Abnormal Life [ Part 2 ]

24281_627041460641905_32779866_n

****

 

Waktu demi waktu bergulir lamban. Terbit, tenggelam, gelap, berbintang, dan kembali berembun pagi. Tak ada perubahan suasana berarti. Tetap saja mobil-mobil berlari kencang, menemani pengemudi membelah jalan raya yang sesak dengan rentetan gedung serta lampu yang tak redup meski mentari memancar.

Hari itu, musim gugur mulai nampak. Daun-daun telah menguning dan memerah seperti lembaran emas yang terjuntai di ranting pohon. Beberapa helai daun kering, mulai jatuh mengitari batang kecoklatannya. Dari arah selatan, Hyo jae melangkah anggun di antara rerimbunan daun kuning yang menenuhi tanah. Sepatu flat merah muda, tampak memberi suara renyah tatkala kaki kecilnya menginjak ranting kering. Ia menyukai aroma ini. Aroma harum bumi yang berasal dari jejeran pepohonan maple.

Hyo jae berhenti dan mendongak—tersenyum simpul—pada pohon yang dipenuhi  lembaran-lembaran oranye yang amat ia kagumi itu. Kita bertemu lagi pohon cantik. Musim gugur yang akan selalu indah, batinnya rindu.

Di sudut lain, terowongan gelap yang hanya berbekas silau pelita yang memantul pada dinding batu bercelah kopong, riuh akan teriakan dan erangan marah manusia. Tiga lelaki saling beradu otot—saling mengalahkan. Wajah bengis orang-orang itu tak ubahnya serigala yang siap memangsa keledai. Pukulan demi pukulan, tendangan dibalas tendangan. Darah amis termuntahkan seperti air kran yang mengalir.

Satu laki-laki bermata setajam elang, segarang hyena, berteriak kesetanan. “Arggh!” Ia menghantamkan kepala pada orang yang telah lunglai di hadapannya. Darah mengalir di pelipis serta sela bibir merahnya membasahi sebagian wajah. Kepalan tangan dengan kulit terkelupas tak luput dari cairan pekat yang kini berubah beku.

Napasnya tersengal kala memandang lawannya telah terkapar. Belum lama ia menghirup udara, pukulan keras membuat Jong woon jatuh—mendaratkan lututnya di tanah. Lagi-lagi wajahnya mengeras emosi. Bertumpu pada dinding terowongan, ia terus saja memaksakan tegak meski tertatih menghadap satu lawannya lagi.

Si lawan sontak mundur ketakutan. Siku tajamnya tak bisa membuat lelaki itu menyerah.

Jong woon menatap marah, “Bangsat!” Mendekat sekencang singa dengan jari-jari mengepal. Sedetik kemudian, tak ada lagi suara. Dua pria terbaring dengan aliran-aliran darah segar.

Jong woon masih terengah seraya mencengkram perutnya; mengurangi sakit. Berjalan terseok-seok tanpa peduli pandangan ngeri orang-orang yang lantas saja berlari ketakutan. Tetesan-tetesan darahnya menjadi garis lurus dalam perjalanan. Angin bertiup teramat kencang hingga membuat Jong woon tumbang, tak mampu lagi menopang tubuh nyerinya. Perlahan, pandangan lelaki itu samar dan hilang. Badan penuh memar tersebut meringkuk tepat di bawah pohon beratap tebal dedaunan merah.

Belum lama perawakan Jong woon merebah tak berdaya, titik-titik hujan mulai turun melalui gumpalan awan kelabu. Jong woon sontak berdesis perih saat air langit itu mengenai lapisan kulit menganganya. Masih dengan terpejam, ia mengernyit menahan pedih namun tetap tak ingin bergerak—melangkah pergi. Baginya, percuma. Bukankah diam ataupun berlari, ia tetap terperangkap dan bertemu hujan?

Gemericik air makin nampak terdengar, menyusup masuk pada pori-pori tanah gembur. Jong woon tetap tak berkutik dan hanya memasang wajah tertahan. Namun, suatu penghalang, menahan air langit itu. Sayup-sayup ada wangi yang pernah ia cium. Mata sipitnya mencoba melebar lamat-lamat. Pandangan mengabur itu sentak menatap satu bibir kemerahan. “Kau…,” desahnya kala menemui wanita berambut panjang terjuntai dengan payung warna senada; hitam. Si wanita memayungi wajah lebam Jong woon. Senyuman yang tersirat kesakitan.

