The Last Sunrise

604153_491286487560041_1214707829_n

The Last Sunrise

Midnight Fairy’s Storyline

Length : OneShoot

Genre   : Family, angst

Rating  : General

Cast     : Shin Dong Hee ( Super junior)

****

Gemintang berpendar. Sang bulan menyala elok. Riuh kendaraan tak tahu waktu masih saja memekik, malam itu. Tiap sisi kota hampir dihiasi cahaya-cahaya lampu menyilaukan mata, menghilangkan gelapnya malam. Sosok pria gempal,berlari tertatih melewati orang-orang berlalu-lalang pada jalanan kota Busan. Hembusan dingin angin laut tak mematahkan semangatnya untuk terus mendapati keajaiban. Shin Dong Hee, pria besar dengan tampilan bak pengemis. Baju lusuh penuh tampalan. Jaket tebal berdebu, berbau hangit. Sepatu kusam tak lagi berbentuk, hingga jemari putihnya terlihat.

Shin Dong berlari tanpa peduli tatapan tajam orang lain. Menggendong sang Ibu di bahu lebarnya. Tubuh ringkih itu mengerat dengan sisa tenaga seraya menghembuskan nafas satu-satu yang terasa menakutkan untuk  Shin Dong.

Shin Dong berhenti di depan Rumah Sakit Hadong, lantas menerobos pintu kacanya dengan penuh kepanikan.

“Dokter! Tolong! Ibu saya… Ibu saya sakit.”

Mendapati pria berpenampilan pengemis, seorang suster sentak menghadang langkah Shin Dong. Menatap enggan mulai dari ujung kaki hingga ujung rambut Shin Dong yang tengah menggendong erat wanita tua. “Maaf tuan, bisa selesaikan administrasi terlebih dahulu?”

“Tapi, Ibu saya ­­membutuhkan pertolongan, agashi!” Shin Dong terengah dengan peraduan nafas mengeram.

Mata sang suster masih tak berkutik memandang. Entah menatap jijik atau iba. “Mianhamnida, tuan. Saya hanya menjalankan tugas. Harap anda melengkapi administrasi terlebih dahulu.” Wanita berpenampilan serba putih tersebut lantas beranjak dan kembali pada meja administrasi dengan helaan nafas.

“Bagaimana anda bisa mengatakan itu, jika di depan mata ada orang sekarat!” Shin Dong berteriak marah. Ini sudah rumah sakit ke empat yang mereka datangi, dan tidak ada satu-pun orang yang berhati bekerja di gedung pelayanan umum itu.

“Apa karena uang? Apa karena kami bukan orang berharta! Apa kalian tak punya hati, hanya menunggu dan menunggu orang miskin seperti kami mati dengan tersiksa!” Teriakan emosi Shin Dong menggema  sengit. Mengalihkan mata segilintir orang yang tengah duduk merunduk mengistirahatkan tubuh di sudut ruangan pada dini hari tersebut. Dan yang terjadi, hanya hadiah tatapan kasihan untuk Shin Dong.

“Baik, karena uang ‘kan? Aku punya uang!” Shin Dong meraih saku jaket kumalnya dengan tangan gemetar. “Ini…” Beberapa sen uang logam beserta lembaran Won tergenggam di tangan gempalnya.

“Jadi, tolong Ibu saya. Aku mohon!” Ia membungkuk sembari masih mengerat sang Ibu di punggung. Berharap wanita beruban itu tetap hangat.

Dan nyatanya, hati manusia sudah membatu sekarang. Para security menyeret paksa Shin Dong, seolah melempar seeokor anjing menggunakan tangan kotor dan lebih menjijikkan dibanding penampilan Shin Dong sendiri. Bagaimana tidak? Manusia menjijikkan mana yang tega membiarkan manusia lain sekarat di depan kedua matanya? Bahkan kera pun akan berlari mempertaruhkan nyawa melihat buaya akan memangsa kera lain. Bisakah meraka disebut manusia?

“Ibu, tidak apa-apa. Disana pasti ada Dokter. Aku mohon bertahanlah,” lirih Shin Dong. Ia berjalan terhuyung dengan pandangan tersamar air mata seraya semakin mengeratkan tubuh Ibu yang renta.

