The Fondest Wishes [Part1]

405651_655938044421921_1717121836_n.jpg_effected

The Fondest Wishes

Midnight Fairy’s Story line

Lenght  : Twoshoot

Ratting : General

Genre    : Social, Romance

Cast      : 

  • Song Eun Jo
  • Kim Jae Joong

This fanfiction is original story of mine. The cast belongs to themselves.

Happy Reading !

–          Mereka, sosok-sosok berkaki kecil tak pernah lelah melangkah, meski terseok…

Mereka, bermata cekung, menelisik dunia dengan pandangan sejernih malaikat…

 Mereka, sang malaikat kecil yang membentangkan sayap mungilnya, berusaha menembus cakrawala…

Dan mimpiku adalah terbang bersama mereka… –

 

Story begins_

 

            Alunan lembut irama violin, menemani senyap ruang yang penuh dengan jejeran rak. Ribuan buku tersusun rapi tanpa celah, mengisi tiap longgar tempat-nya. Satu per satu orang-orang memasuki daerah itu dengan rona ingin tau. Mengamati tumpukan buku dengan tatapan intens, dan meraihnya. Membolak-balik kertas berjilid warna-warni yang terlindung plastik putih tersebut dengan antusias. Dan terkadang, mereka hanya menyentuh sekilas dan pergi ke area lain.

            Di sisi lain, si penjaga Kyobo Book Shop hanya tersenyum ramah mempersilakan para pengunjung melalui meja counter-nya.  Menyapa selamat pagi, siang, sore dan malam hingga rahang terasa kaku. Tak peduli tentang balasan sapaan, pengabaian atau tatapan malas pengunjung. Menurutnya, hal itu adalah daya tarik dan ciri khas Kyobo Book Shop tempatnya bekerja.

            Song Eun jo, gadis penjaga toko buku itu terlihat sibuk dengan catatan pembukuan yang sedikit merepotkan. Menghitung berapa banyak keuntungan dalam sebulan. Perhitungan yang mempertaruhkan berapa banyak pula ia bisa membeli daging untuk bulan ini.

            “Hah… Sepertinya aku harus kembali makan kimchi tanpa daging.” Eun jo mendesah pasrah saat angka-angka yang tertera tak sesuai harapan; tanpa bonus. Selalu terngiang motto ‘Semakin banyak buku yang terjual, lembaran won akan semakin terkumpul’. Sebaris kata-kata yang membuat gadis berambut panjang itu hanya bisa merunduk.

            Eun jo mendongak tatkala suara pintu toko terbuka—mendering. “Selamat siang,” sapa Eun jo ramah.  Seorang gadis berpakaian seragam, tersenyum dan merunduk menerima sapaan Eunjo.

            “Ada yang bisa dibantu, Agashi?” Tanya Eun Jo tatkala mendapati wajah bingung gadis itu seraya mengedarkan pandangan.

            Si gadis sekolah sontak memandang balik dan mendekat ke arah Eun Jo. “Aku mencari novel, Worth Any Prince. Apa di sini ada?”

            “Ah! Lisa Kleypas. Tempatnya ada di sudut kanan. Bersebelahan dengan jajaran Dvd disk.” Eun jo mengarahkan tangan ke sudut yang sedikit jauh dari jangkauan. “Jika tak keberatan, aku bisa mengantar.”

            “Anniyo, aku bisa sendiri,” tolaknya halus dengan gurat senyum. “Khamsahamnida.”

            “Cheonmaneyo. Buku yang bagus! Kau tak akan menyesal membelinya!” Eun jo  berteriak riang memecah lantunan musik jazz yang terdengar, saat pengunjung tersebut telah beranjak meninggalkannya.

            Gadis dengan tinggi 168 cm itu kembali mengedarkan pandangan, mencari siapa saja yang terlihat kesusahan. Meskipun masih ada karyawan lain, Eunjo bukan tipikan manusia yang hanya berdiam dan tak peduli. Tepat saat bola mata kecoklatannya melihat satu titik, Eun jo sentak menatap menggebu. Melihat pemandangan luar yang terbatasi kaca bening amat luas, dengan mata berbinar dan senyuman termanis. Seorang lelaki tampan berkulit putih susu berdiri dengan seringaian mempesona. Membukakan pintu cafe serta mempersilakan dengan gaya hikmat bagi pengunjung. Sungguh! Siapapun yang melihat, tak akan percaya jika ia hanya seorang pelayan biasa. Perawakan bak model yang membius mata gadis-gadis, tampilan tegap semampai yang mendecak kagum bibir para pria. Sempurna. Hanya satu kata yang bisa mendeskripsikan sosoknya. Bahkan, Eun jo si gadis toko buku tak luput dari bius tatapannya.

