Benderaku, ini hartaku

bendera

Benderaku, ini hartaku

 

 Midnight Fairy’s Story Line

Cast : Leeteuk A.k.a Lingga

Genre : AU, Family, Nasionalis

 

–          Ada peluh darah kala mempertahankannya…

Ada kematian kala mempertaruhkannya..

Sehelai kain kebanggaan duniaku. Selembar emas  kekayaan bangsaku.. –

 

November 1988

Udara sejuk  menghempas ringan rerimbun ranting  pepohonan, pagi itu. Menderikkan engsel jendela berkarat yang hampir berumur puluhan tahun. Embun dingin menguap kala mentari menyusur pada sudut lubang kayu mahoninya. Asap kelabu mengepul melalui celah kopong ruangan beratap jerami yang penuh sesak peralatan masak – memasak turun temurun keluarga. Membuat wanita separuh baya di dalam ruangan tersebut terbatuk anggun seraya mengibas tangan kanan; membuyarkan asap pekat pengganggu pernapasan maupun penglihatan. Tak henti bibir kering mungil menghembus keras arang berapi di bawah tungku tanah liat. Sesekali mata sipitnya memincing, menahan hangat sang pijar. Pekerjaan mulia ibunda.

Bangunan klasik yang sebelumnya sunyi, dalam hitungan menit berganti ricuh bunyi cempreng laki-laki kecil. Bernyanyi tak senada diiringi hentakan kaki pada kursi makan jati tuanya. Mengulum nikmat “keju khas Indonesia” yang serasa manis dipadu dengan teh harum melati. Sepersekian detik kemudian, ia menoleh pada jendela yang terbuka lebar. Menganga, memandang hamparan langit berkilau disertai arakan putih awan. Si kecil tersenyum sumringah, memperlihatkan jejeran gigi khas anak 9 tahun.

Pagi cerah di hari minggu terlalu sayang dilewatkan. Dengan tergesa menenggak teh hangat seraya menghapus sisa sarapan di bibir. Lingga  menuruni kursi dengan cekatan. Berlenggang sembari sedikit menaikkan celana pendek berbahan dasar hingga ke area perut. Membenahi tatanan rambut berbelah pinggir trend anak 80’an.

“Ibu aku jalan-jalan dulu ya!” seru Lingga seraya membuka perlahan pintu. Suara decitan pintu bagai irama merdu dipagi hari.

“Pulanglah sebelum jam 12! Jangan memanjat pohon paman Hardi lagi!” pekik ibu di dapur. Wanita paruh baya itu hanya menggeleng melihat tingkah anak semata wayangnya.

“Iya bu!”

Entah, Lingga mendengar peringatan ibunya atau hanya mengiyakan untuk menyelamatkan diri. Dengan rona berseri, meraih sepeda ontel peninggalan ayah tercinta. Membersihkan lembut tiap sisi rangka besi pekatnya. Namun, aktivitasnya terhenti tatkala mata coklatnya memandang kagum bendera rajutan berukuran sedang yang bertengger gagah di dudukan belakang sepeda. Mengusap perhatian, menerbangkan debu halus di kain wolnya.

“Baiklah! Ayo kita jalan-jalan.” Lingga menaiki sepeda dengan antusias. Tak melepaskan garis lebar senyum manis. Menggoes perlahan penuh kegembiraan. Bendera dwi warna yang sengaja ia pasang berkibar tangguh bak Soekarno yang mengikrarkan proklamasi untuk pertama kali. Sesekali terpaan angin menerpa, mengacak mode rambut favorite di zaman itu.

KRING KRING!

 

            Jari mungil bocah itu gemas jika tak memainkan bel bulat sepeda ontelnya. Menyusuri jalanan berkerikil seraya bersenandung riang. Sungguh! Dibalik mata sipitnya semua terpampang elok atas suguhan pemandangan Sang Pencipta.

“Hiduplah bangsaku, hiduplah negriku.”

“Bangsaku, rakyatku, semuanya…”

“Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya. Untuk Indonesia Raya!”

“Indonesia Raya, Merdeka! Merdeka!”

“Tanahku Negeriku, yang kucinta!”