“Dong-ie.” Nada lembut bersamaan dengan hembusan angin terdengar sayup. Suara batuk yang kian keras, semakin membuat mata Shin Dong kian deras tergenang.

“Sudahlah, tubuhmu sudah menggigil. Ibu tidak apa-apa.”

“Tidak, bu. Ibu sakit. Kita akan mendapatkan obat, aku berjanji.” Shin Dong terus berjalan tanpa arah. Hanya satu tujuan; mendapatkan keajaiban.

“Dong-ie…” Satu kata bermakna dalam. Itu bukan nada yang selalu Ibunya ucapkan kala Shin Dong akan terlelap. Bukan juga nada penyemangat saat Shin Dong menangis.  Berharap itu bukan panggilan lirih untuk menyerah.

“Bisakah kita beristirahat? Ibu benar-benar letih.”

“Ibu lelah, eoh?” Shin Dong sontak berhenti dan mengedarkan penglihatan, mencari tempat nyaman untuk mereka.

Sebuah pelataran depan toko dengan remang lampu menjadi tujuan Shin Dong. Ia sedikit berlari dan mendudukkan sang ibu dengan beralaskan kardus-kardus yang berserakan. Menyelimuti tubuh kurus Ibunya seraya memeluk hangat.

“Ibu benar-benar letih. Ibu ingin tidur.”

Nde, aku akan menjaga Ibu. Ibu tidurlah, tidurlah dengan tenang…” Dengan bibir gementar, Shin Dong terus memeluk Ibunya erat. Kunang-kunang seakan ikut memberi kehangatan bagi mereka. Memancarkan cahaya kerlip dari tubuh bulatnya.

“Sebentar lagi mentari akan datang, ne?” Tarikan nafas putus-putus dengan tersenyum simpul menatap langit. “Kau tau kenapa Ibu sangat menyukai mentari pagi?”

Anniyo,” balas Shin Dong pilu. Hatinya teramat ngilu tatkala sengalan nafas yang kapan saja bisa berhenti, terus saja memberondong telinga hingga berdarah. Ketakutan akan kehilangan sosok tercantik itu. Kengerian akan kesendirian di dunia terkutuk yang membiarkan orang tercintanya terkapar.

“Karna saat matahari menyingsing, Ibu menemukan malaikat kecil. Ia bersinar di bawah mentari pagi. Dan Ibu benar-benar merindukan sinar itu.”

“I–bu…” Shin Dong terisak diam. Mengigit tepi bibir yang hampir membeku dan gemetaran.

Sungguh! Meskipun tidak ada secuilpun darah wanita itu yang tertetes dalam tubuh Shin Dong, ia tetap wanita yang dipanggil Ibu dengan sayang. Dan Demi apapun! bagi Ibu, mendapatkan bayi mungil yang sedang menangis di area kumuhnya kala mentari pagi berpijar, itu bagai mutiara. Sekarang, bayi kecil tersebut tumbuh menjadi pria kuat, dan yang paling penting berhati manusia.

Shin Dong memejamkan mata pelan. Membuat genangan air di kelopak matanya mengalir ringan. Ia melirih dan bermunajat, “Ibu tidak akan meninggalkanku ‘kan? Ibu akan selalu bersamaku ‘kan?”

Di sela bibir pucat, Ibu masih menggariskan senyum teduh. Ia merasa, bahu anaknya lah tempat yang paling hangat.

“Dong-ie. Siapa aku?”

“Ibuku?”

“Seorang Ibu tidak akan meninggalkan anaknya.”

Shin Dong masih terpejam. Menghirup aroma bumi yang mulai berotasi menjadi pagi. Menghirup aroma khas Ibu dan menyimpannya dalam-dalam. Wangi itu, wangi yang bisa mengubah pasir menjadi salju. Mengubah tangis menjadi senyuman.

Jemari panjang Shin Dong tak lelah menggenggam telapak tangan gemulai Ibunya. Semakin lama semakin erat tatkala rangka tubuh sang bunda mulai letih menopang. Ketakutan maha dahsyat memperparah wajah pucat Shin Dong. Ia terus membenamkan tubuh Ibu dalam pelukannya. Keheningan waktu yang beranjak pagi di hinggapi suara gemeratak ketakutan gigi putih Shin Dong. Jangan… Jangan pergi! Jika boleh memilih, ia ingin ikut kemanapun bersama Ibu.

