The fondest wishes [Part 2, End]

405651_655938044421921_1717121836_n.jpg_effected

The fondest wishes [Part 2, End]

Genre : Social, Romance

 Cast :

 -Song Eun Jo 

-Kim Jae Joong

Midnight Fairy’s Storyline

           “Maaf, Tuan—Maksud saya Kim Jae Joong-ssi, saya sedikit sibuk,” pamit Eun Jo dengan pipi yang berubah warna menyala merah.

            “Tuan tinggi! Jangan ganggu Eun Jo Noona. Dia akan menjadi calon istriku, Arasseo?”

            Jae Joong mendengus geli dengan pekikan polos Im Hyuk. “Hahah… Jinjja! Anak kecil ini—Aigoo!”

            “Kang Im Hyuk! Bagaimana bisa kau melamarku di depan dia?” Eun Jo berbisik dengan suara teramat sayup. Baik, hari ini bisa menjadi hari bersejarah dalam hidup Song Eun Jo. Keajaiban yang bertubi-tubi dalam putaran waktu sejenak.

            “Maaf, aku pergi dulu Jae Joong-ssi,” lontar Eun Jo menunduk hikmat dengan kuluman senyum. Ini sudah kedua kali Eun Jo berpamitan. Ia berusaha menampakkan seanggun mungkin sikap, meskipun Jae Joong bahkan Im Hyuk sendiri melihat seperti permainan opera menggelikan.

            “Nde, sampai jumpa lagi Eun jo-ssi,” balas Jae Joong ramah. Rekahan senyum yang bisa membuat seluruh gadis di dekatnya mati kehausan, terlalu panas akan gejolak yang teramat menggebu.

            Demi apapun! Eun jo mati-matian menenangkan tubuhnya untuk tidak bergetar. Mungkin Im Hyuk sedari tadi yang menatap wajah merona Eun Jo, merasakan kursi rodanya terjadi guncangan kecil.

            ****

            “Sampai jumpa lagi! Nanti aku akan kembali,” seru Eun Jo berpamitan pada para bocah berwajah putih di ruangan itu. Guratan yang tadinya ceria kini berubah sendu. Entahlah, mungkin anak-anak dapat merasakan ketulusan dari Eun Jo yang bisa membuat mereka lebih bersemangat.

            Eun jo mengusap pelan punggung kecil Jeni. Menenangkan tubuh Jeni yang bertambah rapuh seraya berkata, “Jeni-ya, kenapa menangis? Eonnie akan kembali dan bermain lagi bersama kalian.”

            “Tapi, itu akan lama.”

            “Hei, di sini ‘kan ada teman-teman lain.”

            Jeni mendongak dan memandang sekitar pada teman-teman lain yang berusaha tersenyum.

            “Jangan menangis, ne? Seorang putri tidak suka menangis,” ucap Eun Jo menenangkan. “Eonni juga harus bertemu dengan teman-teman yang lainnya. Suatu saat, Eonnie bawa kalian bertemu mereka.”

            Jeni mengangguk setuju. Menggariskan senyum lebar yang elok. Sampai saat ini, Eun jo dan orang-orang yang mencintai mereka mungkin teramat takut akan kehilangan garis bibir itu.

            Tubuh jenjang Eun Jo melintas anggun di lorong bernuansa putih itu. Melebarkan bibir hingga membuat gigi putihnya terlihat. Perasaannya benar-benar merekah hari ini. Apalagi kalau bukan kejutan hebat dalam hitungan waktu. Dimulai dari pertemuan dengan para bocah yang memiliki impian setinggi bintang, sampai merasakan tubuh si flower boy-nya dalam jarak paling dekat dalam hidup Eun Jo. Tiap orang yang berlalu di hadapan Eun Jo pasti mengira gadis itu mendapatkan jackpot besar.

            Ia menggerakkan bibir; bersenandung tak seirama. Jika saja ini bukan tempat umum, mungkin gadis bermata almond tersebut sudah menari, menghentakkan kaki jenjangnya seperti penari samba.

            “Sepertinya kau sangat bahagia, Song Eun jo-ssi,” seru seseorang di balik bangku Rumah sakit.

            Eun Jo melonjak kaget. Membulatkan mata seraya menggapai area leher. “Kim Jae Joong! Sed— ”

            “Menunggu seseorang,” jawab Jae joong menyela. Ia berdiri menghadap Eun Jo dengan seringaian. Sedikit merasa lucu dengan polah gadis di depannya.