“Indonesia Raya –”

 

Tiba-tiba kumandangnya terhenti tatkala indera pendengar Lingga menangkap sayup cicitan burung. Dengan sekali hentakan kaki, menghentikan laju ‘motor tanpa mesinnya’. Kepala Lingga berputar, mengedarkan pandangan pada segala penjuru tempat. Tepat ketika arah penglihat tertuju pada sekumpulan rumput gajah di bawah pohon beringin, Lingga sedikit kaget. Pipit kecil tak berdaya seolah berteriak memanggil induk. Dengan sigap mendekati burung mungil tersebut dan meraupnya hati-hati. Ia mendongak pada salah satu ranting pohon yang terdapat sarang hangat para pipit. Lingga, anak berdarah Indo-Korea tersebut mengangkat setengah kaos putihnya; membenamkan si burung kecil.

“Baiklah pipit mungil, bersiaplah untuk terbang tanpa sayap bersamaku,” ujar Lingga mantap. Wajah lugu dengan pipi gelembung merah itu meraih serius batang pohon. Satu tangan mengapit kaos, lainnya mengerat batang untuk dipanjat.

“Ini dia! Wah lihatlah saudara-saudaramu sedang tertidur. Ssst! Jangan takut lagi ya pipit kecil.” Sikap polos bak malaikat di tanah surga Indonesia. Ia mengusap kasih bulu lembut si burung malang.

            “Sampai jumpa!” teriak Lingga seraya melambai lucu pada burung-burung kecil yang seolah tertawa riang menanggapi kelakuan manisnya. Kembali mengayuh sepeda berumur tersebut dengan suka cita. Melewati para gadis kecil yang berkonsentrasi bermain dengan congklak. Menyapa kakek tetangga yang sibuk dengan senam SKJ nya. Tersenyum kepada para bibi yang bermuram durja membahas panganan yang semakin hari semakin menukik langit. Benar-benar dunia yang teramat indah bagi Lingga.

“Hei!” sapa Lingga ramah tatakala mendapati teman-teman bermain gundu. Ia menyandarkan sepeda dan mendekat berniat berpartisipasi.

“Apa aku boleh ikut?” Lingga berjongkok memandang butiran-butiran kelereng yang masih berbentuk persegi tiga tanpa terpecah. Anak lain hanya mengangguk, masih terfokus pada pusat permainan.

“Apa kau membawa kelerengmu sendiri hah?” sapa salah satu anak bernada angkuh.

“Tapi, aku lupa membawanya.”

“Kalau begitu kau tak bisa ikut.”

“Bisa aku meminjam punyamu, Andi?”

“Tidak!” Si anak menolak tanpa berfikir banyak. Seolah tak ingin dicuri, ia  menggenggam erat bola kecil berwarna-warni tersebut. Sedangkan Lingga tertunduk dan kecewa.

“Kenapa kau tidak pinjamkan Lingga?” Anak bertubuh tambun bertanya bingung pada temannya.

“Aku tidak suka padanya. Namanya bukan Lingga tapi Leeteuk! Ayahnya selalu memanggil seperti itu.”

Ya, Lingga atau Leeteuk tak masalah baginya. Toh! Semua adalah nama yang indah. Lingga, nama Indonesia yang diberikan oleh kedua orang tua tercinta. Leeteuk, nama Korea kebanggaan yang diberi sang nenek berdarah Negri ginseng. Untuk menghormati mertuanya, Ayah maupun Ibu Lingga lebih suka memanggil anaknya itu dengan nama Korea.

“Lagipula gara-gara dia, aku tidak dipilih menjadi ketua kelas. Dan aku tak suka dia  selalu saja membicarakan tentang kakeknya. Kakekku itu seorang pahlawan! Hah… aku tak akan percaya. Bukankah kakeknya hanya seorang petani?” Sontak Lingga menegak dan memandang geram pada temannya.

“Kakekku benar-benar pahlawan! Dia pejuang kemerdekaan!” Lingga berteriak nyaring.  Menyergah semua tanggapan teman-teman tentang sosok kakek yang selalu ia banggakan.

“Kalau begitu buktikan. Bukankah guru selalu bilang kalau kita tak boleh berbohong?”

“Aku tidak pernah berbohong! Ibu… Ibuku yang bercerita. Kakek prajurit pejuang yang tangguh. Pemberani melawan musuh.”