“Apa yang kaulakukan?” Jong woon bertanya datar kala Hyo jae menghalangi hujan membasahi wajahnya, sedangkan wanita itu hanya menatap diam dan membiarkan tubuhnya sendiri berair.

Lagi-lagi Hyo jae tersenyum tipis, “Tidak ada. Aku hanya melakukan apa yang kusukai.”

Dengan susah payah, Jong woon mencoba duduk—bersandar pada batang tua. Mendongak sembari menekuk kaki kirinya, mengistirahatkan lengan berdarah itu pada lutut. Deru napasnya masih termengah. Beruntung, Tuhan masih membiarkan manusia seperti dirinya mendapatkan oksigen sesegar ini. “Pergilah, aku tak menyukai orang lain melihatku seperti ini,” lirihnya tanpa memandang mata lekat Hyo jae.

“Baik, aku mengerti.” Hyo jae melepas payung hitam dan meletakkannya pada cabang ranting sehingga tetap melindungi tubuh Jong woon.

Jong woon memincing tak mengerti. Ada banyak hal yang terlalu sulit dicerna nalar tentang polah, pikiran, raut wanita itu. Dia bukan batu karang yang tak punya perasaan ‘kan? Membiarkan hempasan-hempasan gelombang laut menampar tubuhnya.

Kini, suasana beralih rintik yang indah. Hyo jae telah menapak menjauhi tubuh sekarat itu. Membiarkan hanya punggung kecilnya yang ter-visual dipenglihatan Jong woon. Jong won menghirup dan berhembus dalam sekali hentakan mata. Terpejam, menopang kepala dengan kayu hidup tumbuhan maple.

Hujan telah pergi membawa basuhnya. Awan kehitaman mulai mengkilap berwarna keemasan kerena bias matahari. Satu sentuhan dingin sentak membuat Jong woon menegang dan berwajah awas. Membuka mata tak berkelopak itu secepat cahaya. Hampir saja mulut lelaki itu menganga, jika saja ia tak lupa akan harga diri. “Kau—untuk apa lagi kau kemari!” Ia sedikit membentak, memanipulasi rasa keterkejutan yang teramat saat mendapati Hyo jae telah ada di sisinya dengan hanya berjarak sepuluh jengkal.

“Diam,” ucapnya tenang sembari memoles pelan obat pada pelipis Jong woon.

Jong woon menepis tangan Hyo jae, “Sudahlah. Aku tak butuh bantuanmu.”

“Aku tidak membantu. Aku hanya membayar hutang budiku padamu, tuan.”

Hyo jae kembali mengobati luka-luka di wajah Jong woon tatkala pria itu terdiam pasrah. “Bukankah kau tadi sudah pergi? Untuk apa kau kembali kesini?” tanya Jong woon dengan dingin.

“Membeli minuman ini.” Hyo jae mendelik pada satu kaleng minuman bersoda dingin.

“Dan obat?”

“Tidak. Aku selalu membawa obat,” balas Hyo jae seraya tersenyum diikuti lirikan rasa penasaran di mata Jong woon.

Tsk! Apa kau selalu terluka? Dasar wanita aneh.”

“Hidup ini terlalu keras, Kim Jong woon-ssi. Seperti yang kau bilang tadi, aku memang selalu terluka. Membiarkan luka itu atau mengobatinya sendiri, hanya itu pilihan untukku.” Hyo jae berhenti dan menempelkan plester pada tangan Jong woon.

Jong woon berdesir. Ini pertama kali seseorang wanita menyentuh tangannya sejak bertahun-tahun yang lalu. “Apa kau memang selalu seperti ini? Berdarah dingin dan bermulut tajam?”

“Hahaha… Tidak ada gunanya aku bermulut barbie, tuan!” Hyo jae terkekeh lebar. Dan untuk pertama kali juga sejak ribuan hari, Hyo jae tertawa.