            “Hum… kalau begitu aku duluan, ne?” Eun Jo merunduk sembari menggaruk kecil leher yang  tertutupi rambut panjang legamnya.

            Tidak… tidak… itu hanya kebohongan besar yang keluar dari bibir Eun Jo. Hati kecilnya tak pernah letih berteriak gempita, mencoba menarik tubuh tak berkawan itu untuk terus berdekatan dengan pria pencurinya. Dan lagi-lagi, itu hanya ironi yang harus disesali ketika tubuhnya telah menjauh dari sosok tampan Kim Jae Joong.

            Ia mendengus menyesal telah melewatkan kesempatan langka. Bodoh karena berubah menjadi gadis ‘jual mahal’ dan wanita aneh bertopeng keluguan. Langkah kaki Eun Jo sangat pelan seolah berjalan di atas pasir hidup. Berharap ada suara berat menghentikannya.

            “Kau tidak bertanya siapa orang itu Eun Jo-ssi?”

            Eun Jo terkesiap. Terkejut jika wajah putih itu sudah ada di sebelah. Detik demi detik berlalu dengan rona datar Eun Jo tanpa suara. Organ pernafasannya bahkan bisa berleha-leha dengan wangi khas Jae joong.

            “Aigoo! Ternyata ini kebiasaanmu,” gurau Jae Joong. Ia tak bisa menahan kekehan suara tiap kali mendapati wajah kejut bercampur ngeri Eun Jo.

            Eun Jo sontak tersadar. Wajah bersemu merah lagi-lagi nampak, menambah kecantikan. “Akh, Jinjja! Aku bisa gila!” runtuk Eun Jo yang hanya bisa didengar oleh telinganya.

            Eun Jo mengatur suara, balik memandang pria di sebelahnya. “Ehem! Jadi, kau menunggu siapa Jae Joong-ssi?”

            Jae Joong terkekeh. Entahlah, tiba-tiba ia menyukai ekspressi memerah itu. “Menunggu tetanggaku,” kata Jae joong dengan nada amat tenang. Eun Jo lantas tercekat ketika aroma mint nafas Jae joong menyeruak masuk ke tenggorokannya. Tanpa sadar, kedua mata sialan itu tertutup—menikmati wangi istimewa Jae Joong. Dan Eun Jo terpesona lagi.

            “Kau tetanggaku,” sela Jae Joong yang sukses membuat mata Eun Jo terbuka cepat dan melebar.

            “Mwo!”

            Kali ini tawa Jae Joong menggema. “Bukankah kita bertetangga dalam ruang lingkup pekerjaan?” Jae joong lantas meninggalkan Eun Jo. Membiarkan tubuh Eun jo membatu di sana disertai deguban jantung yang melonjak.

            Eun jo sedikit berlari kecil, mencoba menjajarkan langkah mereka seraya bergumam, “Song Eun Jo, tenangkan dirimu. Jangan bersikap konyol.” Ia berbicara menenangkan diri sendiri. Eun Jo bisa melihat punggung lebar Jae Joong. Bagian terseksi setelah wajah pria itu. Sungguh! Fikiran-fikiran tentang berapa banyak gadis yang berebut untuk menggapai punggungnya melayang melewati otak belakang Eun Jo.

            “Bagaimana kau bisa tau namaku, Jae Joong-ssi?” Eun Jo menoleh sekilas kemudian kembali merunduk. Ia takut bertemu mata dengan Jae joong. Jika hal itu terjadi, Eun jo tak tahu lagi bagaimana cara mengendalikan wajah kurang ajarnya yang mengalami perubahan drastis, dan bisa menurunkan harga diri di depan orang yang selalu ia elu-elukan.

            Jae joong masih menatap lurus. Menatap dinding-dinding kaca tebal yang memenuhi rumah sakit. “Cho Eun Ri. Dia pelanggan tetap di cafe dan sama sekali tak pernah absen pada akhir pekan.”

            “Ugh!” Eun jo menegang dan sentak berhenti tepat di depan pintu otomatis Korea Cancer Centre Hospital. Ia berdesis geram, “Astaga! Bocah itu.” Bola mata berbintik hitam Eun jo berputar.

            Mendengar suara lengkingan kaget Eun jo, Jae joong berhenti dan berbalik menghadap gadis bermuka tak mengerti di sebelah.

