Abnormal Life [Part 1]

Hyowoon

Kim Jong Woon

Han Hyo Jae 

Jung Yong Hwa

Cerita ini terinspirasi dari film Gachi max ^^

****

 “Seperti kaktus yang hidup di padang tandus, seperti lotus yang tetap indah dalam kubangan busuk, aku selalu berangan seperti itu. Kuat dan indah meski dunia meremehkan. Tapi, bukankah angan terkadang hanya sebuah bualan mimpi? Tidak bisakah aku berubah menjadi Edelweiss yang hanya bisa diraih orang yang benar-benar menginginkannya?”

 

 

Tatapan kosong penuh kebencian, disertai hembusan nafas penyesalan menyelimuti Han Hyo Jae. Hyo Jae duduk menatap hampa kaca hias yang memantulkan kembali wajah penuh kepedihan itu, kala memikirkan segudang kesialan nasib dan kelakuan menjijikannya. Jika saja ia bisa terisak, mungkin ruangan beraroma lavender ini nyaris pecah akibat kemarahan Hyo Jae. Dan sialnya, gadis itu hanya bisa membatu dungu menertawakan permainan konyol yang ia buat sendiri.

Rambut panjang hitam legam yang terjuntai sebahu—menutupi bahu kurusnya, sesekali terbawa sepoi Air Conditioner dalam ruangan tertutup berdinding keemasan itu. Sedetik kemudian, masih dengan ekpresi datar, Hyo Jae meraih lipstick merah muda dan memolesnya pelan. Tak ada gairah. Tak ada rasa syukur akan berkah bibir berisi dan ranumnya. Saat Hyo Jae menatap balik matanya, ia nyaris melempar kaca tersebut. Marah! Mata almond kecoklatan tersebut seolah menghujat dan meludahi wajahnya sendiri.

Dan semakin lama, pandangan itu berubah iba. Nyatanya, Hyo Jae sama sekali tak ingin diberi rasa kasihan.

Hyo Jae berbalik dan melihat ranjang besar di sisinya. “Han Hyo Jae, kau menjijikkan.” Tanpa disadari, sudut mata Hyo Jae berbuah tetesan kecil. Ia menangis meski dalam bibir terkatup.

Menatap nanar sembari tersenyum kecut tatkala mendapati sosok pemuda yang tertutup selimut tebal dan hanya mempertontonkan dada kekarnya. Hyo jae mendengus bersamaan dengan rasa kepedihan. Ingin sekali ia membakar tempat ini dan memusnahkan lelaki itu. Pergi ke neraka jahanam bersama. Ia mulai muak dengan keadaan yang terus-menerus melecehkannya. Tapi, semua kemarahan hanya bisa Hyo jae putar dalam otak. Terlalu munafikkah?

Tak pernah sedetikpun terlupakan ketika rayuan-rayuan menjijikkan pria-pria yang memanggilnya, berakhir pada sebuah kejadian nyeri. Tidak pernah ingin gadis itu ingat, saat tangan pria-pria bejat menjangkau tiap sisi tubuh mulusnya. Ia ingin merintih dan menepis jari-jari kasar mereka.

Hyo jae menegak, mendekati si lelaki dengan pelan. Menarik selimutnya dengan perasaan jijik; berusaha membangunkan orang kotor di sana. Kotor, mereka bahkan sama-sama kotor.

“Tuan, berikan uang saya.” Si lelaki tak berkutik dan malah menggeliat di bawah selimut dengan tubuh tanpa busana.

“Brengsek…” desah Hyo jae lirih. Ia benci melihat wajah pria dipagi hari. Raut puas menjijikkan.

Hyo jae mendengus kecut. Tanpa banyak berujar, ia pergi meninggalkan kamar yang berantakan. Aroma wangi seperti itu, berubah jadi bau busuk sampah di rongga dada Hyo jae. Wanita berparas sendu itu lebih memilih menunggu di luar, dibanding berlama-lama harus satu sirkulasi udara dengan manusia nista tersebut.

Di luar pelataran hotel, Hyo jae berdiri memandang sekitar. Tak ada senyuman, tak ada kesenangan, tak ada gempita kala menemui hari baru. Saat burung kecil mencicit senang, gadis itu meraung pedih dalam hati. Satu jam Hyo jae menanti di titik yang sama, si pria masih tak menampakkan batang hidung dan mata nafsunya.

Tapi, tepat Hyo jae akan berbalik dan menyeret sang pria keluar dari selimutnya, ia mendapati tubuh jenjang orang itu melenggang keluar hotel.