            “Apa dia tak lelah berdiri seperti itu?” Ucap Eun jo yang masih memantau gerak-gerik si pelayan tampan dengan lengkungan bibir merekah. “Aku berani bertaruh, sebagian besar pelanggan cafe adalah wanita dan hanya datang untuk melihatnya. Lagipula, kenapa orang itu tidak menjadi Idol? Kalau seperti ini, aku akan terganggu terus-menerus,” gumam Eun jo tak beraturan, seolah berkumur dengan suara yang hanya bisa ditangkup oleh cupingnya sendiri.

            “Song Eun Jo! Matamu bisa berjatuhan satu-per-satu jika terus menatapnya seperti itu. Iss! Semakin lama, aku merasa kau ingin menelanjangi baju Kim Jae Joong.” Suara  pekerja lain, sentak membuat fikiran Eun jo membuyar.

            Eun Jo mendelik, mendengus kesal pada temannya. “Dasar otak mesum! Aku tidak melihatnya. Aku melihat butik di sebelah cafe itu,” tampik Eun Jo seraya duduk dan bersandar kasar pada punggung kursi. Memutar-mutar pena di depan wajah.

            “Pembohong besar. Tiga tahun, kau hanya duduk di sini dan memperhatikan tiap lekuk tubuhnya. Oh, Tuhan! Bukankah namja itu sangat sexy?”

            “Hei! Kau itu masih anak kecil, Cho Eun Ri. Apa yang kau tau tentang sexy!” Eun Jo sontak berdiri dan memukul pelan lengan gempal Eunri.

            Gadis itu meringis, merasa pedih mendapati hadiah akibat ucapan sembarangnya. “Dasar Ahjumma cerewet. Aku heran, kenapa nama kami hampir sama? Aku benci orang-orang menganggapku kembar dengan gadis tukang pukul ini.” Eun Ri berlalu seraya mengusap pelan lengan yang telah berubah merah. Sedangkan Eun Jo, hanya menghela nafas menghadapi gadis kecil, teman sekerjanya.

            Eun Jo kembali menatap lelaki di seberang. Memikirkan kata-kata Eun Ri yang terngiang, memutar di otak. “Tapi, dia memang sexy.” Ia terkekeh lucu sembari menopang dagu. Menyaksikan pahatan hidup yang berdiri di ambang pintu.

            “Kapan aku bisa menatap wajahmu secara langsung, Kim Jae Joong-ssi?” Eun Jo mendesah berat memikirkan hal-hal konyol yang tak akan tercapai. Berkenalan dengan flower boy seperti Jae Joong? Bahkan untuk berdiri satu tempat dengannya, Eun Jo seolah terpasung. Tak bisa lari ataupun berteriak gempita. Terlalu konyol memang. Tapi, bukankah setiap orang pasti mempunyai ‘penguntit’ manis? Penguntit yang hanya bisa menatap dari jarak puluhan meter. Tiga tahun, perputaran waktu yang lama tanpa basa-basi, say hay! atau siapa namamu? Semua tentang lelaki itu, hanya bisa ia tau dengan menajamkan telinga pada sekitar. Mendengar bisik-bisik tentang Kim Jae Joong dari pengunjung toko-nya yang ikut terkesima oleh tubuh nyaris sempurna itu.

            Eun Jo menggeleng pelan. Mengusir khayalan aneh sembari menggumam, “Tidak… tidak… Jangan memikirkan hal-hal yang tak penting, Song  Eun Jo. Lebih baik kau fokus pada anak-anak.” Gadis itu pergi dari meja Counter dan menghampiri area pembelajaran anak-anak; meraih beberapa majalah bergambar.

            “Lebih baik besok aku mengajak mereka mewarnai,” ujarnya masih membuka tiap lembar buku bergambar.