            “Dengarkan aku, Kim Jae joong-ssi. Apapun yang Eun ri katakan, jangan percaya! Kau tau, bocah itu selalu saja bergumam dan menyimpan hal bodoh di bawah pipinya,” lontar Eun Jo seraya meliuk-liukkan tangannya hingga membentuk ekspressi yang membuat Jae Joong mengernyit.

            “Pipi… pipi… Dia punya pipi yang sebesar ini!” Eun jo membuka telapak tangan dan melebarkan di sekitar pipinya.

            Jae Joong tertawa lebar. Ia baru tau jika gadis itu bisa sedikit melucu. Lantas, kembali berjalan melewati pintu kaca otomatis dengan senyuman. Eun jo sedikit kewalahan menyamakan langkah kaki Jae joong. Meskipun tubuh Eun Jo jenjang, tapi gerakan kaki pria susu itu lebih lebar dari yang dibayangkan.

            “Lebih baik kau jangan dengarkan bocah itu. Anggap ia mabuk, ne?”

            Jae joong sentak berhenti berjalan. Memandang tanaman rimbun dan para pasien yang berlalu-lalang menikmati taman kecil rumah sakit.

            “Jadi, perkataan Eun ri tentang kau yang selalu memperhatikanku juga tak bisa dipercaya?” Jae Joong berpaling menghadap Eun Jo dengan senyuman. Tatapan tegas namun lembut berhasil membuat Eun jo menenggak ludah canggung.

            Eun Jo sontak mundur satu langkah, terlalu kaget dengan pertanyaan gila Jae Joong. “Mwo! Bagaimana bisa kau—” Eun Jo menghembuskan nafas berat. Baik, ini sudah terjadi. Tak ada pilihan lain, dan rasa malu sudah terlanjur menyeruak. Eun jo telah memutuskan untuk membuka aib sang penguntit itu. “Bocah mesum itu benar-benar menyebalkan,” eram Eun Jo.

            “Nde, nde! Itu benar. Lagipula, siapa yang tidak memperhatikanmu jika terus-terusan berdiri di depan pintu cafe? Maaf , jika kau tak suka.”

            “Tidak… aku menyukainya. Itu manis,” ucap Jae joong dengan senyum simpul yang mematikan. “Aku tidak menyangka jika ada yang memperhatikanku.”

            Oh, Tuhan! Dia tidak pernah menyangka? Orang ini lugu atau berhati beku, hingga tak pernah menyangka terlalu banyak manusia yang memperhatikannya! Pembual, batin Eun jo gemas. Ia benar-benar tak mempercayaai narasi Jae joong.

            “Kau mau duduk atau hanya berdiri menghalangi orang lewat, Eun jo-ssi?” Jae Joong melenggang lagi ke bangku tak jauh dari mereka. Tempat duduk yang menghadap langsung pada tugu besi di tengah taman rumah sakit. Tugu yang mirip dengan pita sebagai simbol kepedulian terhadap pasien kanker.

            Tanpa disadari, Eun jo mengekor pada tapak Jae Joong. Namun, ia sempat ragu untuk duduk bersebelahan langsung dengan lelaki impiannya. Dalam hati, berkali-kali Eun jo terus bersumpah, jika ini hanya mimpi ia rela menjadi gadis pemimpi meski harus mendapat umpatan otaknya sendiri.

            “Aku sudah menunggumu, Eun jo-ssi. Jadi, tak ada perkataan untuk berpamitan.”

            Eun Jo akhirnya tertawa dengan dengusan, mendengar lelucon Jae joong. Ia duduk tenang tanpa menatap ke sebelah. Tapi, lagi-lagi mata kurang ajarnya tak pernah menurut barang sedikit saja perintah otak. Bola mata Eun jo perlahan beradu dengan sudut mata; berusaha mencuri pandang. Memandang maha karya Tuhan yang teramat indah di indera penglihatannya.

            “Ngomong-ngomong, kau sedang apa di sini, Jae joong-ssi?” Eun jo memecah keheningan, mencoba membuat sikap konyolnya tadi menjadi normal.

            “Menjenguk seseorang,” balas Jae joong sembari menatap langit biru. “Kau gadis yang menakjubkan, Song Eun jo. Tidak banyak orang sepertimu.” Jae joong tersenyum amat manis, menampakkan jejeran gigi putihnya. Eun Jo terpana akan perkataan halus Jae Joong. Sejak kapan Jae Joong memperhatikannya?

            “Kau melihat apa yang kulakukan di rumah sakit tadi?”