Lelaki itu memincing kesal. Meraih cepat minuman yang terlantar di depannya. Menenggak seolah tak pernah memberi tenggorokan itu cairan. “Balas budimu sudah terjadi, dan sekarang, pergilah!” sengitnya lagi. Hyo jae tak menggubris titah Jong woon dan malah ikut bersandar. Memandang sendu langit berhias dedaunan kemerahan. “Kau tau, aku wanita keras kepala. Tidak ada orang yang bisa memerintahku.” Hyo jae menghela, “Ah, tidak. Kecuali dia.”

Kepala Jong woon tertoleh pada raut miris sebelah. “Siapa?”

“Bukan urusanmu.”

Jong woon mengatup gerahamnya—geram. Frustasi. Belum berhari-hari mengenal gadis ini, Jong woon benar-benar kewalahan dan hampir menyerah. Dia seolah bertanya pada manusia batu. Jika saja orang disebelah adalah laki-laki, mungkin manusia tak berekspesi itu sudah tak bisa lagi berjalan. “Cih! Aku menyesal bertanya padamu. Bahkan, aku malas tahu namamu.”

Bibir ranum Hyo jae melebar. Entahlah, detik-detik pertemuan dengan Jong woon, Hyo jae tidak melupakan cara tersenyum lagi. Lebih banyak memberikan wajah itu ulasan cantik melalui rekahan-rekahan tipis bibirnya. Ia menatap wajah keras penuh luka Jong woon. “Han Hyo jae. Adakalanya aku bersyukur dengan nama itu. Tapi, terkadang juga aku membencinya. Dan kau bisa memanggilku seperti itu.”

“Kau manusia yang terlalu banyak menyimpan misteri, Han Hyo jae-ssi.”

“Dan kau manusia yang terlalu banyak membuka misteri, Kim Jong woon-ssi.”

Biru langit terhampar cantik saat dua insan ini tertawa. Melupakan dunia yang dipenuhi kepedihan akan suratan takdir mereka. Membiarkan secercah cahaya bahagia, menerobos kaca hitam hati mereka.

Hyo jae memandangi daun beruas lima di genggamannya.

“Han Hyo jae-ssi, apa alasanmu menjadi seperti ini?” Jong woon tak bisa lagi menahan kata-kata yang terganjal di batang tenggorokannya. Ia paham jika wanita di sampingnya akan mengeluarkan pandangan membunuh.

Dan benar pemikiran Jong woon. Wajah Hyo jae kembali mengeras. “Itu bukan urusanmu, tuan.” Wanita itu melihat mata Jong woon yang kian memaksa meminta jawaban.

Hyo jae mendengus, “Kau, kenapa kau menjalani hidup seperti ini, Kim Jong woon-ssi?”

Belum sempat Jong woon memberi lengkingan marah, Hyo jae sentak menyergah. “Bukan urusanku ‘kan? Seperti itu juga diriku. Kita ini sama-sama sakit jika harus memaksa bercermin pada hal-hal buruk itu. Aku tau itu buruk, tapi aku tak bisa berlari, bahkan menangis.”

Jong woon menggeleng, “Kau wanita. Sekali saja jangan berpura-pura menjadi karang. Adakalanya, kau harus menjadi awan yang bisa tumpah.”

“Jangan seolah-olah kau tau tentang kehidupanku. Aku bukan sepertimu yang bisa marah dan memusnahkan semua.” Hyo jae menegak. Bulu matanya terayun-ayun ketika memandang penuh rasa serah pada satu titik. “Dan aku bukan karang. Aku hanya plankton di tengah laut maha luas.” Ia pergi kearah berlawanan. Menyusur jalan lembab.

Pria itu hanya menghembuskan napas pasrah—membiarkan Hyo jae pergi membawa rahasianya. Aneh, terlalu aneh untuknya. Ia tak pernah suka bermulut manis atau memperhatikan seseorang. Tapi, untuk dia, orang itu, si gadis keras kepala, wanita abnormal, pengecualian. Sampai saat ini, alasan ajaib tersebut belum tersibak untuk Jong woon.

****

            @ Seoul Station, 9:PM

 

 

Pergi atau menetap. Hyo jae benci saat-saat seperti ini, saat ia harus memutuskan kembali pada kelakuan menjijikannya atau tetap duduk melingkarkan tubuh lelah pada segaris tempat duduk besi, di tengah bising pekikan kereta. Kereta listrik yang berjalan kencang, silih berganti melewati pupil kecoklatan mata Hyo jae. Kuku-kuku putih itu megeluarkan bunyi mengeratak tatkala saling beradu, mecoba terus berpikir. Pertanyaan Jong woon tadi, mau tak mau menjadi satu obyek penghalang rasa manusia-nya yang mulai terbit.