****

            @Korea Cancer Centre Hospital, Seoul, South Korea

 

           

            Lorong-lorong panjang serta hening, lantas saja  menggema tatkala langkah kaki Eun Jo terdengar. Hanya ada para suster dan dokter yang berjalan dengan wajah serius seraya membaca catatan kesehatan para pasien. Eun Jo membenahi letak kaca matanya ketika membaca satu-per-satu door tag hingga sampai ke ruangan perawatan khusus  anak–anak Kanker di lantai 3 rumah sakit. Ruangan khusus yang dibangun atas kerja sama Make A Wish Foundation dan Korea Cancer Centre Hospital.

            Ya, Gadis bermata coklat dengan rambut panjang terurai itu salah satu relawan suatu Yayasan kemanusiaan, Seung il. Orang yang merelakan waktu dan tenaga untuk mewujudkan mimpi anak-anak yang mempunyai kekuatan luar biasa dalam menghadapi hidup. Salah satu manusia yang rela berletih-letihan hanya untuk melihat para bocah tersenyum riang meski dengan bibir pucat mereka. Masih jelas terngiang, kala Eunjo pertama kali menangis haru membaca story non fiksi seorang anak penderita kanker tulang belakang, Hope Stout, menyebutkan satu keinginannya. Impian yang tak pernah terfikirkan oleh anak lain di seluruh dunia. Ketika Hope ditanya apa keinginannya, bocah berusia 12 tahun itu balik bertanya, “Berapa anak yang menanti harapan terkabul?” Dan saat tim menyebut 115 orang, Hope lantas menyebut itu-lah keinginannya. Mengabulkan 115 harapan anak-anak lain. Satu impian tersebut mengangkup seratus lebih pengharapan indah. Dan saat itu, Eun Jo terpukau. Dengan mata yang telah basah, ia menetapkan impian sama seperti Hope Stout; merangkul anak-anak dengan caranya sendiri.

            Rona Eun Jo berseri saat memasuki ruangan bercat cerah dan dipenuhi gambar-gambar karakter cartoon mickey mouse, donald duck, berbie, doraemon. Suasana yang jauh dari kesan putih, beraroma antiseptik serta obat-obatan itu. Dengan satu tarikan nafas Eun Jo memekik riang, “Annyeong! Apa ada yang merindukan gadis cantik?” Ia melepas kaca mata seraya tersenyum lebar.

            Anak-anak yang terduduk dalam ruangan sontak berpaling menghadap Eun Jo dan berteriak, “Eonnie!” “Noona!” Suara serempak membuat Eun Jo tertawa.

            “Sepertinya kalian benar-benar merindukanku, eoh? Seloroh Eun Jo. Ia mendekati empat anak dalam ruangan tersebut. Menyimpan kaca mata dan memeluk satu-per-satu bocah berwajah pucat itu. Lengkung mata sayu yang semakin menghitam, tak mengusik keceriaan meraka. Lagi-lagi rasa haru Eun Jo tergelitik untuk menyamarkan pandangannya, tatkala satu anak dengan kursi roda menghampiri Eun Jo.

            “Eonnie kemana saja? Kami bosan di sini. Aku benci kemoterapi itu. Rambutku sudah hilang semua.” Ia merunduk dalam, menutupi kepedihan. Tidak! Gadis kecil itu bahkan berkata benci bukan sakit. Bisa saja dia menangis terisak saat menerima pengobatan menyakitkan itu. Tapi, mereka terlalu kuat! Mereka tak pernah ingin melihat orang terkasih ikut sakit karena tangisannya. Jangan pernah meremehkan kaki-kaki kecil itu.

            Eun Jo berlutut menyejajarkan tubuh. Membelai kasih kepala putih tanpa sehelai rambut yang tertutupi topi rajut. Eun Jo tersenyum dan berujar lembut, “Jeni-ya, kau tetap cantik. Kau ingat apa yang Eonni katakan dulu?”

            Jeni mengangguk pelan. Mereka berucap bersama, “Kecantikan datang dari hati. Semua gadis itu cantik, kecuali mereka yang tak punya hati.”

            “Lihat… Lihat… Bukankah kau nampak lebih cantik jika tersenyum seperti ini? Haiss! Aku mulai iri denganmu,” dengus Eun jo melucu. Jeni terkikik pelan mendengar candaan Eun Jo.

            “Eonni kita main apa hari ini?” Salah satu gadis berponi, bermata hijau menyela.

            Eun Jo tersadar dan sontak mengambil beberapa majalah dari tas. “Aku membawa majalah bergambar. Hye ri, bukankah kau bercita-cita menjadi pelukis? Sebelum itu, lebih baik kita memulai dari hal kecil. Crayon-crayon!”