            “Huum…” Jae Joong mengiyakan tanpa anggukan. “Mereka beruntung bertemu orang sepertimu, Eun Jo-ssi. Sangat jarang gadis yang merelakan waktu untuk menyenangkan hati anak-anak.”

            “Kau salah Kim Jae Joong. Aku yang beruntung menemukan anak-anak hebat seperti mereka. Mereka terlalu istimewa hingga air mataku tak ada apa-apanya  dibanding senyum kecil itu. Kau tau, aku seperti menemukan oase di padang tandus. Menurut orang lain, mereka punya keterbatasan. Namun, untukku dan orang-orang yang mencintai meraka, anak-anak itu tak berbatas. Terbang meski tanpa sayap,” lontar Eun Jo seraya ikut menatap arakan putih awan dan teduhnya biru langit. Semua kecanggungan lenyap dalam sekali hentakan saat ia membicarakan para bocah ajaib itu. Hanya ada senyuman bahagia yang terlukis di wajah Eun Jo.

            “Sepertinya akulah yang paling beruntung di sini, bisa bertemu dengan kalian,” gumam Jae Joong. Eun Jo yang tak mendengar gumaman halus Jae Joong, hanya ingin menikmati keindahan langit Seoul. Memandang pergerakan dedaunan hijau yang terhembus angin sejuk.

            ****

            Satu minggu setelah pertemuan Jae Joong dan Eun Jo di Rumah sakit, tak ada lagi tegur sapa yang berarti. Semua kembali pada titik nol. Kembali pada tempat dimana Eun Jo menjadi stalker Jae Joong dari jauh. Selama tujuh hari, Eun Jo menggumam tentang ‘Apa Kim Jae Joong melupakannya? Apa pertemuan kemarin tak ada artinya?’ dan segala pertanyaan konyol yang menyangkut Jae Joong lagi-lagi beranak-pinak hingga membuat kepala Eun Jo memberat. Sampai-sampai, Eun Ri yang biasa menjadi pengganggu berubah terganggu akan pertanyaan-pertanyaan memusingkan dari Eun Jo.

            “Song Eun Jo! Sampai kapan kau terus ‘menarik kakiku’ seperti ini? Aku bilang aku tak tahu tentang Kim Jae Joong!” dengus Eun Ri kesal.

            Eun Jo tak berkutik dan terus memberi tatapan mengemis.

            “Jinjja! Tatapan gadis kurang kasih sayangmu tak akan mempengaruhiku.”

            “Ayolah… Apa dia berkata sesuatu tentang aku? Pasti ada ‘kan?” Eun Jo menarik lengan baju Eun Ri hingga membuat gadis itu geram dan menepisnya.

            “Lagipula, untuk apa kau menceritakan tentang aku padanya, ohk! Kau benar-benar membuatku sakit jiwa, Cho Eun Ri. Aku malu setengah mati karena ulahmu.”

            “Itu pembalasan karena kau selalu mengejekku gadis mesum, hahahaha!” Eun Ri tertawa lebar. Berlari secepat yang ia bisa. Takut kalau-kalau buku-buku di rak melayang tepat ke wajahnya.

            Mata Eun Jo membulat dengan gigitan gemas bibirnya. Jika saja ini bukan tempat bekerja, mungkin gadis yang jauh lebih pendek darinya itu sudah menjadi santapan kaki Eun Jo. “Yak! Eun Ri-ya!” Eun Jo memekik sebal memecah bising tawa lebar Eun Ri.

            “Ternyata suasana toko kalian seperti ini. Tidak hanya penuh buku tapi penuh pekikan.” Tanpa mereka sadari, Jae joong berdiri mengamati setiap detail toko dengan wajah datar. Mengedarkan pandangan seolah menemukan dunia baru.

            Eun jo terkesiap. Dengan cepat membalik badan dan sontak ternganga. Apa ini keberuntungan? Kim Jae joong dengan wajah tampan tanpa cacat itu menginjakkan kaki di sana.

            “Jae Joong-ssi, tadi Eun jo—” Belum sempat Eun ri meneruskan perkataan, bibir gadis itu telah dikunci dengan kepalan tangan Eun Jo. Ada sedikit rasa was-was jika mulut besar Eun Ri bisa menurunkan harga dirinya lagi di depan Jae Joong.

            “Ada yang bisa dibantu Kim Jae Joong?” Eun Jo melepas Eun Ri dan menyikutnya pelan. Memberi pertanda untuk menyingkir dari hadapan mereka.