Tampan, bertubuh proporsional, tapi beraut rakus. Hyo jae mendengus nyeri saat mendapati muka “pelanggannya” cerah. Tepat di pelataran hotel, wanita itu menghadang langkah si pria dengan langkah tegap tanpa rayu sapa. “Bayaran saya, tuan,” lontar Hyo jae pelan seraya menyilang kedua tangan—bergaya bossy.

Pria berambut perak mengkilap dengan sedikit basah itu menyeringai nakal. Berusaha menggapai pipi halus kemerahan Hyo jae, “Aku kira kau sudah pergi, sayang.”

Hyo jae mengeram, mencengkram dengan sisa kepercayaan diri. “Berikan saja uangnya, tuan-yang-terhormat.”

“Hahahaha! Kau benar-benar berbeda dengan pelacur lain, Han Hyo jae. Aku suka gadis sepertimu. Sangat menantang dan memuaskan.”

Dan dengan sekali kibasan telapak tangan, suara tamparan menggema. Beberapa mata menatap antusias mereka. Nafas Hyo jae menderu keras, bersamaan dengan mata yang memerah pedih.

“Kau—” Wajah si lelaki memerah menahan amarah. Mengusap pipi putih yang berubah warna bata dengan tepi tangannya.

“Dasar wanita jalang!” amuknya. Ia mendorong tubuh Hyo jae hingga terjengkang.

Hyo jae meringis sakit. Lantas, menatap sekeliling dengan wajah gugup serta tubuh yang gemetar ketakutan. Ketakutan akan tatapan iba, celaan, dan tawa sinis orang-orang. Hidupnya memang tak bisa kenal lagi rasa malu, tapi bisakah ia sekali saja dipandang sebagai seorang wanita yang punya harga diri dan layak dilindungi? Air mata yang tergenang, nyaris jatuh kala orang-orang berbisik tentang gadis ‘panggilan dan jalang’ yang dilimpahkan untuknya.

Rona wanita itu semakin memucat saat mendapati tatapan sinis orang-orang. Memperhatikanya mulai dari ujung rambut hingga ujung tungkai kaki. Sendirian di tengah hujanan pandangan remeh orang-orang. Belum wanita itu berhasil menghadapi ketakutannya, si Pria lantas saja menghadiahi lemparan ringan tetapi teramat sakit mengoyak ulu hatinya.

“Bayaranmu! Jangan pernah datang lagi di hadapanku!”

Hyo jae semakin ternganga. Entah dimana lagi harga diri seorang wanita yang di gadang-gadangkan dunia. Lembaran-lembaran uang berbau tajam, terbang menghantam wajah kesakitan Hyo jae. Jatuh perlahan-lahan memenuhi pangkuannya.

Di tengah getaran genggamannya, bising suara tawa dan cemooh bak nyanyian kematian. Memilih berlari, menyelamatkan diri atau mendongak kuat mengambil apa yang menjadi haknya, tak jauh berbeda di mata Hyo jae. Toh, nyatanya semua sama-sama harus berakhir pada pengorbanan diri.

Lama Hyo jae membiarkan semua mengalir menyakitkan, sampai akhirnya wajahnya mendongak—menatap tajam si pria—meski dengan mata berkabut. “Tubuh dan kelakuanmu tak lebih dari hewan, Tuan-yang-terhormat,” sinis Hyo jae yang sukses membelalakkan mata pria kekar di hadapannya.

“Kau!”

Tangan Hyo jae mengepal di atas lantai, “Aku jalang? benar. Tapi kau manusia terbusuk!”

Emosi sang pria pecah! Ia sontak mendekat, berusaha menarik lengan Hyo jae. Wanita itu berdiri terhuyung. Beberapa pasang mata hanya diam menyaksikan seperti pemutaran film horor untuk mereka. Lembaran uang berharga itu ikut terhuyung bersamaan tubuh kurus Hyo jae.

“Mulutmu belum pernah mendapatkan pelajaran, hah!”

Hyo jae berdesis kala eratan jari-jari kasar pria itu membuat kulitnya lebam. “Pengecut….”

Semakin Hyo jae berbicara, semakin erat kepalan si lelaki di lengannya, “Manusia yang hanya mengikuti napsu dan tak pernah berpikir, tidak berhak memberiku pelajaran. Kau tau, kita sama-sama SAMPAH!”

“Diam kau!” Dengan ringan, lima jari dengan satu kekuatan itu mendekat cepat ke arah muka Hyo jae. Rahang mengeras dengan wajah yang mendidih marah. Ia lupa situasi akan tontonan tak layak untuk semua orang.

