Destiny, Miss Hijab ( The Last sequel) [part 4]

998356_617143828298335_1549782129_n

Kim Ryeowook 

Choi Jae in (OC)

Donghae ( Maaf, anggap ia muslim ya ^^)

This Fanfiction Orginal of my mine !

Don’t like, don’t Read. Be smart readers, right?

Happy reading!

“Jae in! Choi Jae in! Haruskah aku bilang mencintaimu! Tolong tetaplah disini, aku mohon!” Ryeowook memekik bak penggila. Kali ini semua kekuatannya hilang.

Jae in terisak perih kala punggungnya terduduk. Meninggalkan lelaki yang ia harap takdirnya. Melepaskan jodoh yang berharap dilukiskan Tuhan untuknya. Dan semuanya, harus menjadi masa lalu dalam lembaran buku nasib.

            ****

 

            “Kau meninggalkanku, itu artinya aku mati!”

            “Mati atau bernyawa hanya Tuhan Maha Kuasa. Siapa kau yang lancang mendikte keagungan-Nya.”

            “Karena kau nafasku….”

            “Aku bukan nafasmu. Aku hanya sosok yang dihadirkan-Nya padamu. Tanpaku, kau masih bisa menghirup udara.”

            “Aku tidak bisa! Aku membutuhkanmu karena aku mencintaimu! Persetan dengan kata tak tahu malu. Aku hanya tak ingin tau!”

            “Jika seperti itu, kau memang bukan untukku, dan bukan hidupku. Ingatlah, aku hanya manusia sama seperti yang lainnya. Pantaskah kau membuang logismu dan bersujud padaku? Aku bukan Tuhan! Bahkan jauh dari sosok malaikat! Aku hanya daging yang ditiupkan ruh oleh-Nya. Maka, pergilah….”

            “Aku harus bagaimana?!”

            “Bersujud pada-Nya. Sebut Nama-Nya. Dan aku akan menyebut namamu disela munajatku  pada Tuhanku. Kemudian, tersenyum dan kenanglah.”

 

            ****

Hidup itu bak roda kereta berkuda. Berputar pelan namun pasti. Acuan kuda yang halus membawa si kereta menuju persinggahan dan tempat tertuju utama, meski harus mengorbankan waktu. Begitu juga hidup, yang tak akan serta-merta melemparkan kebahagian tanpa ada pengorbanan sebagai ‘jaminannya’. Sakit, senang, tawa, tangis. Pernahkah kita berpikir hal-hal semacam itu adalah rentan waktu sebuah pengorbanan untuk sebuah kelulusan kebahagian?

 Hitungan hari menyakitkan sejak pertemuan Ryeowook, Jae in, maupun calon suaminya—Lee Donghae, Kim Ryeowook tampak berantakan. Lupa cara tersenyum dan melupakan impian yang hampir diraih. Masih banyak pertanyaan dan keterkejutan yang terlalu apik menghantam nalarnya karena satu kisah yang memuat puluhan air mata.

Sore itu, disambut dengan hamparan langit jingga cerah serta awan putih mengepul, Ryeowook duduk diam seraya mendongak langit keemasan. Ada kekaguman yang tercipta  kala hembusan-hembusan nafas lirih mengalun seirama tatapannya akan Kebesaran Sang Pencipta. Lelaki itu meremas ujung-ujung jarinya sendiri; mencoba berfikir keras.

Saat Ryeowook sibuk dengan aktifitas berpikir, Jong Woon masuk ke kamar adiknya yang penuh sesak dengan barang-barang berhamburan. Bahkan, pria bermata Hyena itu harus berjinjit menghindari laptop Ryeowook yang seolah menjadi sampah.

“Apa kau lupa caranya membersihkan kamar, Wook-ie?” Jong Woon lantas duduk, ikut menikmati pemandangan petang melalui kaca lebar kamar Ryeowook.

“Yang harus kau syukuri, aku tak lupa namamu, Hyung.” Ryeowook sedikit tersenyum tipis tanpa tertoleh pada wajah tampan Jong Woon.

 Jong Woon mendengus malas, “Kau semakin pintar bericara anak kecil.”

“Anak kecil,” gumam Ryeowook datar.