            Eon Jo membagikan majalah dan crayon kecil. “Ini untuk Jeni yang cantik, Hye ri yang mempesona, Im hyuk yang tampan, dan Kevin yang manis.” Tapi, anak bernama Im hyuk tak menggubris dan hanya menunduk acuh pada majalah bergambar. Menyentuh sekilas tanpa membukanya.

            Dahi Eun Jo mengernyit; bingung. Anak keturunan Inggris-Korea, Kevin berbisik, “Sejak tadi, Im Hyuk hanya diam  tidak seperti biasanya.”

            “Kevin, kau mewarnai saja, ne? Noona akan memberikan misi pada Im Hyuk.” Eun Jo balik berbisik dengan nada mantap. Kevin menangguk pasti bak prajurit yang menerima komando dari sang jendral.

            Eun Jo menapak mendekati Im Hyuk. Menyingkirkan beberapa helai kertas dan Lego yang berserakan di lantai. Gadis berkaki indah itu tersenyum simpul mendapati coretan gambar di dekat im Hyuk.

            “Hei! Pangeran Im Hyuk. Noona punya satu misi untukmu. Apa kau mau menerima?” Eun Jo melipat tangan sembari duduk bersila di depan Im Hyuk.

            Bocah lelaki berumur 9 tahun itu tak mengguris dan hanya mendengus malas. Eun Jo tak peduli. Ia beralih berkutat dengan Lego-lego plastik di tangan. Berusaha membentuk semacam apa saja yang mungkin tak akan enak dipandang. Karya abstrak jauh dari kesan menakjubkan.

            “Wah! Ternyata aku punya bakat membuat motor! Sepertinya aku harus berhenti bekerja di toko buku dan beralih menjadi pembalap.”

            Im Hyuk sentak memandang antusias pada kumpulan benda plastik berwarna-warni di tangan Eun Jo. Tapi, seketika dahinya berkerut sebal mendapati bentuk tersebut tak sesuai harapan.

            “Baiklah… baiklah… Noona memang tak punya bakat. Tapi, kau punya Hyuk-ah.”

            “Percuma, untuk apa bakat jika akhirnya aku tidak bisa meraihnya.”

            “Wae! Siapa yang berkata seperti itu? Itu bukan kata-kata dari pria sejati!”

            “Tidak Noona, itu bukan sekedar kata-kata. Tapi, garis takdir yang harus kuhadapi. Eomma selalu saja berkata, aku bisa seperti mereka. Mereka yang berdiri gagah di sirkuit dengan motor besar bersuara kasar. Dan setiap berkata seperti itu, mata Eomma basah. Itu artinya Eomma menangis ‘kan? Bukankah orang menangis karena sedih? Aku tidak akan bisa mencapai impian itu, Noona. Tidak untuk anak-anak seperti kami.”

            “Apa kau menyerah Hyuk-ie? Apa kau ingin menyerah pada penyakit dan takdir itu? Lihat teman-temanmu… Mereka juga punya impian, sama seperti yang lain. Tuhan menyayangi kita, Hyuk-ie. Eomma dan Appa-mu, menangis bukan karena sedih. Mereka bangga padamu! Sangat-teramat-bangga mempunyai anak yang kuat sepertimu. Noona juga terlalu bangga bisa mengenal kalian.” Eun Jo mengusap halus pipi gempal Im Hyuk.  “Tanpa sadar, kalian mengajarkanku tentang berartinya waktu dan mimpi.”

            Im Hyuk merunduk terdiam. Wajah yang semakin bulat nan pucat dengan cekung mata yang semakin menonjol itu berbinar. Meneteskan pelan pada sudut mata jernihnya. Ada perasaan takjub! Harapan itu nyata meski ia tak mengerti kapan dan bagaimana tangan kecilnya dapat menggapai. Im Hyuk hanya segelintir bocah yang nyaris menyerah pada waktu. Membiarkan gerhana memakan pelita mimpi-mimpi indah mereka. Bocah itu hanya satu di antara ribuan anak yang tak lelah menanti keajaiban takdir berputar. Mimpi mereka bukan khayalan konyol sebatas asa. Mimpi mereka adalah keajaiban Tuhan melalui tangan-tangan rapuh tanpa letih itu.

