukku

            The voice inside my head (I miss you, miss you)

            Suara di dalam kepalaku (Aku merindukanmu, merindukanmu)

           

            Hyo jae tersentak. Hatinya berdesir  dengan degupan cepat kali ini. Pelan ia menoleh—mencoba memperhatikan benda kecil berlampu hijau yang mengeluarkan suara merdu tersebut.

I miss you, miss you.” Satu bait lagu itu melantun lembut dari bibir Yong hwa. Lirik klise tersebut seolah menjadi kata-kata yang mewakili tahun-tahun menyakitkan mereka.

Wajah Hyo jae tercenung. Bola mata hitamnya berputar menerawang.

“Kau ingat lagu ini? Kau sangat suka mendengarku menyanyikan lagu ini.” Jari-jarinya menghentak tanpa suara dikemudi hitamnya mengikuti alunan musik .

“Aku tidak pernah melupakanmu, Hyo,” tambahnya lagi.

Hyo jae tertunduk tanpa penyergahan atau kata-kata pahit lagi.

“Aku berhenti disini saja,” ujar Hyo jae lemah. “Jangan tanya, aku mohon.”

Yong hwa menghela napas panjang, lantas menghentikan laju mobilnya di depan sebuah halte bercahaya terang. Belum sempat handle pintu mobil itu terbuka, bahu Hyo jae berhasil diraih kembali.

“Hyo, tentang pria tadi… siapa dia?” Tanyanya selidik. Ada satu penekanan dan ketidak-relaan jika hal gila yang terbayang itu benar terjadi.

Tak mendapati jawaban, mata Yong hwa semakin memincing. “Dia, siapa?” Penuh penekanan dan curiga.

Hyo jae mendesah, “Tidak ada hubungannya denganmu.” Dan suara berderik pintu terbuka dan terbanting.

Lelaki berahang keras itu hanya bisa menghela napas. Menjatuhkan punggungnya pada jok merah marun tersebut seakan lelah dengan percakapan sengit tadi. Ia hanya bisa menyaksikan tubuh wanitanya yang semakin mengecil dan akhirnya hilang terbawa bus.

****

            @House rooftop Songwaldon, Joonggu, South Korea  

 

            Pelan tapi pasti, Hyo jae mengerahkan kakinya menaiki anak tangga yang semakin terasa tinggi. Anak tangga berlumut dan menghitam itu berjejal seperti kotoran yang berunduk-unduk. Besi berkarat yang sekali dicengkram menyisahkan bubuk kekuningan pekat. Hyo jae tak peduli segubuk apa tempat ia bernapas dan tertidur, asalkan tak ada desahan binal dari lelaki-lelaki menjijikkan itu.

            Belum sampai rumah atap kecilnya, mata Hyo jae mendelik pada satu sosok tubuh yang dengan nyamannya tertidur di beranda kayu depan rumahnya. Lelaki itu tidur dengan suara desisan halus. Berbantal kedua tangannya yang dipenuhi lebam-lebam serta goresan-goresan luka. Menyesal karena memberi tahu pria tersebut dimana ia tinggal.

Wanita itu mendengus, “Orang ini…,” gumamnya malas. Ia kian bingung saat mendapati bertambah banyak luka yang didapat pada wajah tampan lelaki itu.

“Apa dia ini robot? Apa dia tidak pernah merasa sakit? Bodoh,” ujarnya dengan nada lamat.

Baru saja berniat pergi—dengan rasa tak peduli—raut wajah si lelaki berubah masam.  Dahinya berkerut dengan suara-suara yang tak jelas. Dengan semua rasa penasaran, Hyo jae mendekati wajahnya. Mencondongkan tubuh hingga mempersempit jarak mereka.

Hyo jae terpejam, berusaha berkonsentrsi menimbang kata-kata apa yang terlontar dalam mimpi lelaki itu.

Belum mendapati hasil dari igauan aneh si lelaki, satu sentuhan jari di dahinya sontak membuat tubuh Hyo jae berlonjak. Pria yang baru saja bermimpi itu menyeringai tanpa mengubah posisi nyamannya—merebah dengan melipat satu tangan di belakang kepala.