“Aku rindu kembali menjadi kecil, Hyung. Rindu ketika ibu menyuapi kita Kimchi. Rindu saat ayah marah dan memukul kaki kita. Aku rindu mereka.” Ryeowook menengadah seraya mengatup kedua mata. Mencoba memutar kembali memori manis masa silam.

Sontak Jong Woon memandang Ryeowook, “Aku juga rindu Kim Ryeowook yang kemarin,” balas Jong Woon halus. Ia tersenyum sembari menatap intens adik satu-satunya tersebut.

“Dan aku rindu Jae in,” tambah Ryeowook lirih. Menunduk, menahan ngilu hati tiap kali nama gadis hijabnya terlontar.

Jong Woon menghela, melemparkan setengah tubuh pada tempat tidur Ryeowook. “Hingga sekarang, aku masih belum percaya kau benar-benar mangambil resiko untuk jatuh cinta padanya, Wook-ie.”

 Masih dengan muka merunduk, Ryeowook menarik kedua lututnya dan memeluk kaki rapuh itu. Menjatuhkan dagu runcingnya ke lutut, “Terlalu klise jika aku berkata ini cinta, Hyung. Hanya saja, saat didekatnya ada getaran yang tak kumengerti dan terlalu kunikmati. Suara Jae in ketika melafazkan ayat-ayat itu, bisa membuatku tenang dan tersenyum merekah. Wajah berbinar dengan hijab putih ketika pertama kali bertemu dengannya tak pernah sedikitpun terhapus dalam ingatanku, Hyung.”

“Pernahkah kau berpikir, kau menyukainya karena keyakinannya?”

Ryeowook sentak membatu. Sedikit demi sedikit memandang datar Jong Woon yang berbaring di sampingnya. Dia tidak mengerti. Ryeowook bahkan tak tau dimulai darimana anugerah Tuhan yang berjulukan Cinta itu melekat tiba-tiba.

Ryeowook menghela seraya tersenyum kecut bersamaan dengan kepasrahan hati. “Tapi aku terlambat, Hyung.” Ia ikut merebah tetapi memunggungi tubuh kakaknya. Entah menutupi kesedihan atau tak ingin memperlihatkan kepedihan.

“Wook-ie…” Jong Woon memeluk hangat tubuh kurus Ryeowook. Ia tau Ryeowook hanya butuh penopang bukan penasehat.

“Pria itu… Dia lebih segalanya dibanding aku. Pasti Jae in akan bahagia.” Ryeowook berusaha berdoa walau sesakit apapun hatinya.

“Tapi, bisakah aku bahagia?” tambahnya lagi.

“Kau pasti bertemu dengan kebahagiaan itu, Wook-ie. Tidak ada bahagia tanpa tangis.” Bibir Ryeowook berdenyut kala mendengar tutur kakaknya. Kebahagiaan dan kesedihan. Dua hal yang bertolak belakang, namun selalu beriringan.

            ****

Bulan juli, dihari pertama musim hujan, hari dimana pagi memberikan aroma bumi menyegarkan. Tetesan-tetesan air langit masih tampak berbekas di dedaunan maple. Jatuh dengan ringannya—meresap tanah. Terlihat di rating-ranting pohon, burung-burung kecil mengibaskan bulu halus mereka kemudian terbang memutar indah di langit kelabu Seoul.

Kumparan langit mendung, nyaris meresap dalam hati Kim Ryeowook saat ini. Meski, semaksimal mungkin wajah cerah itu ia paksakan nampak. Pria itu bak manusia cerdas yang berpura-pura bodoh dan membodohi sekitar.

Ryeowook sibuk mengambil alih dapur yang beberapa minggu ini terabaikan. Merubah suasana lengang ruang masak-memasak menjadi porak-poranda. Dentingan gelas berpacu bersama sengalan napas pria itu. Entahlah! Ryeowook seolah belajar dari titik nol.

Dengan rona datar, Ryeowook mengaduk mie pasta kesukaannya hingga makanan tersebut berubah kecoklatan. Kian lama mengeluarkan asap pekat memberangas paru-paru. Tapi, Ryeowook tetap membatu. Menatap hampa seolah tak terjadi apa-apa pada aktivitas memasaknya.

Di sisi lain, Jong Woon yang terlelap, sontak terjaga dan beranjak mencari bau menyegat tersebut. Sedikit terbatuk saat indera penciumnya menghirup paksa aroma itu.