            Eun Jo mengangkat dagu Im Hyuk lembut. Mengusap air mata yang tertetes. “Kau tau Albert Einstein?” Im Hyuk mengangguk pelan, bersiap mendengar cerita Eun Jo yang selalu mengasyikkan bagi anak-anak.

            “Dia Ilmuwan hebat. Sangat populer dan terkenal! Tapi, masa kecilnya suram. Ketika umurnya seperti-mu, Einstein selalu dicap bodoh, idiot, authis oleh orang-orang. Bahkan ia pernah dipukul oleh guru-nya memakai ikat pinggang!” Im Hyuk mengernyit ngeri. Menenggak ludah dengan cepat; terlalu antusias.

            Si gadis pencerita itu tersenyum simpul mendapati ekspresi pendengarnya. “Tapi, ia tak pernah peduli. Tak pernah menyerah dan terus-terusan belajar dengan caranya sendiri. Dan akhirnya, ia bisa menjadi tokoh berpengaruh di dunia!” Ucap Eun Jo riang dengan tepukan tangan.

            “Jadi, apa yang dapat kita tangkap?”

            “Hmm… Hati-hati dengan ikat pinggang gurumu?”

            “Hahahaha! Kang Im Hyuk, kau benar-benar lucu.” Eun jo tertawa seraya mengacak pelan rambut Im hyuk. Bocah tersebut hanya merona malu mendapati perlakuan Eun Jo.

            Tapi, wajah Eun Jo sentak muram mendapati rambut Im Hyuk yang semakin runtuh. Rapuh meski hanya tertiup hembusan angin.

            “Noona, ngmong-ngmong misi yang kaubicarakan tadi apa?”

            Fikiran Eun jo lantas membuyar dan langsung tersenyum merekah. Ia mendekati wajah Im Hyuk, dan mendesis dengan telunjuk di bibir. “Ini hanya antara kau dan Noona. Are You Ready to Fly?!” Pekik Eun Jo mantap yang diikuti anggukan bingung Im Hyuk.

____

            “Hiaaa! Permisi… permisi…” Eun Jo memekik riang disertai suara tawa renyah Im Hyuk. Di lorong senyap itu, Eun Jo sedikit berlari dengan kursi roda yang membawa Im Hyuk seakan mengendarai sepeda motor di sirkuit. Meski ia tau apa akibat yang akan diterima, Eun Jo seolah tak peduli. Ia hanya ingin membuat impian bocah di depannya dapat merasakan sepoi angin dan berfantasy menjadi pembalap untuk sekarang.

            “Noona lebih cepat lagi!” Im Hyuk terus memaksa Eun jo yang telah diliputi sengalan nafas. Sedangkan anak di kursi roda, tetap memandang lurus serta menggenggam erat sisi kursi besi itu. Aroma khas rumah sakit sangat terasa menyengat tatkala ‘permainan pelarian’ di rumah sakit tersebut mengajak peranan angin yang telah bercampur hembusan dingin Air Conditioner.

            Bug!

 

            Eun Jo terjatuh ketika tak sadar seseorang di tikungan lorong Rumah sakit menabraknya. Seketika eratan Eun jo pada kursi roda terlepas; tersungkur pada lantai dingin itu.

            Eun Jo meringis sembari mengusap pangkal paha. “Yak! Apa kau tak bisa berhati-hati, ohk?” Ia mendongak geram. Tapi, seketika wajahnya terperangah. Entah terlalu kaget atau terlalu bingung mengeluarkan umpatan.

            “Kim Jae Joong-ssi…” desah Eun jo lamat.

            “Gwencahanayo, agashi?” Tanya Jae joong lembut seraya mengulurkan tangan jenjangnya ke arah wajah Eun Jo.

            Mati kutu! Eun jo seolah tergembok oleh nafas dan pandangannya sendiri. Pria yang 3 tahun hanya bisa ia tatap dari jarak puluhan meter, kini ada dengan jarak satu meter. Demi apapun! Jika saja dokter memeriksa detak jantung Eun Jo sekarang, gadis ini mungkin dikira mempunyai kelainan jantung koroner.

            Tak mengerti dengan tatapan ‘nafsu’ dan air muka datar Eun jo, Jae joong terus saja berkedip bingung dengan uluran tangan yang tergantung. Lagi-lagi Eun Jo terpesona hanya dengan pergerakan bulu mata panjang sang flower boy.