“Apa kakekmu tercatat di buku sejarah, Lingga?” Seorang dari mereka mulai satu per satu bertanya penasaran. Sontak Lingga terunduk diam. Tak dapat lagi menampik prasangka-prasangka tentang kakeknya. Kuku-kuku kecil itu terlihat bertaut memulas suara gemeratak yang amat lamat.

“Ibuku juga seorang pahlawan!” Laki-laki kecil berkaca mata menepuk dada bangga. Mengumumkan betapa hebat sang ibu.

“Benarkah? Apa dia pejuang juga?” Semua anak berseru ingin tau. Berkerumul mengitari si anak yang masih menampilkan dongakan dagu angkuh.

“Tidak-tidak. Ibuku seorang guru.” Menggeleng seraya menyila kedua tangan di dada. Sungguh! Wajah menggemaskan anak-anak tampak beraura ketika sosok kecil tersebut mempertontonkan gaya manusia dewasa dengan segudang sikap sombong dan berkuasa.

“Iss! Kau ini. Itu tidak lucu.” Anak lain mulai meninggalkan bocah berkaca mata. Kembali berpusat pada gundu berwarna-warni mereka.

“Apa yang salah? Guru itu pahlawan tanpa tanda jasa. Itu artinya Ibuku pahlawan. Dasar kalian! Kalian pasti tidak pernah membaca buku kan?” Dengusnya kesal. Dengan wajah tertekuk ia duduk tak mempedulikan permainan lagi.

Lingga yang sedari tadi mengatup mulut rapat, tak tahan lagi mendengar ocehan tentang keganjilan sosok kakeknya. Pahlawan bangsanya. Bola mata kecoklatan tadinya sayu, beralih menjadi binar ketangguhan. Hati polos anak itu penuh keyakinan.

“Kakekku benar-benar adalah seorang pahlawan! Tidak apa-apa semua orang tak percaya. Untukku dan negara ini, dia tetap pahlwan meski tanpa dikenal! Beliau salah satu dari berjuta pahlawan yang mengorbankan nyawa demi bangsa kita. Walaupun bukan sosok karismatik seperti Soekarno. Bukan sosok terkenal sepeti Bung Tomo. Bukan sosok pintar seperti para cendikiawan Budi Utomo. Tapi, beliau tetap pahlawan yang menumpahkan darah demi Indonesia! Kalian dengar. Aku, aku yang akan meneruskan perjuangan kakek.” Lingga berteriak lantang. Seolah pemuda yang menantang VOC untuk angkat kaki dari tanah emas Indonesia. Takkan pernah membiarkan nama pahlawannya terkotori meski setitik nila pekat

Para bocah yang tadinya terfokus pada gundu, kini menatap bingung rona berkobar Lingga. Ada yang terkagum hingga bertepuk tangan. Ada yang mendengus menganggap lelucon. Dan yang lain hanya menganga tak mengerti ucapan diplomatis Lingga. Andi, teman sepermainan Lingga yang tak percaya berniat pulang; malas dengan perdebatan pahlawan tersebut. Meraih sepeda kecilnya. Tapi, saat melewati sepeda tua Lingga, tanpa sengaja menabrak barang beroda kesayangan temannya itu. Sepeda ontel peninggalan tersebut lantas terjengkang; jatuh. Dengan perasaan bersalah, Andi turun dari sepeda dan membangkitkan kembali sepeda milik Lingga. Dan sial! Bendera kesayangan Lingga terkoyak karna tiang besinya sendiri.

“Astaga! Maaf aku tidak sengaja,” pelas Andi penuh rasa bersalah. Semua orang di lingkungan ini tau persis betapa sayangnya Lingga pada selembar kain tersebut. Bukan maksud mengagungkan tapi Lingga memang dikenal sebagai bocah penyayang klasik. Tak lain, bendera kusam kesayangannya itu hasil rajutan sang bunda.

“Aku minta maaf!” Andi masih meminta maaf walau dengan nada congkak. Anak salah satu tetua Lurah yang tak ingin dianggap sederajat. Dan Lingga, hanya bisa memandang sendu kain merah putih di tangan.

“Kau merusaknya,” lirih Lingga sembari mengusap sedih rajutan bendera tersebut.

“Aku sudah bilang maaf. Lagipula itu hanya sebuah bendera!” Andi pergi menjauhi Lingga yang masih termangu mencerna ucapan tanpa dosa temannya.