Malam ini, tidak seperti biasa stasiun kereta tak seramai yang penuh hiruk-pikuk manusia. Hening menjadi suara utama di kawasan itu.

Satu jam Hyo jae termenung di sana. Menolak semua ajakan para hidung belang—mesin uangnya. Untuk satu kali saja, ia ingin tak peduli. Terserah apa yang akan terjadi kelak.

“Dia—bukankah wanita ini, gadis panggilan itu?” Seseorang berbisik, namun masih bisa meresap di telinga Hyo jae. Hyo jae tersenyum nyeri. Telinganya terasa berdarah ketika sebutan-sebutan busuk itu mengalun.

“Benarkah?” Satu orang lagi menanggapi antusias. Menatap wajah tertunduk Hyo jae dengan napsu.

“Tidak salah! Aku pernah dikenalkan oleh salah satu temanku. Kau tau—” Ia mendekatkan bibir pada telinga lebar temannya. “Wanita ini berbeda dengan wanita-wanita itu. Dia terkenal dengan sifat dinginnya. Banyak lelaki merasa tertantang.”

“Hahaha, lelucon. Kita lihat, sebeku apa wanita ini,” remehnya seraya mendekati Hyo jae dengan wajah sombong.

Hyo jae tetap tak berkutik, meski dengan eraman-eraman dalam hati. Terlalu malas dan akan  mengeluarkan tenaga hanya untuk menggubris omongan sampah orang-orang itu.

“Apa kau butuh teman, cantik?” Dengan suara syahdu pria itu duduk bersebelahan. Menunduk, dan sedikit memiringkan kepala menghadap Hyo jae. Dengan pelan, ia mencoba menyentuh paha putih Hyo jae. “Ayo, kita bermain.”

Hyo jae berdiri tenang. “Aku sedang tak ingin bermain.” Tak ada raut ketakutan sedikit-pun dari wanita itu.

Si lelaki menyeringai seraya memandang setuju pada teman yang tak jauh dari mereka. Ia mengusap lembut lengan Hyo jae. Perlahan-lahan mulai dari ujung jari sampai ke ujung lengan. Ada hasrat gila yang merayap di otaknya. Lelaki keturunan Inggris dengan mata biru tersebut ikut tegak di samping Hyo jae dengan pandangan bejat. Menyibak rambut legam Hyo jae, sehingga terlihat telinga kecilnya. Mungkin air liur nyaris jatuh saat pandangannya melihat titik indah leher wanita di sisinya.

Hentakan napas geram berhembus dari bibir Hyo jae. Ia menghempas kasar usapan si lelaki. Suasana lengang stasiun semakin membuat khayalan-khayalan kedua lelaki itu menggila. Hyo jae menatap menusuk pada pria di sampingnya, “Simpan pikiran kotormu itu, tuan. Jangan menyentuhku dengan jari-jari penuh kumanmu.”

Tsk! Jangan munafik, sayang. Bukankah kau sudah biasa menghadapi lelaki di tempat tidur?”

Lagi-lagi rasa nyeri berdenyut kencang. Cupingnya seolah terpotong jika kata-kata bermakna nista itu terlontar. Tapi, bukankah itu kenyataan? Kenyataan busuk yang selalu ia benci, namun selalu tak bisa ia kendalikan. Sedetik kemudian, Hyo jae tersenyum teramat manis. “Maaf, tuan. Anda tidak akan mampu membayar saya. Jadi, tolong pergi atau biarkan saya pergi.”

“Wanita sombong!” Satu lelaki lainnya menyela—marah.

“Tunggu, seperti yang kau katakan tadi, aku merasa tertantang.”

Lelaki itu seketika telah ada di hadapan Hyo jae. Sedikit mendorong tubuh Hyo jae kearah dinding stasiun. Hyo jae terkesiap. Pandangannya mengedar, mencoba mencari celah ataupun bantuan. Sial! Waktu yang kian bergulir malam, semakin membuat mencekam. Hanya ada segelintir orang yang memandang malas, menganggap mereka pasangan.