Hyo jae berdeham kecil seraya merapikan baju. Berpaling menutupi wajah merona. “Sejak kapan kau bangun?”

“Sejak suara napas seorang wanita mengusik tidurku.”

Hyo jae mendengus seraya mendelik, “Dan untuk apa kau kesini, tuan? Aku tidak menerima tamu.”

Jong woon kembali tersenyum menantang. Menegakkan tubuhnya dan duduk bersila. “Aku datang untuk tinggal bukan untuk bertamu, nona.”

“Terserah kau saja. Aku letih.”

Satu tarikan lembut di kelingking Hyo jae sukses membuat ia menegang dan berhenti. Dengan semua keterkejutannya, Hyo jae membalik tubuh dan mendapati Jong woon memandangnya tanpa ekpresi. Mereka terdiam, saling beradu pandang. Ini tindakan sangat kecil tetapi berdampak besar pada pompaan jantungnya. Bukankah, ia biasa melakukan hal yang lebih dari pada ini? Entahlah.

“Ad—da apa?” tanyanya terbata, berusaha mengontrol emosi.

Jong woon tersenyum lembut. Menegakkan tubuh yang betumpu pada lutut. Perlahan-lahan ia mendekati wajah wanita didepannya. Menyingkap rambut di telinga Hyo jae hingga mengeskpos leher, “Aku lapar,” bisiknya lembut tepat di cuping mungil wanita yang berdesir itu.

Sentak Hyo jae mendorong badan Jong woon hingga terjengkang di alas kayu tersebut. Sial! Runtuknya dalam hati.

Suara mengaduh disertai tawaan lepas Jong woon menggema di rumah atap yang berdiri di atas Apartement bobrok 4 lantai. “Kau mengharapkan lebih, nona? Haha.”

Hyo jae mendelik tajam sebelum tawaan Jong woon membangunkan orang-orang lain hingga membuat para bibi tetangga mengaum. “Diam atau kusumpal mulutmu dengan kaktus,” peringatnya masih dengan wajah datar.

Belum sampai hitungan lima detik, suara seloroh itu terbungkam saat pandangan Jong woon beralih pada deretan kaktus-kaktus mini berpot hitam di ujung sudut. Beratap lempengan timah kusam yang dibuat khusus oleh Hyo jae untuk melindungi teman-temannya itu.

“Oke, oke, nona kaktus, bisa kauberikan aku makan? Kimchi, daging, nasi atau semacamnya?”

“Karena kau bukan bertamu, jadi tidak ada perjamuan untukmu.”

Jong woon bedecak, “Ya ampun. Han Hyo jae, kau mungkin bisa memecahkan rekor sebagai wanita tanpa ekspresi di dunia.” Ia kembali duduk dengan menekuk lutut kanannya—posisi favorite—dan merebahkan tangan di sana.

Masih tak menggubris perkataan Jong woon tadi, Hyo jae mendongak langit berkelip bintang serta bulan yang sesekali tertutup bias-bias awan kelabu. Matanya mengatup, mencoba menghirup udara yang datang bersama desau angin. Anak rambut Hyo jae terayun lembut. Jong woon menelengkan kepala, bingung. Apa wanita ini sedang melakukan prosesi sebelum tidur? Tapi, bagaimanapun anehnya gadis yang sedang memunggungi ia sekarang, wanita yang suka sekali melihat langit, berjalan di bawah rerimbunan maple, atau bermulut tajam seperti pisau, Jong woon merasa sangat tertarik melihat wajah polosnya saat ini. Saat ia tak berkata-kata, menikmati alam. Jong woon tidak mengerti. Hanya kata-kata suka, itu saja.

Sepuluh menit Hyo jae terpejam. Kaki ringannya mengayun mendekati pintu plastik rumah. Tenggelam di balik pintu tanpa ucapan selamat malam atau senyum selamat tidur untuk Jong woon.  Dan, Jong woon hanya mendesah geli.