            Eun ri mendegus sebal. Tapi, tetap mengikuti perintah kode Eun Jo meskipun disertai lambaian dan kerlingan pada Jae Joong.

            “Tidak ada. Bukankah ini waktunya kau pulang, Song Eun Jo? Aku ingin mengajakmu ke suatu tempat,” ucap Jae Joong santai. Tangan dengan jari-jari panjang itu dengan tenang memasuki saku. Semakin terlihat gaya maskulin yang membuat gadis-gadis gila termasuk Eun Jo.

            Eun Jo hanya bisa menenggak ludah tak percaya. Hal ini terlalu menakjubkan dan mengejutkan. Lelaki yang tak bisa ditebak. Lelaki yang tak bisa ditolak.

            ___

             “Ini rumah siapa, Jae Joong-ssi?” Eun Jo menyipit tak mengerti tatkala Jae Joong berhenti di area pemukiman sederhana. Dalam fikirannya, Eun Jo berharap pria putih susu itu mengajaknya untuk bermain ice skating, atau makan bulgogi dengan suasana nyaman bersama. Hal-hal kecil namun terkesan romantis. Tapi, perkiraan itu lantas runtuh saat Jae Joong berjalan ke arah yang berlawanan. Sebuah rumah sederhana yang dihinggapi suasana kental keluarga serta pekikan ceria anak-anak.

            “Kajja! Kau pasti akan senang.” Kata-kata misterius sama seperti tatapan Jae joong yang penuh rahasia.

            Semakin Eun Jo mengenal Jae joong, semakin ketidakmengerti  akan peragai pria itu. Tanpa banyak tanya lagi, Eun Jo tetap mengikuti perintah lembut Jae Joong.

            Tapi, semua ketidakmengertian Eun Jo berhenti dan berubah menjadi tatapan haru. Sosok kecil berjalan tergopoh-gopoh riang dengan senyum merekah. Dahi lebar dan rambut tipis itu terayun seirama hembusan angin saat sang bocah berlari mendekati Jae joong.

            “Kim Jae Joong, bagaimana kau—” Eun jo mengatup mulutnya cepat. Hatinya berdesir. Terlalu terharu dengan hadiah indah yang dipertunjukan Jae Joong untuknya. Ini lebih berarti dari sebuah berlian! Ini lebih bermakna dari seribu kata cinta sekaligus!

            “Hyung! Kau datang lagi?” Seorang anak tanpa lengan tersenyum penuh semangat menghadap Jae Joong. Tanpa beban, tanpa sinar mata pengharapan iba.

            Tanpa tersadar, mata Eun jo perlahan tergenang. Sebuah tetesan kasih mengalir ringan di pipi Eun Jo. Ia ingin menangis, tapi  bukan untuk tangisan kasihan. Anak itu terlalu kuat untuk sebuah tanda kasihan tak bergunanya. Eun jo hanya menangis karena bangga bisa bertemu dengan sang bocah malaikat, Tae Ho.

            Eun Jo berlutut menghadap Tae Ho yang masih memberikan wajah ramahnya. “Siapa namamu, sayang?” Eun Jo bertanya dengan membelai lembut rambut tipis Tae Ho. Dengan mata yang telah basah, Eun Jo terus saja menatap penuh kasih Tae Ho. Tak beralih sedikitpun dari sosok kecil tanpa jari-jari itu.

            “Tae Ho!” jawab Tae Ho semangat. Anak berusia 11 tahun itu mengernyit kala memandang air mata Eun jo yang menetes. “Noona jangan menangis. Jika kau menangis, kebaikanmu dihari ini akan hilang. Aku saja tak suka menangis!”

            Tapi, air mata Eu Jo malah semakin deras mendengar perkataan polos Tae Ho. “Tidak, aku menangis bukan karena sedih. Aku menangis karena terlalu senang bertemu satu kebaikan yang hebat hari ini.” Eun Jo menyeka air mata cepat seraya tersenyum lebar.

            “Benarkah? Kebaikan apa? Bisa kau beritahu aku, aku juga ingin punya kebaikan seperti itu,” tanggap Tae Ho riang. Ia berlonjak senang saat tau hal-hal impiannya ada. Satu impian itu, hanya menanamkan banyak kebaikan untuk semua.

            Eun jo menggeleng pelan, “Tidak, hal itu sangat dekat. Itu di sini.” Eun jo menunjuk pelan dada kurus Tae Ho. “Hatimu.”

            “Ohk?” Tae Ho memiringkan kepala tak mengerti.