“Hanya sebuah bendera? Hanya sebuah?” Lingga benar-benar tak habis fikir. Ia mengerti dan amat tau itu hanya seulas kain. Tapi, tidak adakah yang sadar arti dari sebuah kain sakral ini? Hanya? Bukankah dulu untuk benda “Hanya” tersebut penuh dengan pertumpahan darah mengibarkannya? Bukankah dulu saat Ibu Fatmawati menjahitnya untuk pertama kali, seluruh manusia dari sabang sampai merauke bersuka cita hingga meneteskan haru saat menatapnya bangga? Apa sekarang benda tersebut tak bermakna dan berubah menjadi HANYA?!

            ****

Kemilau jingga langit, mengayun elok pandangan mata. Di sana, pengujung tempat mereka-reka impian sebagai patokan terpuncak harapan terindah. Mencoba bergegas menggapainya meski tahu tak bisa menyentuh. Lingga, bocah pemimpi setinggi langit itu masih duduk bersila dan terdiam di beranda rumah klasik ini. Mendongak hamparan awan berbias cahaya oranye. Sesekali terhembus nafas berat, seolah ia laki-laki dewasa yang dipenuhi fikiran naik-turun inflasi perekonomian. Kelopak sipit itu berkedip kala fikirannya mengambang tentang sesuatu hal tak bisa otak mungilnya pecahkan.

“Apa kau tidak letih memandang langit sore seperti itu?” Sang Ibu memecah fikiran Lingga. Menghentikan awang-awang imajinasi seorang bocah 9 tahun.

“Ibu mengejutkanku.”

Ibu terkekeh saat pipi gelembung Lingga tertampak. Ia berjalan mendekati anaknya seraya membawa pintalan benang wol. Lantas, duduk tenang di sebelah Lingga dan melanjutkan aktivitas merajut. Sesekali wanita separuh baya itu membenahi letak kacamata untuk memperjelas penglihatan. Sedangkan si anak, juga melanjutkan memandang lukisan senja. Menatap bulan yang berbalut tebal awan sore.

“Ibu, apa benar kakek seorang pahlawan?” Lingga bertanya pelan. Pertanyaan yang tak lelah ia lontarkan pada sang bunda. Sejak kecil, bocah berdarah Negeri ginseng itu selalu antusias kala mendengar narasi kakek kebanggannya.

Ibu tersenyum simpul. Menatap hangat mata Lingga yang sendu. Sejak Lingga pulang dengan wajah merunduk; memberi bendera kesukaannya yang telah terkoyak, ia mengerti dan merasakan sesuatu hal ganjil. Ibu menghentikan aktivitas rajut-merajutnya. Meletakkan kacamata serta pintalan benang di samping.

“Apa arti pahlawan untukmu, nak?” Ibu mengusap pelan rambut legam lepek Lingga.

“Humm… Pahlawan itu orang yang mengusir penjajah. Iya kan bu?”

“Hahahaha. Benar. Tapi, apa menurutmu pahlawan hanya berhubungan dengan penjajah di masa lalu?”

Alis Lingga tertaut sempit. Menerawang bingung; berfikir. Sedetik kemudiam, ia menghembus nafas kasar seraya menggaruk tengkuk kepala. Lantas, merebahkan tubuh pada paha hangat Ibu. Mengeluarkan segala unek-unek lewat kelakuan diam kekanakannya. Ibu lagi-lagi tersenyum dan membelai kasih kepala Lingga.

“Teukie. Kau tau kenapa Guru juga disebut pahlawan? Itu karena mereka sosok hebat yang memberi kebanggaan bangsa dan orang lain. Kata pahlawan semakin masa akan semakin meluas pengertiannya, sayang. Suatu saat kau pasti akan mengerti, apa dan kenapa.”

“Jadi, bagaimana dengan kakek?” Lingga mendongak ke atas menatap penuh pertanyaan tentang sang kakek.

“Dulu ketika beliau masih muda, kakek ikut serta dalam prajurit PETA. Kau tau apa PETA?”

Lingga menggeleng pelan. Semakin terfokus pada cerita menakjubkan Ibu.