“Aku baru tau jika wanita lacur, ada yang mempunyai harga diri tinggi. Atau kau hanya sok suci. Berapa uang yang kubutuhkan untuk mencium aromamu, sayang?” bisiknya sembari mengusap pipi Hyo jae dengan tepi tangan. Kepala Hyo jae sontak menghindar. Untuk malam ini, ia benar-benar tidak suka aroma tubuh maskulin laki-laki menggerogoti paru-parunya.

“Kau tuli atau tak punya otak? Aku bilang, jangan ganggu aku. Aku tak ingin bermain-main dengan rayuan menjijikkan orang-orang sepertimu.”

Hyo jae kembali menatap sinis, “Lebih baik, kau bermain dengan meraka yang berada di jalan. Bukankah mereka lebih mudah ditaklukkan? Atau, kau tidak mempunyai uang untuk membayar mereka, sehingga mengintimidasiku disini? Pria menyedihkan.”

“Hahaha! Mulutmu terlalu manis, nona. Aku jadi ingin tau apa rasanya.” Lelaki itu mencengkram rahang Hyo jae.

“Lepaskan, brengsek!”

Disaat lengkingan marah Hyo jae dan tawaan puas lelaki lain, seseorang dengan beringas memegang keras bahu pria itu. Kim Jong woon. Dengan amarah, menatap tajam mereka. Medorong keras tubuh orang itu hingga terjungkal dan mengeluarkan dentuman.

Jong woon mengepal seraya mendekati cepat orang tersebut. Menghentakkan kaki pada tubuh si pria. Teriakan sakit menggema. “Apa kau tuli, hah! Dia bilang lepaskan, tapi kau malah semakin mendekat. Dasar brengsek!” Dengan emosi memuncak Jong woon terus saja menendang hingga perut orang tersebut melebam. Rasa ketidaksukaannya pada orang-orang binal yang mendekati Hyo jae semakin menjadi.

Jong woon mencengkram kerah baju si pria. Membuat badan tersebut pasrah dengan tetesan-tetesan pekat amis di sela bibirnya. “Bukankan telingamu sudah tidak berguna? Hal yang tidak berguna lebih baik hilang,” ancam Jong woon yang sentak membuat tubuh si pria gemetaran. Tatapan buas itu sukses membuat bayangan tentang manusia cacat, mengitari otaknya.

“Tidak—aku, aku hanya bermain-main.”

“Bermain-main? Baik, kita bermain.”

Teman si pria tersebut sontak menyergah tindakan Jong woon. Berusaha mendorong—menyelamatkan temannya. “Lepaskan dia. Maafkan kami.”

Tak ingin terjadi hal-hal di luar batas, Hyo jae menepis lengan kuat Jong woon. “Jong woon-ssi, apa yang kaulakukan? Kenapa kau mencampuri urusanku?”

Jong woon mendelik tajam dan seketika melepaskan eratan marahnya. “Urusanmu. Baik wanita tak tau diri, berhentilah berbicara omong kosong! Berpura-pura kuat, bodoh! Dan mulai detik ini, semua menjadi urusanku!” Jong woon berteriak kalap, sedangkan Hyo jae tercenung. Tak mengerti semua hal-hal yang pria itu ucapkan.

“Kalian, aku belum selesai berurusan dengan kalian,” lanjutnya. Masih dengan emosi memanas, Jong woon menarik paksa pergelangan tangan Hyo jae. Menyeret tubuh wanita itu pergi.

Dalam perjalanan penuh kebisuan itu, tak ada satu-pun yang berani berucap. Hyo jae hanya diam membiarkan genggaman Jong woon mengerat pergelangan tangannya. Ia tidak ingin pria tersebut semakin menakutkan. Dan ini, kedua kali orang yang dengan terang-terangan menjadi beton pelindung untuknya. Orang yang sama, lekaki yang sama pula.

“Dimana rumahmu?” tanya Jong woon tanpa berbalik. Terus berjalan cepat seolah menghindari penjahat.

“Aku tak punya rumah.”

“Aku tanya dimana rumahmu!” Kali ini lengkingan ngeri Jong woon kembali nampak. Ia menarik Hyo jae mendekat tanpa melepaskan eratannya.