            “Hei! Supermen, apa namamu hanya Tae Ho?” Jae Joong ikut berlutut dan mensejajarkan tubuh pada Tae Ho.

            “Hum!” Tae Ho mengangguk mantap. “Aku tak punya marga. Aku tidak tau siapa ayah dan ibuku. Nanti, aku pasti punya marga!”

            “Pasti, Tae Ho, pasti!” Eun Jo menyela ikut bersemangat seraya mengusap punggung hangat Tae Ho.

            Dan saat itu, Jae Joong terdiam. Entahlah, ada rasa bangga dan terpesona akan senyuman tulus Eun Jo. Ia terus menelisik dalam melalui mata yang telah memerah itu. Mata jernih penuh ketulusan.

            “Kim Jae Joong, terima kasih!” Eon jo dan Jae Joong kembali berdiri saat Tae Ho beralih ke teman-teman lain. “Entah aku harus berapa kali mengucapkan rasa terima kasihku karena telah mempertemukan pada malaikat-malaikat kecil seperti mereka.” Eun Jo menatap takjub Tae ho bersama teman-teman lain di dalam panti asuhan

            “Aku yang harusnya berterima kasih, Eon Jo-ssi.”

            Eun Jo menatap dengan senyuman wajah Jae Joong. Pria misterius itu tak pernah sekalipun bosan untuk ditatap walau beribu kali.

            “Kim Jae Joong, seperti Im Hyuk, Jeni, Tae Ho dan anak-anak ajaib lain, aku juga punya impian yang indah untuk mereka.”

            Jae Joong berpaling menghadap wajah keyakinan Eun Jo.

            “Aku akan melindungi anak-anak itu dengan caraku. UNICEF. Aku pasti bisa menjadi salah satu volunteer. Bertemu dengan keajaiban melalui mata indah mereka,” seru Eun Jo. Ia menatap takjub keceriaan Tae Ho. Memandang anak itu beraktifitas dengan menggunakan kaki kuatnya. Makan, membuka kancing, hingga hal-hal yang tak bisa di lakukan orang kebanyakan. Sungguh! Permata bukan hanya ada di dalam lapisan bumi, melainkan lapisan tubuh ajaib itu.

            “Song Eun Jo, berapa umurmu?” tanya Jae Joong tak seirama dengan pernyataan Eun Jo tadi. Ia masih memandang kagum wajah berbinar Eun Jo.

            “18 tahun,” balas Eun Jo tanpa menatap balik Jae Joong.

            Jae Joong tersenyum. Ia berdiri di depan Eun Jo dan menggapai lembut kepala yang berhiaskan rambut legamnya.

            “Bocah! Aku akan menunggumu hingga 2 tahun lagi. Untuk saat ini, kau harus lebih pintar dari sekarang. Kemudian kau bisa menjadi volunteer tercantik. Saat itu aku akan menjadi priamu. Hanya aku, Arraseo!”

            Eun Jo tercenung; bingung. “M…MWO!” Eun Jo tersadar dan berteriak histeris mengalahkan pekikan anak-anak panti.

            Bibir Jae Joong merekah lebar. Ia meninggalkan Eun Jo yang masih berkutat dengan pertanyaan, desiran, keterkejutan dan bibir menganganya.

            “Satu lagi, pintar-pintarlah menyembuyikan perasaan,” teriak Jae joong di sela tapakan santainya.

            Eun jo yang terkesiap, lantas tersadar dan sedikit berlari mengejar Jae joong. Tidak terima akan racauan gila Jae joong untuk dirinya. “Yak! Kim Jae Joong! Jelaskan dulu maksudmu!” balas Eun Jo yang terus berusaha menggapai Jae Joong tanpa berani menyentuh. Dan ia masih di posisi pengagum Jae Joong saat ini, meski asa itu telah terbuka.

            *END*

9 thoughts on “The fondest wishes [Part 2, End]

  1. lagiii lagii lagiii kkkkkkk~

  2. kereeennnn….. waw banget dehhh.. 😀 sukses yaaa..

  3. Annyeong thor 🙂 aku reader bru dsini! Salam kenal 🙂

    ahh aku suka banget sama ff ini. Bahasanya enak(?), mdh dmengerti. Feelnya dapet. Daebakk pokoknya !

  4. Annyeong,saya reader bru disini,saya suka ff ini,boleh request sequel gak thor? =D

  5. Untuk sekuel ini, ffnya udh dibuat ama orang lain ^^

Leave a comment