[ Ficlet ] Begone Please…

Fool copy

Begone please..

Cast :

  • Han Hyo Jae (OC)
  • Jong Yong Hwa

–          Kau meretakkan sekat tebal pertahanan hati ini..

Dan kau melenggang dengan angkuh tanpa menutupnya kembali.

Aku lemah tertembus cahaya kesederhanaanmu..

Jadi, haruskan  membencimu, haruskah mengutuk kekejianmu yang sukses menginjak hatiku?

Tidak.. Aku hanya ingin menjadi bodoh!

Bodoh karna tak bisa membenci, bodoh karna tak bisa berpaling, bodoh karna masih bisa tersenyum membayangkan kenangan kecil silam –

****

Syair lembut petikan gitar mendengung syahdu di telinga. Menemani sunyi malam kelam yang sukses memvonisku sebagai si pesakit. Teramat sakit! Hingga rasa sesak ini memberondong, berdesak masuk ke paru-paru. Para hewan mungil penanti malam tak henti mencicit lantang, berteriak tangguh, bak hakim yang memutuskan hukuman pancung karna kesalahan terberatku. Kesalahan? Apakah salah mencinta?

Di sini, di ruangan sempit tempatku meraung perih. Bilik sederhana di mana aku menutup dan membuka mata setiap hembusan nafas. Dan tengah malam ini, di sini juga kebenaran pahit itu tersibak jelas. Menangis pilu. Meratapi tiap kenangan manis yang berbuah asa, rela tak rela direnggut sang nasib. Tuan nasib! Keagungan takdir yang tidak bisa dilawan. Aku menangis. Membekap raungan isakan. Takut kalau-kalau semua insan memandangku remeh atau menatapku kasihan. Toh, aku tak sudi dikasihani. Pilihan bodohku adalah menangis seorang diri. Menelan air mata sendiri.

“Hyo Jae maaf.. Maaf selama ini tak pernah bisa jujur. Aku tak bisa meninggalkannya. Tak juga bisa menyakiti dan menyeretmu dalam lingkaran setan. Dia kembali dan aku tak bisa menghindar.” Hampir saja benda pesegi berkaca bening ini kulempar marah tatkala membaca rentetan kalimat jahanam itu. Yang terjadi, tangankulah yang lemas terhempas. Kalimat pembuka yang dengan sekali hentakan memukul jantungku telak. Dengan gemetar meraih kembali ponsel petaka itu. Membiarkan mata tertusuk karna kenyataan memilukan.

“Tapi kita masih bisa berteman kan? Jika ada apa-apa, jangan ragu menghubungi, ne?” Dan tanpa bersalah ia melafaskan itu. Berteman katanya? Dia fikir gadis seperti apa aku? Terlalu lugu atau teramat bodoh? Semua hal manis selama ini hanya untuk berteman. Aku memang gadis egois yang mengharapkan sebuah status ratu dihatinya. Salahkah?

Kupandang nanar pesan singkat pada salah satu sosial media terpopuler sekarang. Butiran bening air mata, tak tau malunya menerobos jatuh melalui sela-sela kulit mataku. Tetesan pertanda keperihan. Jika saja hanya aku dirumah tua ini, andai saja hanya aku dikawasan sesak ini, mungkin suara jeritan sudah menggema memuncaki tiap sudut. Dan yang berperan penting sekarang adalah kedua tangan rapuhku. Dengan sekuat tenaga menyumpal isakan.

Demi Tuhan aku sudah menyukaimu. Tapi ini pilihanku. Hyo jae-ya sekali lagi maaf.” Dan demi apapun tangisku terpecah! Ini gila. Terlalu sadis! Tidakkah dia berfikir untuk apa lagi kalimat itu? Jantungku seolah tertancap belati. Sesak maha dahsyat mencekik batang tenggorokan.

Pukulan keras di dadapun tidak membantu kesakitan ini. Tapi seolah intelektual di otakku hilang, aku terus saja memukul  tanpa henti. Berharap jika semua kesakitan akan berhenti di titik ini. Kubuang sembarang benda perantara derita. Menjatuhkan tubuh yang sebentar lagi akan tumbang. Beruntung, fikiran-fikiran tentang wanita hebat yang kubanggakan masih kokoh meski terkikis. Jika tidak, aku sudah masuk menjadi sekumpulan pecundang yang akan terus menggilai keterurukan ilusi cinta.

Kuseka air mata seraya menggigit kuat bibir yang bergetar. Dalam otak berputar jawaban-jawaban konyol untuk membalas pesan-pesan laknat itu. Mungkin perkataaku kasar. Tapi itulah realitas tentangnya. Sungguh! Aku ingin membenci pria itu. Dan mungkin hanya mimpi bisa membenci orang yang sukses membuat wajahku bersemu merah kala itu. Dengan sisa tenaga, keangkuhan atau ini kebodohan, mengenggam kembali ponsel silver tercinta. Menjelajahi huruf demi huruf dengan jari gemetar demi memberi balasan pernyataan yang telah dua hari lalu tersimpan dan baru aku sadari sekarang.

“Jadi, karna itu kau seolah menjauh? Ini masalahnya? Tidak apa-apa Yong hwa-ya, aku mengerti. Aku juga wanita sama seperti dia.”