“Ib… bu, lihat matahari mulai terbit.” Shin Dong terbata-bata berucap kala cahaya semesta memancarkan sinar hangatnya untuk yang pertama di hari yang baru.

Ne, sangat indah.”

Anniyo. Bahkan mentari pagi kalah telak keindahannya dari Ibu.”

“Benarkah? Ibu bahkan berfikir kau lah yang paling indah, anakku.”

Shin Dong terdiam. Hanya bisa menatap pedih mentari yang mulai nampak. Pria itu tak pernah sekalipun menghujat takdir akan hidupnya yang kelam. Tidak. Hidupnya sangat indah karena ada Ibu yang menjadi pelangi. Tak pernah sekalipun mengeluh tatkala nasi yang ia makan berubah menjadi bubur. Tidak! Untuknya bubur adalah makanan terenak  kerena tangan Ibu yang membuat.

Sang Ibu menghela nafas teramat pelan. Masih menatap keindahan pagi yang berhiaskan cahaya oranye. “Dong-ie, jangan pernah membenci malam karena gelap. Jangan juga membenci siang karena menghilangkan gelap.”

Ibu menghentikan perkataannya, kemudian kembali menarik nafas dalam. “Ibu yakin, suatu saat nanti kau akan menjadi bintang kala malam dan menjadi mentari kala pagi. Ibu yakin.”

“Aku akan menjadi seperti itu bu. Aku berjanji.”

“Ibu letih.” Ibu mengatup mata pelan dan membiarkan bias mentari menghangatkan wajahnya.

“Ibu, aku mencintaimu.”

Tak ada jawaban. Perlahan tangan gemulai, putih, dan renta itu melemah; jatuh tanpa daya.

Menyadari itu, Shin Dong sontak meraih kembali tangan ibu dan menggosoknya cepat. “Ibu tanganmu bisa kedinginan,” lirih Shin Dong. Air mata itu tertumpah tatkala tak ada lagi suara deru nafas.

“Ibu tidak akan meninggalkanku. Ibu akan selalu bersamaku.” Shin Dong terus saja memeluk tubuh Ibunya dengan terisak. Mendekap tubuh pucat tersebut seakan tak ingin direnggut.

“Ibu, aku akan membuatkanmu ramen jika sudah bangun.”

Shin Dong berusaha sekuat tenaga membekap isakannya. Takut kalau-kalau sang Ibu akan terganggu tidurnya.

“Ibu, aku akan menyanyikan lagu yang selalu Ibu nyanyikan saat aku malas bangun tidur.” Ia menatap hamparan langit seraya bersenandung, “Matahari bulat sudah muncul, bangunlah dari…” Shin Dong terbata, mencoba mengatur tangisannya.

“Bangunlah dari tem… patmu. Pertama-tama adalah menggosok gigi atas… dan ba…wah.” Dan sekarang, tubuh ringkih itu semakin dingin dan memutih. Shin Dong terus menghembuskan nafas hangat ke telapak tangan Ibu. Dan akhirnya, Shin Dong tak kuasa menahan pecahan tangisan. Terisak di pagi yang selalu sang Ibu banggakan.

“Ibu tak akan pergi. Aku tak akan pergi.”

Dengan sisa kekuatan, Shin Dong mengangkat tubuh kurus Ibunya yang telah memutih dengan hati-hati. Berjalan terseok  melewati satu per satu orang-orang yang sontak berhenti, tatkala Shin Dong dengan deraian air mata melitas di hadapan mereka. Perasaan ngilu menohok. Tangisan disertai desisan kepedihan menghantarkan peristirahatan terakhir untuk sang Ibu. Pelukan Shin Dong, anaknya.

*END*

           

 Okkee -__________- ane gk tau kenapa ngangkat genre begini. Jujur walaupun feelnya gk dapet, ane cukup ngerasa gak tega nulisnya. 

Dan sebenernya Mood buat nulis belum sepenuhnya terkumpul -,- jadi maaf kalo ceritanya sedikit aneh

Silakan kritik dan sarannya…

4 thoughts on “The Last Sunrise

  1. Eonni, benar” nangs kejer byangin Dong Oppa! 😦

  2. Derita si miskin.
    Dunia emg kejam bwt mereka.
    Hm,
    G tau mau komen apa q eon, speachless q nya.

Leave a comment