Jong woon terperanjat saat mendapati adiknya beserta dapur yang hampir menyerupai ‘tempat kejadian perkara perampokan’. Ia berteriak nyaring, “Kim Ryeowook! Apa yang kaulakukan, eoh?!” Jong woon berjalan cepat, mengambil paksa aktivitas Ryeowook. Memadamkan gesit nyala api.

Ryeowook sontak tersadar dan menatap balik Jong woon dengan wajah masam.

Jong Woon mengedarkan pandangan. Lemari es dua pintu tersebut masih terlihat terbuka hingga mengelurkan uap-uap dingin. Bahkan, sayuran hijau yang biasa-nya tertata rapi kini tertumpah di sekitarnya. Wastafel perak berubah menjadi tempat pembuangan makanan gagal Ryeowook. Semua makanan yang tertata di piring, seolah setan menakutkan di mata Jong Woon.

Jong woon mengernyit, “Astaga, Kim Ryeowook. Kau ingin mengubah dapur kita menjadi pemakaman?!”

“Maaf, Hyung. Aku—”

“Sudahlah, bersihkan saja dirimu,” sela Jong woon memotong penuturan adiknya. Ia mengerti Ryeowook tak bisa berpikir sehat saat ini.

“Biar aku bersihkan dulu tempat ini.” Ryeowook sentak beranjak dan berlutut; mengusap keras lantai serta meja dapur yang kotor dengan tergesa. Ada rona gelisah kala bibir pria itu berusaha ditekan dengan gigi putihnya. Ryeowook membersihkan sampah-sampah tersebut, seolah sebuah vonis hukuman yang harus diselesaikan saat itu juga.

Jong woon memincing serta mengeraskan rahang. Tak tahan dengan kelakuan-kelakuan sang adik. Ia menarik bahu Ryeowook dan meremasnya keras. “Berdiri Kim Ryeowook!”

 Ryeowook berada tepat di hadapan Jong woon dengan wajah teramat miris. Merunduk dengan getaran-getaran tubuh. “Berhentilah menjadi pengecut dan menyalahkan takdir!” Jong woon berteriak nyaring, membuat Ryeowook semakin merunduk.

“Lihat aku sekarang. Ingat, kau lelaki! Kau Kim Ryeowook, adikku.” Lamat-lamat Ryeowook memandang wajah berkobar Jong woon. Tapi, ia tetap tak bisa menyergah.

“Tuhan Maha Tahu. Jadi, berhentilah berpikir jika Tuhan tak adil! Kaupikir, hanya kau satu-satunya manusia yang merasakan sakit?”

Kain kasa di gengaman Ryeowook sentak terlepas.

“Lihat ke bawah Kim Ryeowook. Tatap mereka yang bahkan sudah terbiasa dengan kesakitan. Jangan jadi pecundang yang dengan pasrahnya berleha-leha dengan rasa kesakitan itu!”

Ryeowook menepis pelan eratan tangan Jong Woon pada bahunya. Berbalik membelakangi kakaknya. “Hyung… Aku percaya akan Keagungan Tuhan. Aku sangat percaya saat semua orang berkata akan ada bahagia kelak. Aku tak pernah sekalipun menyalahkan takdir. Tapi, aku masih tak bisa percaya semua perkataannya. Aku tidak bodoh, Hyung! Tatapannya ketika itu menangis! Meminta tolong dan memohon.” Ryeowook mengepal genggamannya erat.

“Aku akan lihat, sampai mana takdir itu membawaku.” Ryeowook menapak menjauhi Jong woon yang masih membatu.

Lelaki bermata sayu itu berhenti, “Dan aku bukan pecundang,” ucapnya lagi. Sepersekian detik kemudian, Ryeowook telah menghilang di balik dinding dan pintu rumah. Suara derum mobil melesat dengan kecepatan tinggi. Dan yang tertinggal, hanya Jong woon saat itu membeku. Bersandar pada dinding biru langitnya.