Dan wanita yang berhasil membuat pria itu memecah emosi, tak berkutik sedikit pun. Mempersilahkan, bahkan menantang orang tersebut, menambah bekas kesakitan. Hyo jae tak bisa membiarkan dirinya terus-terusan dianggap wanita lemah. Biarlah sakit pada tubuh dan hatinya. Bukankah semua itu tak membuat ia mati meregang nyawa?

Perlahan Hyo jae mengatup mata, mencoba meredam ketakutan. Bibir yang gemetaran, terus saya ia kulum hingga memutih.

“Pengecut. Kau tidak layak disebut laki-laki.” Suara bariton seseorang sontak membuat mata Hyo jae terbuka lebar. Laki-laki dengan tatapan tajam, menahan pergelangan tangan si pria bernapsu. Ada rasa berdesir dalam hati Hyo jae kala mengetahui seseorang yang entah darimana, untuk pertama kali melihatnya sebagai wanita yang layak dilindungi. Hyo jae manatap lekat wajah tampan pria itu. Garis rahang keras, tatapan menusuk, hidung mempesona itu, dan suara syahdu. Ada senandung riang dalam hati kecil Hyo jae, yang entah apa.

Pria berambut perak tersebut mencoba memberontak, “Brengsek! Bukan urusanmu!”

“Akan jadi urusanku jika kau mengotori tempat ini. Kau terlalu berisik,” sahutnya sinis. Ia melempar tangan ‘teman pria’ Hyo jae dengan sekali hentakkan. Dan akhirnya, pria tersebut terjengkang—jatuh—seperti yang terjadi pada wanita dihadapannya. Ia terkesiap tatkala mendapati tenaga yang jauh lebih besar tetapi dengan tubuh yang lebih kecil dari-nya.

Hyo jae membatu. Semakin menatap terkesima penyelamatnya.

Shit!” Pria itu mengepal seraya menekuk lutut mencoba berdiri. Ingin rasanya ia memukul orang yang dengan berani menghinanya.

Tetapi, lawannya tersenyum sinis. Ia mendekat dan menginjak keras kaki bertulang kering si lelaki. Sedetik kemudian, erangan keras menggema dan sentak membuat orang-orang sekitar yang melihat ngeri serta menutup mulut dengan telapak tangan.

“Pergilah, sebelum tulang belulangmu hancur.”

Ditengah erangan sakit, ada suka cita yang membuncah di hati Hyo jae. Tapi, ia tetap tak bisa tersenyum meski segaris. Hyo jae masih berlama-lama memandangi raut menakutkan penyelamatnya yang tak menatap balik.

Lelaki dengan jeans sobek tersebut berbalik dan meninggalkan Hyo jae dan pria yang masih terkapar dengan ringisan. Belum lama melangkah, ia kembali dan mendekati pria kekar tersebut. “Berikan dompetmu,” pinta-nya. Gaya bossy dengan tangan berada di kantung celana jeans-nya. Tak butuh waktu lama, dompet hitam kulit dengan harga selangit berada di tangannya.

Satu tindakan yang tak bisa tergambarkan terjadi. Hal serupa yang dilakukan pria tadi pada Hyo jae, terjadi pula padanya. Sang penyelamat, melempar keras uang-uang kertas tepat di wajah si pria. Semua berhamburan. Semua terpana dan ternganga. Kesakitan itu kini terbalas melalui tangan orang asing.

Kini, lelaki berambut hitam itu menatap balik Hyo jae yang masih terpaku dengan pandangan yang tak bisa diartikan. “Berdiri,” perintahnya sembari menarik keras bahu ‘teman kencan’ Hyo jae. Dengan langkah tertatih, pria betubuh jangkung tapi bernyali kecil itu patuh seperti anjing yang dilempar tulang tuannya.

“Ambil dan berikan uang-uang itu padanya.” Mendapati tautan alis kesal, ia sontak kembali mengangkat dagu menantang, “Aku tak butuh kata sampah penolakan.” Mau tak mau, keinginan si badboy itu terjadi. Sepoi angin menerbangkan rambut halus Hyo jae, ketika tangan lebar gemetarannya memunguti dan memberi hikmat pada Hyo jae.

Pandangan Hyo jae mengabur. Rasa haru dan terima kasih melambung hebat. Wanita ini mungkin sudah lupa terakhir kali seseorang pernah mengulurkan tangan kala ia terjatuh.