“PETA itu Pembela Tanah Air. Kesatuan yang dibentuk sebelum kemerdekaan Indonesia. Di sana sangat banyak tokoh besar seperti Soeharto dan Jendral Sudirman. Kakekmu salah satu orang yang ikut berjuang bersama kesatuan yang sangat terkenal di zamannya itu.”

“Itu artinya kakek sangat hebat!”

“Begitulah. Kakekmu sangat gagah! Pemberani dan berkarismatik. Tapi, setelah kemerdekaan satuan tersebut dibubarkan dan kakek mau tak mau harus kembali menjadi petani.”

“Kenapa seperti itu?! Kenapa kakek tidak menjadi polisi?”

“Hahaha. Ibu tidak tau, nak. Bagaimanapun juga kakek tetap pahlawan di mata Ibu.”

“Apa ayah bukan pahlawan di mata Ibu?” Lontar Lingga polos. Tergaris senyum menggoda di rona mungil itu.

“Ayah itu pahlawan hati bagi Ibu.” Ibu mencubit gemas hidung mancung Lingga. Terkekeh pelan karna tingkah anaknya.

“Pahlawan hati? Aku tidak mengerti. Ah! Jika aku sudah besar nanti, aku akan menjadi pahlawan seperti kakek. Gagah seperti Jendral Sudirman!”

“Baiklah! Ibu tunggu sampai kau besar nanti.”

“Pasti! Aku pasti akan menghadap hormat pada bendera seperti kakek dulu.” Lingga berseru mantap. Menegakan tubuh dan memperagakan gaya hormat para patriot.

“Ibu.. Ibu juga pahlawanku. Pahlawan hati kami.” Dengan kilat, bocah tampan itu mengecup lembut pipi putih Ibunya.

            ****

10 November. Tanggal sakral bagi Bangsa Indonesia. Hari dimana kilasan sejarah lampau terpapar.  Hari dimana deskripsi perjuangan rakyat yang bahu-membahu mempertahankan sang saka merah putih tetap berkibar, terekam nyata. Namun, tidak semua anak bersuka cita menyambutnya. Perjalanan waktu yang terus termodernisasi, seakan melupakan sejarah. Meninggalkan cerita gagah Pangeran Diponengoro dan menggantinya menjadi Superman.

Beruntung, meski sedikit sosok-sosok perintis itu ada. Lingga. Anak Indo-Korea tersebut berseri cerah. Berlari riang menuju sekolah dasarnya. Baju putih dan celana merah kebanggan pendidikan. Lambang Tut Wuri Handayani di saku baju dan topi yang semakin  pudar. Dasi sedada melingkar rapi. Ikat pinggang hitam legam dari semi kulit. Lingga bak artis pada iklan-iklan pendidikan wajib belajar 9 tahun.

Satu, dua, tiga barisan manusia terlewati. Ia masuk pada salah satu kolom tengah jajaran murid lain. Sekali lagi merapikan hal remeh temeh perlengkapan menyambut peringatan hari Pahlawan. Saat upacara berlangsung, semua tenggelam dalam hikmat senandung nasionalis. Menegak takzim tatkala bendera merah putih mulai memuncaki tiang besi. Sungguh! Hati Lingga berkobar membayangkan para pemuda yang gagah berani  memanjat atap Hotel Oranje dan merobek bendera tiga warna Kolonial yang bisa-bisanya berkibar setelah kemerdekaan, akhirnya terganti menjadi dwi warna. Merah Putih.

“Putra, apa kau menonton pertandingan bola semalam?”

Suara bisikan mengusik kehikmatan Lingga. Tapi, Tak dihiraukan

“Iya. Sangat seru! Aku kira Liverpool akan kalah.”

“Mereka tidak akan kalah. Kau tau, Ayahku bilang akan membelikanku baju seperti mereka!”

Dan kali ini Lingga benar-benar terganggu akan racauan tak penting teman-teman di depannya. Menatap risih kelakuan mereka.

“Apa kalian tak bisa diam? Ini sedang upacara,” ujar Lingga tenang. Lontaran yang berhasil menghunus tatapan sengit dua anak di depannya.

“Lingga, kau benar-benar sok. Anak yang membosankan selalu di kelilingi tentang peraturan dan peraturan.” Si anak bermata sipit membalas pedas sergahan Lingga.

“Ini bukan peraturan, tapi menghormati.”

“Lihat! Sekarang kau yang sangat ribut di upacara.”