“Rumah loteng, Songwaldong, Joonggu,” balas Hyo jae cepat. Hatinya berdentum-dentum kala tatapan menaklukkan Jong woon memenuhi penglihatan. “Tolong, lepaskan aku. Ini sakit.” Tangan Hyo jae berusaha memberontak.

Jong woon menghela, “Maaf.”

“Tidak ada yang salah. Untuk apa kau meminta maaf.”

“Bisakah sekali saja, buang sifat dinginmu, Han Hyo jae?” Jong woon mendekati wajah Hyo jae dengan tenang. Sontak gadis itu melangkah mundur.

“Kau—kau sama saja dengan pria-pria itu,” lontar Hyo jae terbata.

“Benarkah? Apa kau mau lihat perbedaanku dengan mereka, hah?”

“Berhenti di situ, Kim Jong woon.”

Sebuah mobil sedan hitam, mendecitkan rodanya tepat di hadapan mereka. Sontak pandangan bingung menghadap lampu menyilaukan tersebut. Seorang laki-laki berjas hitam senada membanting pintu mobilnya. Berjalan cepat kearah Hyo jae dengan wajah was-was.

Hyo jae membatu dengan raut miris. Entahlah, semua pikiran dan kata-kata tajamnya seketika amblas hanya karena wajah itu. Kesakitan akan rasa rindu yang tak kunjung hilang. Dia, pria masa lalu kini datang dimasa depan Hyo jae. Luka yang tak pernah sembuh, sekarang mau tak mau kembali terkorek dalam balutan kata rindu.

“Yong hwa,” desah Hyo jae tanpa suara.

Hyo jae masih diam saat Yong hwa telah ada di depan wajahnya. Mimpikah?

“Hyo jae! Apa kau tidak apa-apa? Aku melihatmu seperti dikejar sesuatu,” ujar Yong hwa khawatir.

“Kau—” Hyo jae kembali terdiam, berusaha mencerna siluet kenangan hitam di depan bola matanya.

Yong hwa meraih bahu gemetar Hyo jae. “Kau tidak apa-apa?”

Jong woon memincing, “Siapa kau?” tanyanya dingin.

Hyo jae sentak tertoleh, tersadar jika orang didepannya nyata.

“Kau yang siapa? Apa urusanmu dengan Hyo jae? Apa kau menyakitinya?

“Kau yang menyakitiku, Yong hwa-ssi,” sela Hyo jae sinis.

Lagi-lagi Yong hwa mencoba menatap penuh arti Hyo jae, berusaha memberi alasan melalui pandangannya, “Han Hyo jae, aku ingin berbicara denganmu.”

Alis Jong woon tertaut sempit. Terlalu membingungkan mendapati raut wajah pilu di depan. Ia dapat merasakan ada kesakitan dan dahaga di mata nyalang Hyo jae. Itu bukan mata marah. Ada pandangan lembut yang bisa memecah hati dingin Hyo jae.

“Kita pergi,” titah Jong woon seraya kembali meraih pergelangan tangan Hyo jae. Jong woon sedikit terganggu dengan tebakan-tebakan liar dan pemandangan sayu dua orang itu.

Tapi, Hyo jae mengeras dan menolak genggaman Jong woon. “Tinggalkan aku.”

Hyo jae menghening dan membiarkan guratan-guratan emosi orang-orang di depannya. Namun, saat tangan pria lain—Yong hwa—merenggut pergelangan tangan itu, ia membiarkannya. Tak berkutik seperti manusia mati.

Dan Jong woon tak bisa berkata. Mulutnya seolah tersumpal karena tindakan dan kata-kata singkat Hyo jae. Ia hanya bisa membiarkan tubuh rapuh itu diraih lelaki lain yang ada di masa lalu Hyo jae. Memandang lekat penuh tanya saat Hyo jae duduk bersebelahan dengan tatapan kosong di mobil mewah lelaki itu.

To Be Continued…

7 thoughts on “Abnormal Life [ Part 2 ]

  1. kak jangan lama2 part berikutnya 🙂 mau ke klimaks ya?

  2. Pingback: Abnormal Life [ Part 2 ] | Summer Fiction

  3. Penasaraaaaan…..

  4. oke eonn part ini nyesek dalem bgt..
    pas acra tarik2an TT_TT

    *peluk yesung*

  5. Kenapa jadi main tarik2an :3
    Yesung nya jadi kepo 😀

Leave a comment