Sial! Apa yang kukatakan?! Tidak apa-apa? Seolah tersadar dari amnesia yang menyertai puluhan tahun, aku meraup marah wajah. Menampar pipi tirusku sendiri. Membuang ponsel itu lagi dan menjauhinya. Menangis sejadi-jadinya di tengah pekat malam. Entah ini kebodohan atau kegilaan. Kata-kata angkuh seolah gadis tertegar di dunia itu memukul jantungku. Sakit! Topeng kemunafikan demi membuatnya baik-baik saja. Tapi tidak untukku. Di balik topeng aku menangis keras. Melolong pilu meminta uluran tangan kasih seseorang.

****

Di hadapanku Yong Hwa mendongak langit. Menatap hamparan biru berkilau jingga. Sesekali hembusan nafasnya terdengar merdu ditelinga. Benar, aku gadis bodoh yang membiarkan rasa sakit memasung mati di hati. Satu minggu. Hitungan hari pemulihan sakit serta penenangan atas keterkejutan silam. Nyatanya, aku tak bisa  untuk tidak melihatnya kembali. Meski batin berusaha menahan bisikan setan untuk memilikinya.

“Benar – benar hari yang panas,” runtuk Yong Hwa seraya menenggak orange jus dingin. Terlihat peluh membutir licin di sela dahinya.

Ne, sangat panas.”

“Disini nyaman. Andai aku membawa gitar.”

“Haha! Apa kau berani eoh bernyanyi ditengah kampus ini?”

“Kenapa tidak? Kajja pinjam gitar pada seseorang! Bagaimana kalau Lagu just the way you are hah?

Anniyo, malas. Lagipula aku sudah alumni di sini. Walaupun orang lain berfikir aku semester awal.” Dia hanya mendengus diselingi senyuman mendengar balasan singkatku. Dia masih seperti ini. Senyuman dan candaan khasnya masih membuatku tertawa. Melihatnya hanya diam tak berucap lagi, aku tersentak untuk menarik penjelasan yang selama ini menghantui. Penjelasan tentang harapan palsu bersamaku. Jujur, jika mengingat ia telah mempunyai gadis, terasa ngilu tertancap diulu hati ini.

“ Yong Hwa-ya, jangan diam saja ayo cerita!”

“ Apa yang harus diceritakan ohk? Ah! Kita pulang ne, aku harus menjemput adikku.”

Sial! Pria benar-benar tak peka. Aku hanya bisa tersenyum kecut atas perlakuannya. Sejak pertemuan tadi, ia sama sekali tak berani menatap mataku. Apa itu rasa bersalah? Andai ia tau seperti apa aku mengais kekuatan untuk kembali memandangnya. Pengabaian yang menyakitkan.

            ___

“ Aku berhenti disini saja ne?”

Jinjjayo? Tidak-tidak aku antar kau.”

“ Sudahlah. Adikmu akan lama menunggu. Aku akan menunggu bis disini.” Menolak dengan perasaan hancur. Aku hanya tak ingin terlalu lama memadang punggung candu ini. Perlahan laju motor Yong hwa memelan. Ia menungguku, menaiki benda besar angkutan umum. Sampai saat ini, desiran emosi untuknya masih saja terasa. Aku bodoh kan? Mengetahui jika orang disebelahmu menyakiti teramat dalam, tapi masih saja tak bisa berpaling pergi.

“ Sampai jumpa. Hati-hati, ne?” Lontaran senyum ramahnya sukses membuatku kepayang. Seolah gadis terkutuk, membiarkan rasa manis akan senyumnya memakan logikaku. Tau dia milik orang lain, tapi tak bisakah sedikit saja memberi secuil cinta? Tidak adakah memberiku sebentar lagi perasaan bahagia itu?

Aku hanya bisa tersenyum serta melambai riang. Peran yang apik. Tapi saat pungung telah bersandar, aku melemah. Pertahananku runtuh seketika. Itu senyum terakhir untukku. Itu senyum terakhir untuknya. Desahan lelah terhembus lirih, berupaya  mengeluarkan udara busuk hasil sirkulasi paru-paruku. Memandang hampa melalui kaca lebar bus yang membawa raga dan hati menjauhi sosok pria tercinta itu. Mulai lelah dengan roman picisan yang memuakkan.

“Apa hari ini tak ada hujan?” Menggumam seorang diri bak gadis autis tanpa peduli pandangan aneh sekitar. Hujan. Satu hal yang teramat ingin terjadi sekarang. Menginginkan sang hujan itu membasahi tubuh dan membiaskan air mata. Menutupi kesakitanku.

Cairan bening menggenang basah di kantong mataku. Menetes satu per satu, mengalir ringan. Merintih teramat sakit karnanya. Keputusan untuk membiarkannya pergi. Keputusan itu yang kupilih. Menerbangkan asa tertinggi padanya. Membiarkan bayang-banyang wajah, senyum, candaan, dan segala tentangnya teringgal abu. Menyakitkan! Amat menyakitkan saat melepaskan seseorang yang bahkan belum pernah termiliki. Terlebih menyakitkan, saat disela doaku menyebut namamu, tapi kau menyebut namanya. Maka, pergilah. Silahkan pergi.

            *END*

2 thoughts on “[ Ficlet ] Begone Please…

  1. Hm,,
    Beneran sakit bgt itu rasanya jadi cewe,
    Yong hwa nya beneran gak peka.
    Ceritanya sukses bkin q ngerasain gmana dlm posisi dicampakkan, kkk.
    Blm pernah ngerasain soal.a.

Leave a comment