Masih dengan suasana mencekam, bau hangus, lantai yang penuh kotoran berminyak, mata Jong woon terpaku pada satu kertas kecoklatan yang sebagian remuk di atas meja dapur. Dengan langkah pelan, Jong woon mendekati kertas tersebut. Lantas, membacanya seksama. Raut penasaran pria itu berubah sendu. Seluruh tubuh Jong woon lemas tatkala mengetahui jika hari ini, hari yang teramat tersiksa untuk Ryeowook. Hari neraka saat mengetahui Jae in akan menikah dengan pria pilihannya.

Jong woon tersadar, seketika gelisah mengetahui tujuan adiknya sekarang. Apa yang akan dilakukan Ryeowook?

Benar saja, Ryeowook dengan hati kesetanan menuju tempat perikraran Jae in. Melajukan kendaraan beroda empat itu di atas normal. Dia memang bukan pecundang! Tapi akan menjadi pecundang jika hanya berdiam seperti manusia idiot.

“Arggh!” Ryeowook mengeram marah seraya menghantamkan lengannya pada kemudi tatkala mobil silver di belakang memotong jalan.

Tak jauh dari area pemukiman Jae in, Ryeowook keluar dengan tersengal—sesak. Gemetaran. Ia takut, terlalu takut menghadapi kenyataan tak logis untuknya. Suara sahut-sahutan, selamat ataupun ayat-ayat Al-Qur’an mengalun halus. Dan hati Ryeowook bergetar.

“Jae in…” lirih Ryeowook bersamaan dengan sudut mata yang kian tergenang.

Punggung Ryeowook bertumpu pada sisi mobilnya. Mengatur keseimbangan, yang kapan saja bisa roboh meski angin meniup. Rasa sakit hatinya tak pernah sedikitpun membias.

Ryeowook menggenggam dadanya yang maha sesak. Lantas, meraih ponsel—menghubungi salah satu nama yang sukses membuatnya menggila seperti ini. Dengan sisa tenaga, Ryeowook bermunajat  jika gadis itu mau mendengar satu menit suaranya. Hanya suara.

Di sisi lain, seorang gadis berpakaian putih kehijauan duduk menghadap meja hias-nya. Suasana kamar yang disulap menyerupai istana peri—penuh bebungaan—tak dapat membuat hati Jae in terpesona. Jari-jari putih pucat itu seolah berselimut salju; kedinginan. Berkedut dan ketakutan.

Jae in menatap sedih ponselnya yang berdering di meja. Ia sangat tau hal ini akan terjadi. Hal-hal di luar kekuasaannya sebagai manusia biasa.

Gadis berjuntai hijab panjang hijau dengan tampilan bak putri tersebut menetapkan hati untuk mendengar kembali suara Ryeowook. Medesah berkali-kali sembari menggenggam ponselnya. Dan berkali-kali pula bibir mungilnya berlafaz Istighfar, mencoba menenangkan. Akhirnya, dengan sekali sentuh suara yang teramat dirindukan itu menggema, walau sendu.

“Choi Jae in….”

Hening. Jae in hanya bisa mengatup erat bibirnya, bertahan untuk tak terisak.

“Apa kau bahagia?” tanya Ryeowook lagi. Suara serak Ryeowook semakin menohok ulu hatinya. Ada getaran-getaran sakit dan rindu mengalun.

“Aku tak akan memafkan diriku sendiri jika kau menderita.” Bibir Ryeowook berkedut kala melontarkan kalimat-kalimat itu. Jae in, gadis itu terpengkur pedih di seberang sana. Air matanya menetes pelan. Jatuh perlahan-lahan namun teramat sakit.

“Aku—”

“Kim Ryeowook….” Jae in menyergah kalimat Ryeowook dengan satu kata telak.

“Jangan berbicara. Hatiku masih terlalu sakit jika kau berbicara hanya untuk meminta maaf,” balas Ryeowook lirih. Ia merunduk dan kian menekan punggungnya pada sisi mobil. Takut kalau-kalau tubuhnya tumbang.

“Terima kasih telah memperlihatkan dunia yang elok padaku. Maaf telah membuatmu menunggu terlalu lama hanya untuk menunggu takdirku. Dan ternyata ini-lah takdirnya.” Bohong! Lelaki itu tak akan pernah bisa menerima takdir yang bahkan belum titik akhir perjuangannya.

Jae in hanya bisa membalas dengan air mata diam.