Lingga sentak membekab bibir. Menggigit bibir mungil merah mudanya. Kembali terpaku pada pembacaan Undang-Undang Dasar yang terdengar lantang. Dan lagi-lagi suara  mengganggu dari temannya mendidihkan gendang telinga Lingga.

“Aku harap para pahlawan kita tidak akan menangis di sana. Mereka pasti sedih melihat orang-orang tak lagi memandang pengorbanan darah mereka.”

Dua anak di depannya sontak menoleh mendengar cibiran Lingga. Mendengus teramat kesal karna ceramah yang diberikan oleh anak seumuran.

“Kau ini seperti Pak Salim! Cerewet!”

“Jika kau memang sangat menghormati pengorbanan pahlawan, coba tunjukan kepada kami!” Sergah bocah berkawat gigi menantang.

“Baik! Akan kutunjukkan. Aku akan menjadi seperti Kakek yang gagah berani!”

            ______

Usai perayaan Hari Pahlawan, semua orang ricuh berpencar. Namun, tidak untuk Lingga. Ia menapak mendekati tiang tegap bendera. Mempersempit jarak hingga 5 meter. Bocah itu menengadah langit; menatap kain berlarik merah putih dengan bangga. Kilau dan sengat matahari tak menjadi penghalang pemudar semangatnya.

Sikap siaga Aparat Negara yang ia tonton selama ini, menjadi acuan Lingga. Membusungkan bahu, merapatkan kaki, menghormat tegap pada sang saka. Kain kebanggaan Bangsa Indonesia itu melambai indah tertiup angin. Siluet mentari menembus lapisan tumpukan benangnya. Lingga masih saja berdiri dengan sikap hormat meski hujan peluh mengalir di pelipis dahi licinnya. Entah, ini tanda penghormatan untuk para Pahlwan atau pertanda betapa ia sangat mencintai arti penting bendera ini. Yang pasti, semangat 45’ yang hanya sebagai bualan mulut orang-orang, kini berkobar mendidih di hati kecilnya.

Semua teman-teman terpana bingung mendapati Lingga melakukan hal konyol di mata mereka. Tak ada yang peduli. Bocah aneh! Hanya ungkapan itu yang berlaku di kepala orang-orang. Satu, dua, tiga jam Lingga masih berusaha menegak menantang lelah dan panas. Peduli apa seragam yang sudah tak wangi lagi. Peduli apa wajah yang berubah menghitam kini. Dulu, ketika bendera ini dipertahankan berkibar, semua insan rela mati-matian mengekangnya dari manusia laknat lain agar tetap menghiasi langit. Hanya karna bersikap seperti ini, Lingga bahkan belum merasa bangga.

“Apa yang dia lakukan? Ini sudah hampir 3 jam!” Salah satu anak mulai khawatir.

“Biarkan saja. Lingga itu selalu berkelakuan aneh!” Dan yang lainnya mulai kesal akan tingkah Lingga.

“Kalau dia pingsan bagaimana? Ini salahmu yang menantangnya.”

“Aku? Dia sendiri yang mau! Lagipula dia sombong. Dasar Lingga bodoh.”

Dan tak jauh dari tempat beberapa anak bergerumul, salah satu pria kecil menatap Lingga takjub. Matanya terpaku tatkala Lingga yang rela tegap dan hormat di bawah matahari yang serasa sejengkal. Si kecil mengeluarkan sehelai kain dari saku dan mengusapnya perlahan.

“Lingga, berhentilah. Sekarang kami mempercayaimu.”

Lingga sontak beralih pada suara di sebelahnya. Andi tersenyum dengan bangga.

“Tidak. Aku akan seperti Bung Karno.”

“Kau ini bodoh atau aneh. Tidak ada dua Soekarno. Yang ada hanya satu Soekarno dan satu Lingga. Ah! Maksudku Leeteuk. Hahaha.” Andi terkekeh kecil. Sedangkan Lingga, melengkungkan lebar bibir.

“Untukmu. Maaf karna kemarin merusak bendera kesayanganmu,” ucap Andi sembari memberikan bendera kecil. Bendera yang ia beli dengan uang tabungan sebagai penebus rasa bersalah.

“Andi… Kau sebenarnya anak baik! Terima kasih!” Lingga bersorak senang dan memeluk temannya. Melompat gembira seraya melambai-lambaikan bendera kecil tersebut.

