Sepasang sendal jepit

423989_168502149932149_1268623418_n.jpg_effected

Sepasang sendal jepit

Ini sudah bertahun-tahun lamanya dan aku melihatnya lagi. Melihat kakek tua tersebut masih dengan kondisi tak terganti satu titikpun. Dia tertatih dengan punggung bongkok dan pandangan kosong dipenuhi kesedihan. Berjalan mantap, tapi terlihat lelah. Raut wajah penuh keriput dan berdebu itu, tak pernah menggariskan senyum. Namun, dalam tatapan sayunya ia bersyukur. Bersyukur pada Sang Pencipta, Pemberi Nikmat tak terbatas. Pujian-pujian yang selalu ia kumandangkan dalam qolbu.

            Baju lusuh itu masih saja melekat, tak bosan dengan bau sangit debu yang menempel, menumpuk hingga memudarkan warna. Bahkan, rambut ikal yang biasanya hitam kini beralih warna coklat tebal dikelilingi helaian-helaian putih; uban.

            Apa yang dia fikirkan? Apa yang dia lakukan? Sungguh! Ingin sekali kuhadang tubuh rentanya dan bertanya tanpa titik koma. Dulu, bertahun-tahun yang lalu ketika tubuhku masih sependek kancil dan dengan wajah lugu, aku duduk melihatnya melalui kaca mobil transportasi umum berkarat. Dia dengan umur lebih dari 50-an dan aku dengan usia belasan. Dia dengan tubuh legam, kaki rapuh berjalan terseok-seok sejauh puluhan kilo meter. Sedangkan aku, kesekolah hanya berjarak dua kilometer bertubuh bugar menggunakan kendaraan. Disana, aku berfikir tentang kebodohan dan ketidakadilan.

            Pak tua bodoh! Uang transport hanya hitungan receh, untuk apa menyiksa kaki?

            Kemudian, semakin tubuhku tinggi, otakku membesar, perasaanku semakin peka, aku tersadar dari mimpi-mimpi seorang cinderella. Impian kanak-kanak nan bodoh. Melepaskan dongeng putri-putrian dan menatap realita. Recehan yang kusebut “hanya” itu terlampau ternilai. Benda “hanya” tersebut berlian untuk keluarganya. Logam yang berubah menjadi butiran beras kekuning-kuningan. Beras yang berganti menjadi nasi lembek yang bercampur dengan ampas padi. Hanya dengan hal itu, anak-anak penghuni rumahnya merekah senang. Bersusun rapi, bergiliran meminta jatah makan. Adilkah untuk mereka?

            Aku bercermin pada mata beriris kelabu samar tersebut.

            Bayang-banyang tentang nasib burukku, nyaris mengejek. Aku malu pada pak tua ini! Aku malu “mengumpat” Sang Pencipta hanya karena satu kolom hak istimewaku belum terisi.

            Siang ini, saat matahari perlahan lurus ke bumi, aku tertuju pada sepasang sendal jepit yang disanggah paku di lekukan jari lebarnya. Aku beralih memandang sendal ala wanita yang terkesan elegan yang menempel di kaki rampingku. Bahkan untuk membeli sepasang sendal jepit, ia lupa. Atau, tak terlintas rasa ingin? Sendal tua itu tak lebih dari sampah dimata orang-orang. Mungkin aku-pun berfikir layaknya mereka. Menjijikkan. Kotor. Bau.

            Tapi, lagi-lagi logisku menggaung. Itu hartanya. Itu benda mewahnya. Benda kotor dan selalu terinjak-injak tersebut, pelindung kaki berkuku hitam pak tua pemberani.

            Dapatkah perjalanan waktu berubah? Mengubah sendal jepit lusuh, kusam, tak ternilai tersebut menjadi sepasang sepatu mengkilap? Pak tua, terima kasih untuk pembelajaran menakjubkan yang kauberikan tanpa tersadar. Belajar melalui jalanan kota berdebu hanya dengan sepasang sendal jepit. Suatu saat nanti, aku berharap akan ada senyum di raut keriputmu. Satu waktu nanti, bergantilah menjadi pak tua ramah memakai baju bersih tanpa sobekan-sobekan.

            ***

            “Untuk pak tua yang tak pernah lelah berjalan bertumpu kaki rentanya.”

7 thoughts on “Sepasang sendal jepit

  1. like this…
    ane gk bisa berkata kata apa…

  2. baguusss banget, sampe terharu bacanya :’) keep writing author! 😀

  3. Kata2nya ngena bgt eon,
    Terharu jadi.a :~

Leave a comment