Tubuh Ryeowook lemas, tanpa tenaga. Ia meringsut pelan dengan tetesan-tetesan air mata. “Dan bodohnya, aku baru menyadari jika aku mencintaimu karena keyakinanmu.” Ponsel Ryeowook terlepas. Tangan putih itu merapuh terkuras habis. Jatuh perlahan.

Ia mendongak langit biru tanpa memunculkan mentari itu. Menarik bibir, berusaha tersenyum sekuat yang dia bisa meski harus mengoyaknya. Tak ada isakan keras. Lupakan hujatan akan ketidakadilan. Yang tersisa, hanya air mata kristal yang tertumpah meski tanpa suara. “Buat dia bahagia, Tuhan. Aku ikhlas,” doa Ryeowook di sela tangisannya.

Gadis di sudut sana, akhirnya merapuh. Seperti kapal karam, ia lemah perlahan— tenggelam dalam air mata. Tangisannya tumpah tanpa bisa lagi bekap. Merelakan, samakah pengertiannya dengan keikhlasan? Jae in meratap dalam kamar yang harusnya menjadi surgawi dunianya. Dan kilasan-kilasan menyakitkan lagi-lagi menghalanginya untuk lari.

            ****

            Two Years Later

 

Pelita memancar nyengat. Awan seputih kapas, berarak penuh pada langit biru cerahnya. Tampak di sudut terdepan cafe shop, lelaki berjas coklat—berpenampilan santai tengah sibuk dengan Tab kecilnya. Kaca mata ber-frame hitam, senada dengan rambut legam lembut itu. Jari-jari lentik si pria menyentuh halus pada aplikasi nada musik pada Tab putihnya. Ya, Kim Ryeowook berubah menjadi musisi yang memulai dari awal sejak tahun-tahun ini.

“Kim Ryeowook, selamat siang,” sapa seorang pria bertubuh tegap menghentakkan kepala Ryeowook untuk mendongak.

Si pria tersenyum simpul. “Apa kabar?”

Ryeowook tersentak. Terlalu terkejut dengan sosok tampan di depannya. Sontak wajah Ryeowook mendatar dan tergambar kecut. Ia berdiri dengan tangan mengepal. Masih tersisa rasa pedih yang tergambar jelas cerita masa lalu.

“Sejak kapan kita menjadi akrab, tuan Lee Donghae?” sinis Ryeowook tanpa basa-basi.

“Untuk apa anda kemari? Apa yang terjadi dengan Jae in!”

 

 

 To be continued

13 thoughts on “Destiny, Miss Hijab ( The Last sequel) [part 4]

  1. hallo eonni..msih ingat ama ane eon hehehe..
    Kangeenn bca epep eonni..

    You are my favorit author eo hehehe

    Lnjut lgi dung eon

  2. Nyesek bacanya……

  3. anyeong~
    maaf baru comment…
    aku udah baca dari awal ff miss hijab ini.
    ffnya bagus dari awal, kenapa ndak dilanjutin?..
    sumpah sayang banget padahal aku baru pertama kali baca ff yang kaya’ gni keren….
    eon lanjutin dong ffnya…
    ditunggu ya ^-^

    • Hihihihi bakal dilanjut kok cuma masalahnya masih nimbang” akhirnya
      Ini ff salah satu kesayangan jdi gimana gitu wkwkk

      Terima kasih sudah membaca :3

  4. Eonni……. Next part nya lma??? Aku penasaran bnget sma jalan ceritanya?!!!!

  5. Jebalyo…. Eonnie Aku mohon… Cepatlah kau selesaikan cerita destiny…#maksa

    Aku gak bisa baca FF lain jika ini belum END… Jebaaaal… Eonnie

    • Seng sabar :v
      Ane belom bisa buat ini
      Banyak kendala dan gk mood
      Wkwkwkwk

      Terima kasih masih menunggu :))

      • Waaahh… Eonni… Ada kata gak mood sieee… Harapanku sepertinya gagal… Hmmm…

        Kalo nunggu mood nya 1 menit cukup gak???
        Kita pada gak sabaaaaaar…. Astagfirullah… ‘ala choi jae in’

      • Waaahh… Eonni… Ada kata gak mood sieee… Harapanku sepertinya gagal… Hmmm…

        Kalo nunggu mood nya 1 menit cukup gak???
        Kita pada gak sabaaaaaar…

Leave a comment