****

Pertengahan malam, saat dingin semakin mencekat kulit, tubuh Jong woon bergulung-gulung layaknya bayi. Kedinginan. Beberapa kali ia mengusap telapak tangan, berusaha mengubah situasi menjadi hangat. Jong woon beranjak dari beranda kayu yang terasa beku itu. Berdiri dan berjongkok berkali-kali. Meregangkan leher dan tangan, seolah akan menghadapi kompetisi lari cepat. Tampak, bibir tipis pria itu mengeluarkan asap dingin. Tak ingin mati konyol karena udara yang bercelcius-celcius derajatnya, Jong woon berlari memutari halaman sempit rumah Hyo jae. Mencari keringat ataupun hangat.

Namun, putarannya berhenti tepat di depan pintu Hyo jae yang terbuka. Dengan napas tersengal serta kedua tangan di lutut, Jong woon mendongak lekat sosok ramping yang tak jauh darinya, membawa selimut tebal serta nampan kecil berisi makanan hangat. Nasi beruap yang sukses membuat perut Jong woon semakin meronta.

Mata Hyo jae berkedip bingung.

Mereka duduk berdampingan. Hyo jae melihat dan sesekali merasa geli, meski berusaha mengulum bibirnya—menahan kekehan—atas tingkah konyol lelaki yang menyebut dirinya kuat, tetapi tetap akan terkapar jika perut sudah berteriak lapar.

“Jika kau ingin tertawa, lebih baik tertawa. Kau masih punya rasa humor ‘kan?” Disela gigitan rakusnya, Jong woon berujar sengit.

Hyo jae berdesis malas, “Suasana hatiku sedang tidak baik hari ini, Jong woon-ssi. Jadi, jika kau ingin bermain-main dengan kata-kata, lebih baik simpan atau kau telan sendiri permainanmu.”

Tsk! Apa karena pria berjas itu? Lelaki kaya raya itu?” Dengan napas lega, Jong woon meletakkan mangkuk kosong itu. Mengusap perut datarnya yang telah puas.

Tak ada jawaban. Berapa kalipun ia berusaha memusnahkan kata-kata Yong hwa yang menggeliat di otaknya, sebanyak itu pula ia teringat.

Dengan cekatan, tangan Hyo jae telah meraih satu-per-satu mangkuk porselin itu. Ia melempar selimut tebal yang masih di pangkuannya, tepat mengenai tubuh Jong woon.

Senyum Jong woon merekah. “Ya, ya, ya. Baiklah. Nona flat face,” selorohnya dengan pengucapan bahasa Inggris yang minim dan aksen aneh. “Dan, Terima kasih.”

Hati Hyo jae benar-benar tak bisa bergerak sedikitpun untuk tertawa sekarang. Seperti biasa, ia pergi tanpa sepatah kata. Membanting pintu agak keras sehingga bisa didengar oleh orang-orang yang berada satu lantai di bawah mereka.

Mendapati Hyo jae yang sudah menghilang, secepat ia memukul seseorang, secepat itu pula ia membalut tubuhnya dengan selimut. Napas lega berhembus. Ia kembali meringkuk nyaman, seraya menatap pintu yang berjarak tiga meter darinya. “Wanita es, kau merasa kesepian, eoh? Aku yang akan membuatmu berubah menjadi lilin,” gumamnya seraya mengatup kedua mata. Terlelap dengan imaji-imaji mimpi.

To be Continued

7 thoughts on “Abnormal Life [ Part 3 ]

  1. kerenn kak.. Penasaran usahanya jong woon gimana?
    Aku tunggu part berikutnya
    hehehe 😀

  2. Pingback: Abnormal Life [ Part 3 ] | Summer Fiction

  3. Penasaran aksi si badboy selanjutx…….

  4. huaaaa kata2 terakhr jongwoon sweet bgt eonn >_<

    spechlees baca.a jgaaa *_*

  5. Suka deh sama jongwoon nya bad boy gimana gitu.. ><

Leave a comment