“Suatu hari jika aku bertemu denganmu lagi, jangan berharap hanya kaki yang akan hancur,” sengitnya seraya berbalik pergi menjauhi tempat perkara mereka. Ia berjalan dengan santai sembari sedikit menggerakkan leher yang terasa kaku. Bahu jantan pria itu terekspos sempurna ketika ia melangkah, diikuti bayangan hitamnya.

Detik-detik saat Hyo jae bergelut dengan kekaguman, suara rutukan marah disisinya menyadarkan. Ia sontak berlari, mengejar sang penolong. Hyo jae mendapati wajah datar pria itu sedang menunggu lampu penyebrangan menyala hijau. Dengan sisa tenaga, Hyo jae berjalan seolah menemukan barang yang telah lama hilang.

Mendapati si lelaki telah berjalan acuh melewati hitam putih jalan raya, Hyo jae terus saja mengekor dengan sengalan napas serta rasa penasaran. Butiran peluh jatuh melewati dahi  putihnya. “Tuan, tunggu!” berteriak mencoba menghentikan.

Si lelaki tersebut berhenti tanpa berbalik.

Napas Hyo jae masih menderu, “Aku—aku hanya ingin berterima kasih.”

Lelaki itu berbalik seraya menatap malas wajah letih Hyo jae, “Aku tak peduli dengan terima kasih. Lagipula, siapa yang menolongmu, nona?”

Hyo jae mengulum bibir—kesal. Terserah dengan pertolongan, hati Hyo jae kini kembali membatu. Apa semua lelaki tak ada beda? Berbicara sekehendak otaknya. “Baik! Aku tidak peduli kau menolongku atau tidak. Aku hanya ingin berterima kasih. Lagipula, rasa terima kasihku tak harus kau bayar,” sengit Hyo jae.

Rona apatis pria itu berhias seringaian kecil.

“Terserah katamu.”

“Tunggu!” Sergah Hyo jae tatkala tubuh penolongnya membelakangi mencoba menghindar . “Namamu, siapa namamu!”

“Apa itu penting?”

“Jika boleh jujur, itu sangat tidak penting. Aku hanya ingin tau, dan suatu saat akan membalas budi padamu.”

Tsk! Kau bertanya seolah merampok, nona.”

“Dan apa itu penting?” Hyo jae tersenyum sinis, membalik pernyataan lelaki di depannya.

Si lelaki mendegus di sela tawaan tak percayanya. Ini pertama kali ia menemukan seorang wanita bermulut masam—sama seperti dirinya. “Kim Jong woon. Apa kau puas?” Ia membalik kepala satu arah dengan tatapan Hyo jae.

Hyo jae sedikit mengangkat sudut bibir kanannya—tersenyum kecut, “Kim Jong woon-ssi, jangan bertanya tentang kata puas padaku.” Hyo jae kini berjalan berlawanan arah pada punggung Jong woon.

Jong woon terkesiap. Wanita aneh. Sejak pertama kali melihat ia bertengkar dengan ‘lelakinya’ Jong woon hanya bisa menggeleng tak percaya jika wanita itu tak memiliki rasa takut sedikitpun. Sampai akhirnya, Jong woon teramat gatal ingin memberi pelajaran manusia brengsek, yang hampir mendaratkan tangan di pipi pucat Hyo jae.

Jong woon menelisik lekat punggung wanita yang belum satu jam bergetar, kini berubah kokoh seperti akar. Tiupan angin lagi-lagi memberi pesona Hyo jae terbang. Sweeter dress dengan motif bunga merekah itu terayun-ayun riang. Stocking hitam ketat yang menampilkan kaki jenjangnya seirama dengan langkah gemulai seperti dedaunan maple yang jatuh ringan di  tanah. Dan ada satu titik rasa ingin tahu dalam diri Jong woon.

To Be Continued…

9 thoughts on “Abnormal Life [Part 1]

  1. Pingback: Abnormal Life [Part 1] | Summer Fiction

  2. Jong woon jd bad boy nich….

  3. pertama baca ini pas d fb, dan ktka brknjung k wordprres weny eonni ff abnormal life udah ada 8 chapter..
    jadi anna baca dr awal lg, dan feel.a ttep dapet eonn (y)

  4. Fika baca, fika baca, :3 tetep gak bosen. :3 lanjutkan part akhr eon, :3 😀

  5. Aku reader baru thor, Ijin baca ne 😀

  6. hallo hallo
    aku reader baru, ijin baca ya thor

Leave a comment