“Hei! Aku memang anak baik!” Mereka berseru senang. Keduanya berhenti dan manatap sang dwi warna yang masih berkibar dengan gagahnya. Lantas, serentak memberikan penghormatan.

Satu per satu teman-teman lain berkumpul di belakang Lingga dan Andi. Ikut ambil bagian dalam kelakuan aneh nan konyol mereka. Tapi, ada asa di balik semua perilaku itu. Bermimpi bisa tetap mengindahkan sang saka merah putih. Bermimpi terus mengharumkan harta keagungan Bangsa.

Aku akan menjadi pahlawan dengan caraku sendiri.

            ****

            November 2013

Rumah kuno peninggalan ini masih sama seperti tahun-tahun silam. Lebih 20 tahun yang lalu, selalu terdengar suara cempreng bocah. Tak ada lagi rengekan manja. Tak ada lagi sosok anak berpipi gelembung. Kini, anak tersebut tumbuh menjadi sosok gagah yang selalu ia impikan.  Lingga berubah menjadi pria dewasa pujaan. Tampan bak artis drama-drama. Tinggi bak model yang berlenggok di catwalk licin.

Di bangunan tersebut, masih terduduk wanita cantik yang telah temakan usia. Ia merebah di kursi goyang reyot. Merajut dan merajut. Memintal benang-benang wol berserabut halus. Kacamata bulat tua yang masih menemani hingga sekarang. Sesekali ia menatap pigura foto seseorang pria tampan dengan seragam kebesarannya. Ya, Leeteuk atau Lingga. Anak terkasih kini benar-benar menjadi Pahlawan dengan caranya sendiri. Memilih patriotik pembela Bangsa dan Tanah Air.

“Ibu bangga padamu, nak. Kau bahkan bisa melebihi seperti Kakek.” Ibu tersenyum sumringah. Berkaca-kaca menatap foto anaknya yang gagah.

Dan di tempat lain, sang anakpun berdiri takzim di barisan utama. Memimpin serta memandu tentara lain. Tubuh tegapnya nampak kekar dijuntai baju kebesaran Aparat Negara.

Di sela-sela upacara, pria itu menggariskan senyum. Terngiang akan kejadian masa SD yang indah. Teringat peristiwa penyemangatnya silam. Dan mimpi itu nyata. Sekarang itu bukan mimpi. Kini semua adalah hidup dan cintanya untuk Negeri.

“Kepada… Bendera merah putih hormat, gerak!” Suara lantang prajurit Negara untuk bendera kejayaannya.

Sekarang dan untuk selamanya, aku akan terus berusaha menjadi sosok pahlawan tanpa lelah. Kakek, Ibu, Ayah, lihat aku. Meski namaku tak akan tertulis, tapi kecintaanku tetap tertulis mati untuk Bangsaku.”

            *END*

NP : Huahahhaha! ini pertama kalinya saya menulis bergenre beginian XD

Ane sadar ini gk bagus, tapi setidaknya ane berharap bisa menginspirasi kalian untuk membuat cerita berbeda

gk cuma tentang cinta yang Klise ..

Lihat sekitar, peka terhadap lingkungan

cerita ini terinspirasi ketika saya membaca buku Bung Tomo tentang 10 November ^^

6 thoughts on “Benderaku, ini hartaku

  1. wah~
    teukie migrasi ke INA nie…

    tumben bikin yg kayak gini… v bagus ane suka, bisa numbuhin rasa nasionalisme…^^

    weny coba bikin fanfic dg genre family, brothership, atw friendship…
    agar fanficmu lebih brwarna lagi… ^^

  2. Halaaah. . Mewek kan saya thor . . >,<
    Nyentuh banget dah. Itu di taun 88 aja anak2 nya pada sok kaya gitu, apalagi gini hari. Lagi hormat bendera aja ada yang nguaplah, ngobrol lah, cekikikan lah. . Ckck

  3. Hormaaat grakkk.
    Heehe
    Jrang ad yg genre kyak gini.
    Tp sukses bkin jiwa nasionalisme q tumbuh eon.

    Iyaa.
    Sang merah putih itu bukan hanya’ selembar kain, bnyak pngorbanan darah utk mmperthankan.a
    Daebak eon.

Leave a comment