            “Noona!” Im hyuk berteriak, mengguncang tubuh Eun Jo.

            Eun jo seketika tersadar dari dimensi lain yang hanya ada suara, senyum, lirikan, dan tubuh semampai Jae joong. Tangan Jae joong yang masih terulur, lantas kembali tertarik saat Eun Jo berdiri tanpa memperdulikan sikap manis Jae joong. Terlalu malu-kah?

            “Kau tak apa-apa Hyuk-ie?” Lontar Eun jo sembari memeriksa tiap detail tubuh Im Hyuk yang berkostum baju kebesaran rumah sakit.

            “Hum..” Im Hyuk mengangguk pelan, lebih menatap pria tampan di depannya yang berkerut dahi menatap Eun Jo.

            Im Hyuk tanpa bersalah menunjuk ke arah Jae Joong, “Noona, kenapa orang ini melihat seperti itu?”

            Wajah Eun Jo sentak bersemu merah. Tak berani menatap balik pria tampan di belakang. Deguban serta tubuh yang tak seirama dengan otak, membuat Eun Jo nyaris menjadi gadis dungu di depan Jae Joong. “Kajja, kita kembali. Dokter pasti akan mencarimu.”

            Eun jo dengan sigap meraih kursi roda dan mendekatkan pada Im Hyuk. “Mianhamnida, kejadian tadi.” Dengan muka tertahan, Eun Jo merunduk melewati Jae joong.

            “Hei, gadis toko buku!”

            Kali ini, bukan hanya kepala yang tertunduk. Tapi, hati Eun Jo terkapar bahkan bisa histeris menggila mengetahui pria ‘penjaga pintunya’ sedikit mengenalnya. Dan hati Eun jo kian berlonjak bak bola basket yang terpantul riang mengenai ring kala suara hentakan serta aroma maskulin Jae Joong tertangkup.

            “Apa kau tidak mengenalku?” Tanya Jae Joong sedikit merendahkan tubuh; mendongak wajah Eun Jo yang merona malu. Menunjuk muka-nya sendiri mencoba memastikan.

            Hanya makhluk dari Merkurius yang tak mengenalmu, Kim Jae Joong. Tuhan! Hembusan nafasnya membunuhku! Batin Eun Jo terus saja menarik mendekat ke arah Jae Joong. Jika saja dia termasuk gadis gila pengejar lelaki, mungkin sejak tadi Eun Jo sudah bergelayut menjijikkan di bawah lengan putih itu.

            Eun jo mendesah; menenangkan. “Apa kita pernah berkenalan, tuan?” Pertanyaan yang seolah polos dengan senyuman paksa.

            “Hahaha! Benar juga nona Song Eun Jo.” Eun Jo terbelalak saat bibir ranum Jae joong menggetarkan namanya. “Kim Jae Joong imnida,” ucap Jae Joong seraya meraih cepat telapak tangan Eun Jo. Sesekali Jae Joong terkikik geli melihat gurat kaget dengan mulut yang terbuka, gadis di depannya.

            Pria itu tersenyum simpul merasakan telapak tangan Eun Jo yang hampir membeku.

            “Kau sedang apa di sini?” Jae Joong melihat bingung pria kecil berkursi roda di depan.

            “Noona, kajja!” Im Hyuk menarik sweeter Eun Jo.

            “Maaf, Tuan—Maksud saya Kim Jae Joong-ssi, saya sedikit sibuk,” pamit Eun Jo dengan pipi yang berubah warna menyala merah.

            “Tuan tinggi! Jangan ganggu Eun Jo Noona. Dia akan menjadi calon istriku, Arasseo?”

            Jae Joong mendengus geli dengan pekikan polos Im Hyuk. “Hahah… Jinjja! Anak kecil ini—Aigoo!”

            “Kang Im Hyuk! Bagaimana bisa kau melamarku di depan dia?” Eun Jo berbisik dengan suara teramat sayup. Baik, hari ini bisa menjadi hari bersejarah dalam hidup Song Eun Jo. Keajaiban yang bertubi-tubi dalam putaran waktu sejenak.

*TBC

2 thoughts on “The Fondest Wishes [Part1]

  1. Saat orang yg kita suka tau pekerjaan bahkan nama kita, itu bener-bener bikin ngefly 😉
    I think this is the cutest moment.

    Kkekkeekeke… Im Hyuk ngelamar eun jo di depan jaejoong 😀

Leave a comment